Baru-baru ini sebuah foto akrobatik seorang penumpang yang melompat dari kereta api di Bangladesh memukau netizen. Foto membeku di udara itu membuahkan banyak tafsir, makna dan sikap hidup. Kita tidak sekadar dituntut bisa melompat—pada momentum tertentu, sebagaimana “takdir jepretan” seorang fotografer, yang dibutuhkan adalah melakukan lompatan.
Setiap orang atau bahkan anak kecil bisa melompat. Salah satu pelajaran di Taman Kanak-Kanak adalah melompat untuk melatih keterampilan motorik kasar. Gerakan fisik yang bertumpu pada kaki itu terlihat sederhana, namun melompat selalu memerlukan keseimbangan dan momentum. Dua hal ini—keseimbangan dan momentum—menjadi syarat-kesadaran sebelum seseorang memutuskan untuk benar-benar melompat.
Adapun saat menjalani hidup yang kita perlukan bukan sekadar bisa melompat—kita membutuhkan keberanian melakukan lompatan-lompatan, tentu dengan keseimbangan dan momentum yang tepat. “Aksi besar” yang dapat dilakukan manusia tidak terlepas dari keberanian melakukan lompatan. Konon, Neil Armstrong yang menjejakkan kaki pertama kali di bulan melakukan aksi “langkah kecil” yang dia sebut sebagai “lompatan”.
“Aksi besar” itu sengaja saya pasang tanda petik karena terjadi “perang besar” yang berkecamuk dalam diri sebelum kita melakukan lompatan. Perang besar ini dipicu oleh idealisme “dunia dalam kepala” yang kerap tidak sejalan dengan realitas “dunia di luar kepala”. Mengapa hal ini terjadi?
Setiap manusia memiliki kecerdasan khas diri mereka masing-masing, sehingga kecerdasan membaca realitas tak jarang menghasilkan kecemasan. Sejumlah penelitian menyatakan mereka yang memiliki kecerdasan di atas rata-rata memiliki risiko depresi. Cynthia A. Helt dari University of Northern Colorado menuliskan rangkuman hasil penelitian yang menyatakan bahwa remaja-remaja bertalenta memiliki risiko depresi yang tinggi.
Bahwa setiap manusia memiliki kecerdasan khas diri masing-masing, dengan keresahan sesuai kecerdasan mereka, selain terkait dengan skor IQ, juga dipengaruhi oleh minat mereka pada bidang atau kajian tertentu. Rubrikasi yang ditawarkan Kompasiana menggambarkan ragam kecerdasan dan minat para penulis.
Melakukan Lompatan dengan Menulis
Dilanda “perang besar” yang terus berkecamuk dalam diri kita memerlukan sikap kuda-kuda yang kokoh untuk melakukan lompatan. Menulis adalah kuda-kuda kokoh sekaligus lompatan yang dilambari oleh keyakinan akan ada ruang untuk mendarat dengan aman. Justru yang menakutkan adalah ketika ruang dan waktu—di sini dan sekarang—diguncang oleh hoax, intoleransi, kesimpulan berpikir yang tidak memiliki struktur atau bangunan berpikir atau bun-yan (bukan Buniyani lho), terjebak pola hitam-putih, adu otot benere dhewe dan sejumlah dehumanisme kebodohan yang sangat fatal.
Dengan demikian, menulis bukan sekadar terapi untuk diri sendiri—menulis adalah lompatan eksistensial yang dipersyarati oleh kejujuran, otentitas, orisinalitas, struktur berpikir yang objektif, keadilan sikap yang harus dibangun bahkan sejak kita memetik ide atau inspirasi.
Sebagai lompatan eksistensial menulis tidak berarti melompati peluang dalam hidup. Kita justru melakukan lompatan-lompatan yang menakjubkan dan menciptakan banyak peluang. Sejatinya, menulis tak ubahnya seperti orang menanam bibit pohon dengan jangkauan waktu panen yang kekal dan abadi. Bukankah kemajuan tidak diukur oleh misalnya karoshi—yang secara harfiah berarti “kematian akibat terlalu banyak pekerjaan”, dampak dari budaya “lompatan teknologi” yang berhasil diraih Jepang? Kemajuan diukur dari jumlah lompatan yang ditampung oleh ruang dan waktu.
Masih ingat bagaimana ayah dan ibu menasehati kita? “Kalau kamu sekarang malas-malasan, kelak akan jadi apa? Bapak dahulu belajar tanpa dibantu kemudahan teknologi…” Logika urutan waktu—sekarang, kelak akan datang, masa lalu—seakan menjadi hukum tak tertulis untuk melakukan lompatan. Bagaimana dimensi waktu itu diterapkan oleh penulis?
Beyond Blogging Bukan Lompatan Biasa
Berpijak pada ke-kini-an dan ke-di sini-an, seorang penulis sudah harus atau terus menerus berproses untuk menemukan diri sejati. Perang besar yang berkecamuk dalam diri sesungguhnya merupakan respon atas kesenjangan dunia dalam kepala dengan dunia di luar kepala, yang loading tanpa henti dan menuntut respon atau aksi yang khas dan otentik.
Karena itu, penulis adalah sosok yang berdaulat terhadap proses kreatif menulis. Ia tegak dengan otentitas dan orisinalitas sebagai individu tanpa harus meneguhkan perbedaan itu sebagai sikap permusuhan diantara manusia. Pada ordinat ke-kini-an dan ke-di sini-an ia berdaulat, misalnya kritis terhadap hoax dan intoleransi, lalu melakukan lompatan kreativitas menulis untuk menawarkan ruang yang damai di masa akan datang, dengan berpijak pada budaya luhur masa lalu sebagai pertanggungjawaban kontinuasi nilai-nilai peradaban.
Dengan kesadaran visi lompatan yang bergerak dalam alur dimensi waktu sekarang, akan datang,dan masa lalu, Beyond Blogging Kompasiana menemukan kedalaman dan keluasan urgensi makna. Kembali menilik pada kondisi ke-kini-an dan ke-disini-an, Kompasiana menjujung tinggi orisinalitas, otentitas, dan keadilan berpikir dalam menghasilkan karya tulis. Untuk apa? Tentu untuk melakukan lompatan masa depan—dengan cara memberi ruang bagi masyarakat untuk berbagi konten menulis yang bermanfaat—mencipta ruang yang damai sebagai platform blog terbesar di Asia, bahkan dunia. Dengan cara bagaimana? Meneguhkan kembali sebagai platform blog, bukan platform berita, yang menjadi cita-cita sejak awal.
Diguyur Hujan Tidak Basah Kuyup
Maka, seorang blogger bukan sekadar blogger. Ia adalah petani yang mengolah tanah kreativitas, menanam bibit ide dan inspirasi, merawat tanduran tulisan tanpa dibebani keharusan panen secepatnya. Panggilan hidup seorang blogger adalah menulis hal bermanfaat bagi harkat kemanusiaan dengan ketangguhan sejati: soal panen memanen ia bukan pihak pertama yang harus memetiknya. Sebagai manusia seorang penulis bisa mati, tapi karyanya akan abadi.
Seorang blogger adalah pekerja kehidupan yang bergerak dengan tidak selalu melangkah—pada momentum dan keseimbangan yang tepat ia akan melompat ke dalam aksi. Melompat—mengubah seorang blogger dari penonton pasif adegan kehidupan menjadi agen yang aktif di dalamnya. Seorang blogger adalah penulis yang terlibat dengan dinamika hidup yang digelutinya.
Blogger yang terus menulis, melakukan lompatan-lompatan, tidak akan basah kuyub diguyur hujan hoax, intoleransi, nir-objektivitas saling fitnah, karena apa yang ditulisnya didedikasikan untuk masa depan kemanusiaan.
Saat melayang di udara—satu kaki di belakang sebagai kita di masa lalu, dan satu kaki ke depan sebagai kita di masa depan—menggambarkan intisari lompatan eksistensial kita. Kita melakukan lompatan itu karena satu hal: keyakinan akan masa depan yang lebih baik, damai, dan menggembirakan. []
jagalan 30.01.17
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H