Mohon tunggu...
Achmad Saifullah Syahid
Achmad Saifullah Syahid Mohon Tunggu... Penulis - Penulis

orang-orang cahaya berhimpun di dalam tabung cahaya, tari-menari, di malam yang terang benderang sampai fajar menjelang di cakrawala.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Lompatan Eksistensial yang Didorong oleh Keyakinan

30 Januari 2017   20:18 Diperbarui: 31 Januari 2017   12:26 574
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: www.bbc.com

Baru-baru ini sebuah foto akrobatik seorang penumpang yang melompat dari kereta api di Bangladesh memukau netizen. Foto membeku di udara itu membuahkan banyak tafsir, makna dan sikap hidup. Kita tidak sekadar dituntut bisa melompat—pada momentum tertentu, sebagaimana “takdir jepretan” seorang fotografer, yang dibutuhkan adalah melakukan lompatan.  

Setiap orang atau bahkan anak kecil bisa melompat. Salah satu pelajaran di Taman Kanak-Kanak adalah melompat untuk melatih keterampilan motorik kasar. Gerakan fisik yang bertumpu pada kaki itu terlihat sederhana, namun melompat selalu memerlukan keseimbangan dan momentum. Dua hal ini—keseimbangan dan momentum—menjadi syarat-kesadaran sebelum seseorang memutuskan untuk benar-benar melompat.

Adapun saat menjalani hidup yang kita perlukan bukan sekadar bisa melompat—kita membutuhkan keberanian melakukan lompatan-lompatan, tentu dengan keseimbangan dan momentum yang tepat. “Aksi besar” yang dapat dilakukan manusia tidak terlepas dari keberanian melakukan lompatan. Konon, Neil Armstrong yang menjejakkan kaki pertama kali di bulan melakukan aksi “langkah kecil” yang dia sebut sebagai “lompatan”.

“Aksi besar” itu sengaja saya pasang tanda petik karena terjadi “perang besar” yang berkecamuk dalam diri sebelum kita melakukan lompatan. Perang besar ini dipicu oleh idealisme “dunia dalam kepala” yang kerap tidak sejalan dengan realitas “dunia di luar kepala”. Mengapa hal ini terjadi?

Setiap manusia memiliki kecerdasan khas diri mereka masing-masing, sehingga kecerdasan membaca realitas tak jarang menghasilkan kecemasan. Sejumlah penelitian menyatakan mereka yang memiliki kecerdasan di atas rata-rata memiliki risiko depresi. Cynthia A. Helt dari University of Northern Colorado menuliskan rangkuman hasil penelitian yang menyatakan bahwa remaja-remaja bertalenta memiliki risiko depresi yang tinggi.

Bahwa setiap manusia memiliki kecerdasan khas diri masing-masing, dengan keresahan sesuai kecerdasan mereka, selain terkait dengan skor IQ, juga dipengaruhi oleh minat mereka pada bidang atau kajian tertentu. Rubrikasi yang ditawarkan Kompasiana menggambarkan ragam kecerdasan dan minat para penulis.

Melakukan Lompatan dengan Menulis

Dilanda “perang besar” yang terus berkecamuk dalam diri kita memerlukan sikap kuda-kuda yang kokoh untuk melakukan lompatan. Menulis adalah kuda-kuda kokoh sekaligus lompatan yang dilambari oleh keyakinan akan ada ruang untuk mendarat dengan aman. Justru yang menakutkan adalah ketika ruang dan waktu—di sini dan sekarang—diguncang oleh hoax, intoleransi, kesimpulan berpikir yang tidak memiliki struktur atau bangunan berpikir atau bun-yan (bukan Buniyani lho), terjebak pola hitam-putih, adu otot benere dhewe dan sejumlah dehumanisme kebodohan yang sangat fatal.

Dengan demikian, menulis bukan sekadar terapi untuk diri sendiri—menulis adalah lompatan eksistensial yang dipersyarati oleh kejujuran, otentitas, orisinalitas, struktur berpikir yang objektif, keadilan sikap yang harus dibangun bahkan sejak kita memetik ide atau inspirasi.

Sebagai lompatan eksistensial menulis tidak berarti melompati peluang dalam hidup. Kita justru melakukan lompatan-lompatan yang menakjubkan dan menciptakan banyak peluang. Sejatinya, menulis tak ubahnya seperti orang menanam bibit pohon dengan jangkauan waktu panen yang kekal dan abadi. Bukankah kemajuan tidak diukur oleh misalnya karoshi—yang secara harfiah berarti “kematian akibat terlalu banyak pekerjaan”, dampak dari budaya “lompatan teknologi” yang berhasil diraih Jepang? Kemajuan diukur dari jumlah lompatan yang ditampung oleh ruang dan waktu.  

Masih ingat bagaimana ayah dan ibu menasehati kita? “Kalau kamu sekarang malas-malasan, kelak akan jadi apa? Bapak dahulu belajar tanpa dibantu kemudahan teknologi…” Logika urutan waktu—sekarang, kelak akan datang, masa lalu—seakan menjadi hukum tak tertulis untuk melakukan lompatan. Bagaimana dimensi waktu itu diterapkan oleh penulis?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun