Mohon tunggu...
Achmad Saifullah Syahid
Achmad Saifullah Syahid Mohon Tunggu... Penulis - Penulis

orang-orang cahaya berhimpun di dalam tabung cahaya, tari-menari, di malam yang terang benderang sampai fajar menjelang di cakrawala.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Merdesa: Membangun Surga di Lingkungan Desa

17 Oktober 2016   01:29 Diperbarui: 17 Oktober 2016   09:29 392
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foto: http://pattiro.org/

Adalah Erika Cuéllar seorang ahli biologi yang melakukan penelitian di Gran Chaco, Amerika Selatan. Wanita keturunan asli Bolivia ini memiliki dedikasi luar biasa dalam melindungi kawasan hutan kering tropis besar yang tersebar dari Bolivia, Argentina, Paraguay, dan Brasil. 

Cuéllar menyadari ada potensi yang belum dimanfaatkan untuk diolah di daerah itu, baik sumber daya alam (SDA) dan manusianya (SDM). Gran Chaco merupakan rumah bagi lebih dari 4.000 spesies hewan, burung, dan tanaman.

Sayangnya, potensi tersebut ditinggalkan begitu saja oleh penduduk setempat yang banyak menghabiskan waktu bekerja di kota. Cuéllar membantu mereka agar mampu melindungi lingkungan alam dan menghadapi tantangan konservasi. Cuéllar ingin mereka kembali menghabiskan waktunya untuk mengurus wilayah mereka sendiri dan tinggal di rumah bersama keluarga mereka.

Cuéllar melatih program konservasi profesional kepada penduduk setempat. Sebelum mereka terjun merawat hutan Cuéllar melakukan pembinaan program parabilogist. Beberapa orang di Bolivia, Paraguay, dan Argentina telah melalui 800 jam, menjadi parabiologist. Selama sembilan bulan, mereka dilatih praktis dan teoritis ilmu biologi, melakukan pemetaan, pengumpulan data, dan keahlian lainnya.  

"Seperti paramedis, parabiologists menggunakan keterampilan khusus mereka untuk menyelamatkan nyawa, yang dalam hal ini berupa ekosistem mereka, tanah milik mereka, '' kata Cuéllar.

Lain Cuéllar lain pula sahabat saya, Shohibul Izar. Pengabdi di dusun Bajulmati Kec. Gedangan Kab. Malang sejak tahun 1990 itu melakukan kerja pemberdayaan di dusun yang berbatasan langsung dengan laut selatan. Sekitar tahun 1994 jalur lintas selatan yang kini menghubungkan Sendangbiru dengan pantai Balekambang masih berupa hutan dan rawa. 

Medan menuju dusun Bajulmati tergolong cukup berat. Beberapa sungai yang kami lewati waktu itu belum memiliki jembatan. Saat menyeberang sungai sering kali bukan kita naik motor, tapi motor naik ke pundak kita alias digotong rame-rame.

Sejauh ini selain merintis dan mengembangkan pendidikan di dusun Bajulmati, Shohibul Izar gencar melakukan gerakan mangrovisasi. Setiap tamu yang berkunjung ke Bajulmati, baik yang melakukan studi banding, menyerahkan bantuan pendidikan, hingga menjalankan bakti sosial, diajak melakukan “ritual” susur sungai. Di tengah kegiatan susur sungai itu Shohibul Izar mengajak tamu berhenti di beberapa lokasi sepanjang sungai untuk menanam bakau.

Kegiatan yang telah berlangsung sejak lima tahun ini mendapat respon positif. Tamu-tamu yang berkunjung ke dusun Bajulmati menikmati dua sensasi sekaligus: sensasi menelusuri sungai Bajulmati dan sensasi menanam bakau. Mereka cukup terkesan dan mendukung gerakan mangrovisasi karena terlibat secara langsung dalam menjaga dan melestarikan lingkungan.

Baik Erika Cuéllar dan Shohibul Izar atau para pengabdi lainnya di sudut-sudut terpencil nusantara akan menjumpai sedikitnya dua fakta. Pertama, sebagian besar waktu penduduk setempat habis untuk bekerja di kota. Kedua, belum tumbuh kesadaran mengurus wilayah mereka sendiri.

Saya menyaksikan dan mengalami kedua fakta tersebut. Sebagian besar anak muda dusun memilih bekerja di kota atau di luar negeri. Desakan ekonomi membuat mereka meninggalkan dusun dan kampung. 

Bagi yang tetap bertahan di dusun biasanya gampang bersikap apatis ketika diajak untuk melakukan pemberdayaan. Bagi warga setempat naik perahu menelusuri sungai adalah aktivitas lalar gawe. Mereka heran dan bertanya-tanya, apa tidak ada pekerjaan lain naik perahu sampai berjam-jam?

Maka, upaya edukasi merupakan langkah strategis untuk membuka mata warga setempat bahwa wilayah dusun mereka memiliki potensi yang melimpah. Erika Cuéllar dengan program parabilogist dan Shohibul Izar dengan program pendidikan komunitas dusun hingga hari ini memiliki dampak positif. Warga setempat terutama anak muda bukan hanya melek huruf, melek aksara—mereka juga melek lingkungan.

Kita tahu terdapat kesenjangan cukup serius antara generasi tua dan generasi muda perihal melek lingkungan. Anak muda belum matang benar mewarisi kecerdasan dan kearifan melek lingkungan dari golongan tua. Modernisasi yang menawarkan warna-warni kehidupan masa kini membius anak muda di dusun—dan tentu saja tanpa dibarengi sikap berpikir yang kritis. Simbol-simbol budaya modern cukup mudah dijumpai di dusun yang terpencil sekalipun.

Akibatnya, tidak disangkal lagi kota telah menjadi bagian dari desa. Frasa “menjadi bagian” apabila dijelentrehkan bisa menampilkan detal-detal kenyataan: mendominasi, menguasai, memengaruhi, mengintervensi, menyerap, menghisap, menjajah, dan seterusnya.

Modernisasi yang diyakini akan menuju arah perubahan tak pelak menimpa dusun dan kampung yang mewakili kultur tradisional. Desa dipaksa menjadi kota. Desa yang maju adalah desa yang meng-kota, lengkap dengan simbol, asesoris, dan perilaku kebudayaan yang menyertainya. Dengan demikian, desa dihilangkan identitas sosio-budayanya.

Sudah menjadi cara pandang bahwa tradisional berada di bawah atau di belakang. Modern berada di atas atau di depan. Dua gerbong itu, gerbong tradisional dan gerbong modern, dipaksa untuk kawin. Hasilnya adalah perkawinan yang tidak membawa bahagia. 

Tradisional dan modern berasal dari muatan sejarah, cara pandang, ideologi yang berbeda, bahkan cenderung berlawanan. Perkawinan yang tidak membahagiakan itu pada akhirnya menghasilkan pertentangan, ketegangan, perselisihan yang ledakannya kita rasakan hingga hari ini.

Apabila dicermati ledakan itu justru mengalirkan arus kesadaran dan cara pandang baru. Gejala antiklimaks mulai tumbuh walaupun masih bersifat sporadis, lokal, dan belum utuh benar. Desa kembali dirindukan. Orang ingin kembali merdesa. Apa itu merdesa?

Toto Rahardjo mendefinisikan merdesa berasal dari kata “desa” dalam bahasa Jawa kuno. Artinya: “tempat hidup yang layak, sejahtera dan patut”. Dalam pengertian ini juga tersirat makna desa—suatu kawasan yang merdeka dan berdaulat.  

Lebih jauh diungkapkan oleh Toto Rahardjo, ada pula dalam rumus otak-atik gathuk, ada persamaan antara Paradise (sorga) dengan Paradesa—Para (tertinggi), maka kedudukan desa diletakkan dalam maqam, derajat dan martabat di puncak paling atas. 

Desa merupakan visi, cita-cita tertinggi, pencapaian membangun sorga di dunia nyata, yakni; “tempat hidup yang layak, sejahtera dan patut”. Layak secara ekonomi, layak secara sosial budaya, layak secara politik—itulah sejahtera, dan patut (kepatutan) memiliki dimensi yang holistik; adanya pola hidup yang bersahaja, rukun, penuh kesederhanaan, tak ada individualisme—karena sistem kehidupan dilandasi oleh pertimbangan kebersamaan, komunalitas, berjamaah tidak mudah untuk mengumbar keserakahan—ekspolitasi, tak ada yang dominan pada kepentingan diri pribadi, karena orang yang mementingkan diri pribadi justru diyakini sedang membangun neraka dan dianggap durhaka, dur-angkara—semua ada takarannya.

Apabila kita sepakat dengan paradigma dan visi merdesa, maka Erika Cuéllar, Shohibul Izar, para pengabdi di puncak gunung adalah para pelopor pembangunan paradise. Mungkin mereka tidak dicatat dan terselip di ketiak sejarah. Namun, berkat kepedulian, pengabdian, dan kerja keras mereka, paradise itu akan menarik kembali orang-orang yang gerah oleh panas “neraka” kota untuk pulang ke desa sebagai manusia yang telah memenuhi kelayakan.  

Di desa, di bumi paradise, tidak ada lagi keserakahan. “Bumi ini cukup untuk kesejahteraan seluruh umat manusia, namun tidak cukup untuk keserakahan satu manusia,” kata Gandhi. 

Jagalan 171916

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun