Mohon tunggu...
Achmad Saifullah Syahid
Achmad Saifullah Syahid Mohon Tunggu... Penulis - Penulis

orang-orang cahaya berhimpun di dalam tabung cahaya, tari-menari, di malam yang terang benderang sampai fajar menjelang di cakrawala.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Merdesa: Membangun Surga di Lingkungan Desa

17 Oktober 2016   01:29 Diperbarui: 17 Oktober 2016   09:29 392
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foto: http://pattiro.org/

Bagi yang tetap bertahan di dusun biasanya gampang bersikap apatis ketika diajak untuk melakukan pemberdayaan. Bagi warga setempat naik perahu menelusuri sungai adalah aktivitas lalar gawe. Mereka heran dan bertanya-tanya, apa tidak ada pekerjaan lain naik perahu sampai berjam-jam?

Maka, upaya edukasi merupakan langkah strategis untuk membuka mata warga setempat bahwa wilayah dusun mereka memiliki potensi yang melimpah. Erika Cuéllar dengan program parabilogist dan Shohibul Izar dengan program pendidikan komunitas dusun hingga hari ini memiliki dampak positif. Warga setempat terutama anak muda bukan hanya melek huruf, melek aksara—mereka juga melek lingkungan.

Kita tahu terdapat kesenjangan cukup serius antara generasi tua dan generasi muda perihal melek lingkungan. Anak muda belum matang benar mewarisi kecerdasan dan kearifan melek lingkungan dari golongan tua. Modernisasi yang menawarkan warna-warni kehidupan masa kini membius anak muda di dusun—dan tentu saja tanpa dibarengi sikap berpikir yang kritis. Simbol-simbol budaya modern cukup mudah dijumpai di dusun yang terpencil sekalipun.

Akibatnya, tidak disangkal lagi kota telah menjadi bagian dari desa. Frasa “menjadi bagian” apabila dijelentrehkan bisa menampilkan detal-detal kenyataan: mendominasi, menguasai, memengaruhi, mengintervensi, menyerap, menghisap, menjajah, dan seterusnya.

Modernisasi yang diyakini akan menuju arah perubahan tak pelak menimpa dusun dan kampung yang mewakili kultur tradisional. Desa dipaksa menjadi kota. Desa yang maju adalah desa yang meng-kota, lengkap dengan simbol, asesoris, dan perilaku kebudayaan yang menyertainya. Dengan demikian, desa dihilangkan identitas sosio-budayanya.

Sudah menjadi cara pandang bahwa tradisional berada di bawah atau di belakang. Modern berada di atas atau di depan. Dua gerbong itu, gerbong tradisional dan gerbong modern, dipaksa untuk kawin. Hasilnya adalah perkawinan yang tidak membawa bahagia. 

Tradisional dan modern berasal dari muatan sejarah, cara pandang, ideologi yang berbeda, bahkan cenderung berlawanan. Perkawinan yang tidak membahagiakan itu pada akhirnya menghasilkan pertentangan, ketegangan, perselisihan yang ledakannya kita rasakan hingga hari ini.

Apabila dicermati ledakan itu justru mengalirkan arus kesadaran dan cara pandang baru. Gejala antiklimaks mulai tumbuh walaupun masih bersifat sporadis, lokal, dan belum utuh benar. Desa kembali dirindukan. Orang ingin kembali merdesa. Apa itu merdesa?

Toto Rahardjo mendefinisikan merdesa berasal dari kata “desa” dalam bahasa Jawa kuno. Artinya: “tempat hidup yang layak, sejahtera dan patut”. Dalam pengertian ini juga tersirat makna desa—suatu kawasan yang merdeka dan berdaulat.  

Lebih jauh diungkapkan oleh Toto Rahardjo, ada pula dalam rumus otak-atik gathuk, ada persamaan antara Paradise (sorga) dengan Paradesa—Para (tertinggi), maka kedudukan desa diletakkan dalam maqam, derajat dan martabat di puncak paling atas. 

Desa merupakan visi, cita-cita tertinggi, pencapaian membangun sorga di dunia nyata, yakni; “tempat hidup yang layak, sejahtera dan patut”. Layak secara ekonomi, layak secara sosial budaya, layak secara politik—itulah sejahtera, dan patut (kepatutan) memiliki dimensi yang holistik; adanya pola hidup yang bersahaja, rukun, penuh kesederhanaan, tak ada individualisme—karena sistem kehidupan dilandasi oleh pertimbangan kebersamaan, komunalitas, berjamaah tidak mudah untuk mengumbar keserakahan—ekspolitasi, tak ada yang dominan pada kepentingan diri pribadi, karena orang yang mementingkan diri pribadi justru diyakini sedang membangun neraka dan dianggap durhaka, dur-angkara—semua ada takarannya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun