Malam sudah sangat larut. Bagi para kelelawar malam semilir dingin yang menusuk kulit adalah tanda yang menunjukkan malam sudah lewat pukul dua belas. Selarut itu malam merangkak belum menunjukkan kegelisahan sahabat saya tuntas terurai.
Gelisah sahabat saya bukan dipicu oleh kegelisahan pribadi. Ia menanggung gelisah atas apa yang menurutnya adalah kemunduran tapi oleh sebagian orang di sekitarnya dinilai sebagai kemajuan. Kebodohan dibungkus kepandaian. Keserakahan digantinama kedermawanan.
“Siapa tidak gelisah menyaksikan paradoksal seperti itu?” Ia bertanya dengan suara memberat.
“Sebenarnya kamu berbicara tentang apa? Lingkup bidangnya apa? Agama, pendidikan, politik…?”
“Nah itu!”
“Nah itu yang mana?”
“Pendidikan,” jawabnya singkat.
Ternyata selain dipicu oleh fakta paradoks yang bertubi-tubi menghantam common sense, kegelisahannya juga disebabkan oleh tulisan saya: THR, Tabungan Hari Raya ala Anak-anak Ngaji.
“Lhadalah, kamu membaca tulisan itu sehingga gelisahmu makin memuncak?”
“Jangan salah paham dan jangan besar kepala. Tulisanmu itu lumayan jernih,” katanya. “Justru kejernihan itu menyeret saya pada situasi serba paradoks tadi.”
“Kok bisa begitu?”
“Setiap kejernihan dan pencerahan yang kita terima adalah daya untuk membuka mata sehingga penglihatan kita makin bening. Cara berpikir menjadi terang. Cara memandang fakta menjadi utuh kembali. Itulah sebabnya aku menjumpai beragam pertentangan yang berkompromi dengan kepentingan sesaat.”
Panjang lebar sahabat saya mengurai common sense, paradoksal sikap berfikir, kesesatan cara memandang persoalan, dan berbagai penyakit yang disadari bukan sebagai penyakit.
“Tulisan tentang THR ala anak-anak ngaji itu adalah ungkapan syukur bahwa aku diberi kesempatan belajar kepada anak-anak. Hanya itu, tidak ada yang lebih,” ungkap saya.
“Justru itu aku menjadi paham dan mataku melihat lebih gamblang, katakanlah tentang lembaga pendidikan yang dikelola untuk mencerdaskan anak bangsa ternyata adalah mesin ekonomi bagi segelintir kepentingan perseorangan.”
“Kamu berdaulat dengan kesimpulanmu dan aku pun berdaulat untuk tidak terseret kepentingan serupa itu.”
Dalam hati saya berdoa, semoga malam ini adalah malam lailatul qadar. Malam pencerahan yang lebih baik dari seribu malam pencerahan.
Cahaya pencerahan yang meneguhkan bahwa untuk berjuang mewujudkan sense of purpose kita diperkenankan untuk tidak terseret arus utama hegemoni kepentingan di sekitar kita. Tidak terjebak ke dalam kerangkeng pencitraan yang bersifat paradoks. Tidak didekte oleh suara-suara ghibah dan rasan-rasan yang negatif.
Untuk mewujudkan sense of purope dibutuhkan character strength yang tidak main-main. Apa itu character strength? Ialah personalitas yang teguh, kukuh, independen, berani berbeda dalam menyikapi isu, tegas bersikap, namun tetap mengakomodasi perubahan menuju situasi yang lebih baik dan bermakna.
Teringat saya oleh sosok Muhammad Ali. Ia adalah figur yang memiliki character strength mengagumkan. Salah ungkapan yang hidup dan terngiang hingga kini, Muhammad Ali menyatakan, "Saya tahu apa yang benar dan apa yang saya perjuangkan. Saya tidak harus menjadi orang lain seperti yang Anda inginkan. Saya bebas menentukan jati diri saya sendiri."
Karakter pribadi yang kuat akan menopang kita mewujudkan gagasan perjuangan. Seorang pengabdi, pejuang pendidikan, penggerak kejumudan, pelopor perubahan, dalam lingkup terkecil sekalipun, selalu diisi oleh figur pribadi yang berkarakter tangguh. Pribadi yang menjadi dirinya sendiri.
Dan keteguhan itu hampir bisa dipastikan akan selalu diawali oleh kesanggupan melihat yang tidak bisa dilihat oleh kebanyakan orang. Menurut teori manajemen perubahan, seseorang yang sanggup melihat adanya kesenjangan antara fakta ke-kini-an dengan fakta yang hendak dicapai di masa depan.
Dalam lingkup emosi-batin kesenjangan itu kadang menggelisahkan, seperti yang dialami sahabat saya. Kegelisahan yang sama sekali tidak bermuara pada kepentingan pribadi. Justru sebaliknya, ia sedang menggelisahkan kehidupan orang-orang di sekitarnya. Kegelisahan yang juga dirasakan oleh Soekarno, Chairil Anwar, Nelson Mandela, Muhammad Ali, dan tokoh perubahan lainnya.
Kegelisan yang wajar dirasakan setiap manusia yang hidup matanya. Siapa tidak gelisah saat menyaksikan neraka dikenalkan sebagai surga, panas dikampanyekan sebagai dingin, kemunafikan dipoles sebagai ketulusan?
Justru yang perlu dicermati adalah bagaimana menyikapi kegelisahan yang secara psikologis bersifat krusial? Wejangan bermakna datang dari Ki Ageng Suryomentaram.
“Sebagai pribadi, semua orang hendaknya jangan sampai mengikuti apa dan siapa pun selain bisikan kata hati terdalamnya. Karena niat apa pun selain yang berasal dari kata hati terdalam, meski dengan dalih mengikuti ajaran dari para guru, pasti keliru. Saya dapat pastikan, fatal sekali kesalahan para guru yang ajarannya dibiarkan diikuti oleh orang banyak dengan cara seperti itu.” (Dikutip dari terjemahan Muhaji Fikriono dalam Surat Ki Ageng Suryomentaram untuk Para Pembelajar).
Bisikan kata hati terdalam adalah suara yang dititipkan Tuhan. Idealisme menapaki sense of purpose untuk menjadikan hidup lebih bermakna, akan selalu terbimbing oleh suara hati nurani. Dengan demikian, orang yang memiliki character strength adalah orang yang suara hatinya lantang bersuara dari balik lorong jiwanya. Suara hati itu didengarkan dan diikutinya.
Akhirnya, saran yang saya berikan kepada sahabat saya adalah dengarkan dan ikuti bisikan suara hati terdalam.
“Kamu pernah mencobanya?” tanya sahabat saya enteng. []
Jagalan 27 06 2016
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H