Survei menjukkan dari seribu penduduk Indonesia, hanya satu orang yang membaca buku. Daftar buruk hasil survei bukan terkait dengan minat baca saja. Kemampuan sains dan matematika pelajar Indonesia juga memelas.
Sudahlah. Legowo saja menerima fakta yang sesungguhnya kita sendiri telah secara canggih merancangnya. Bahkan Pak Anies Baswedan pun berulangkali menyatakan pendidikan Indonesia sedang gawat darurat. Apa yang kita saksikan hingga hari ini merupakan produk pendidikan Indonesia di masa lalu.
Apa boleh buat. Mesin waktu tidak bisa diputar. Kaki harus melangkah dan terus melangkah ke depan. Silahkan menoleh ke belakang untuk keperluan secukupnya saja: belajar dari keteledoran masa lalu. Selanjutnya tetap sadar di ke-kini-an. Sekarang. Di sini. Mata menatap ke depan. Bergerak.
Itulah mengapa di pagi yang segar pada hari minggu, Cak Siman mengajak anak-anak pergi ke pasar. Lokasi pasar yang tidak jauh dari rumah ditempuh dengan berjalan kaki.
“Asik. Kita berbelanja di pasar,” seloroh Rere
“Cak Siman kita nanti ditraktir beli sarapan ya?”
“Kita belanja ilmu,” sahut Cak Siman.
“Belanja ilmu?”
“Kalau ke pasar itu belanja sayur mayur, beli baju, atau cari sarapan!”
“Ah, Cak Siman ini aneh.”
Sampai di pasar, di pendopo yang berada di gerbang pasar, Cak Siman membagikan kertas dan alat tulis. Anak-anak bertanya-tanya. “Untuk apa ini Cak?”