Mohon tunggu...
Achmad Saifullah Syahid
Achmad Saifullah Syahid Mohon Tunggu... Penulis - Penulis

orang-orang cahaya berhimpun di dalam tabung cahaya, tari-menari, di malam yang terang benderang sampai fajar menjelang di cakrawala.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

(Mripat 01) Sekolah Bukan Sekolah

15 April 2016   19:59 Diperbarui: 15 April 2016   20:03 73
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption caption="Ilustrasi: idolator.com"][/caption]Cak Siman, sahabat karib saya, punya pekerjaan baru. Ia mengumpulkan anak-anak kecil, seusia taman kanak-kanak dan sekolah dasar, di ruang tamunya yang tidak cukup lebar. Anak-anak itu menyambut suka cita. Tidak sedikit yang masih bertanya-tanya. Sore itu berkumpul sepuluh anak di rumah Cak Siman. Ruangan tidak bermeja kursi dipadati anak-anak yang duduk lesehan.

Saya tidak tahu persis tujuannya mengumpulkan anak-anak. “Kamu kurang pekerjaan apa?” Saya bertanya padanya. Heran. Ia tidak cukup berpendidikan untuk sekedar mengajar anak playgroup. Ngaji al Quran pun Cak Siman gruthal-grathul. Tidak lancar dan banyak salah.

Yang saya tahu, kabarnya ia pernah mengajar di sekolah dasar. Sebentar saja. Dipecat karena pikiran-pikirannya dianggap berbahaya bagi keberlangsungan sekolah. Kinerjanya kacau. Ia hanya seorang Siman. Sangat tidak layak dan wajib dipertanyakan apabila memiliki gagasan yang terlalu cemerlang. Ia pantas dicurigai. Diawasi gerak-geriknya. Diteropong segala aktivitasnya.

“Curigalah kepadaku karena aku pantas dicurigai.”

“Saya bertanya, Cak. Bukan curiga.”

“Jangankan bertanya, dijadikan bahan fitnahan pun silahkan.”

“Itu lho soal mengumpulkan anak-anak. Sampeyan ini kurang pekerjaan apa?”

Cak Siman tertawa.

“Ini tidak ada kaitannya dengan pekerjaan. Kegiatan bersama anak-anak itu tidak dibiayai siapapun. Tidak ada gajinya. Tidak ada donaturnya. Tidak ada penyandang dananya. Tidak ada proposal pencairan bantuan.”

Lha kenapa anak-anak itu dikumpulkan?”

“Belajar.”

“Belajar?”

“Iya belajar. Hanya itu. Belajar apa saja. Belajar mengenal dan membaca diri. Belajar memahami perasaan. Belajar bicara. Belajar mengenal kondisi kampung. Belajar mengapa Allah memberi kita dua mata, dua telinga, jantung yang berdegub.”

“Apa tidak terlalu berat anak-anak belajar semua itu?”

“Kalau semangatnya mempelajari, anak-anak itu pasti tidak sanggup. Kita pun akan angkat tangan. Aku mengajak mereka belajar dari.”

Ini filsafat pendidikan aliran apa lagi. Mempelajari dan belajar dari. Dimana-mana orang sekolah itu mempelajari: mempelajari lingkungan, kambing, bintang, daun, angka dan rumus-rumus. Di jangka waktu tertentu, setelah mempelajari beberapa bab tertentu, siswa diuji. Apakah ia berhasil mempelajari obyek pelajarannya. Hasilnya adalah angka-angka yang tertera di kolom rapot.

Mempelajari itu hasilnya terukur. Angka-angka di rapot menjadi standarnya. Bahkan saking obyektifnya, angka-angka yang mewakili pencapaian hasil belajar itu, dideskripsikan. Namanya rapot deskripsi.

Angka saja tidak cukup. Nilai pelajaran matematika dapat 8. Bagaimana penjabarannya? Bagaimana aspek kompetensi yang sudah atau belum dikuasai? Bagaimana proses siswa mendapat nilai 8? Otentik hasil kerja pikirannya atau berkat sumbangsih teman sebelahnya? Mengapa nilai total di rapot ketemu angka 8? Murni atau berkat ngaji, ngarang biji, bapak ibu guru yang welas dan asih? Apa beda angka dan nilai?

Semua pertanyaan itu tak boleh didengar Cak Siman. Bahaya. Ia akan ndleming, gak karuan bicara pendidikan yang bukan pendidikan, sekolah yang bukan sekolah, belajar yang bukan belajar, murid yang bukan murid, guru yang bukan guru.

“Aku merasa kasihan pada anak-anak,” ungkap Cak Siman memelas.

“Kasihan bagaimana? Padahal teman-teman justru kasihan pada hidup sampeyan.”

“Apa kamu tega anak-anak dicabut harkat kemanusiaannya? Diprogram menjadi robot-robot? Dikubur fitrah potensinya? Dikemas ke dalam kardus-kardus produksi untuk disodorkan pada putaran mesin nafsu industrialisme-materialisme?”

“Ah, sampeyan menakut-nakuti. Pintar mendramatisir. Buktinya anak-anak itu, siswa, dan para pelajar tenang-tenang saja. Enjoy bersekolah. Tidak mencemaskan apapun yang sampeyan cemaskan. Guru-guru mereka berdedikasi tinggi. Gajinya lancar. Sudah berani kredit mobil. Jutaan guru lainnya terangkat kehidupan ekonominya berkat lulus sertifikasi dan cair tunjangan profesi gurunya. Cak Siman memakai kaca mata apa sehingga pendidikan menjelma kegetiran yang menakutkan?”

Bondo mripat. Buka matamu. Kamu tahu kan bedanya melihat dengan ‘melihat’?”

Jagalan 150416

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun