“Belajar?”
“Iya belajar. Hanya itu. Belajar apa saja. Belajar mengenal dan membaca diri. Belajar memahami perasaan. Belajar bicara. Belajar mengenal kondisi kampung. Belajar mengapa Allah memberi kita dua mata, dua telinga, jantung yang berdegub.”
“Apa tidak terlalu berat anak-anak belajar semua itu?”
“Kalau semangatnya mempelajari, anak-anak itu pasti tidak sanggup. Kita pun akan angkat tangan. Aku mengajak mereka belajar dari.”
Ini filsafat pendidikan aliran apa lagi. Mempelajari dan belajar dari. Dimana-mana orang sekolah itu mempelajari: mempelajari lingkungan, kambing, bintang, daun, angka dan rumus-rumus. Di jangka waktu tertentu, setelah mempelajari beberapa bab tertentu, siswa diuji. Apakah ia berhasil mempelajari obyek pelajarannya. Hasilnya adalah angka-angka yang tertera di kolom rapot.
Mempelajari itu hasilnya terukur. Angka-angka di rapot menjadi standarnya. Bahkan saking obyektifnya, angka-angka yang mewakili pencapaian hasil belajar itu, dideskripsikan. Namanya rapot deskripsi.
Angka saja tidak cukup. Nilai pelajaran matematika dapat 8. Bagaimana penjabarannya? Bagaimana aspek kompetensi yang sudah atau belum dikuasai? Bagaimana proses siswa mendapat nilai 8? Otentik hasil kerja pikirannya atau berkat sumbangsih teman sebelahnya? Mengapa nilai total di rapot ketemu angka 8? Murni atau berkat ngaji, ngarang biji, bapak ibu guru yang welas dan asih? Apa beda angka dan nilai?
Semua pertanyaan itu tak boleh didengar Cak Siman. Bahaya. Ia akan ndleming, gak karuan bicara pendidikan yang bukan pendidikan, sekolah yang bukan sekolah, belajar yang bukan belajar, murid yang bukan murid, guru yang bukan guru.
“Aku merasa kasihan pada anak-anak,” ungkap Cak Siman memelas.
“Kasihan bagaimana? Padahal teman-teman justru kasihan pada hidup sampeyan.”
“Apa kamu tega anak-anak dicabut harkat kemanusiaannya? Diprogram menjadi robot-robot? Dikubur fitrah potensinya? Dikemas ke dalam kardus-kardus produksi untuk disodorkan pada putaran mesin nafsu industrialisme-materialisme?”