PKI DILARANG SETELAH 41 TAHUN KELAHIRANNYA (1924-1965)
Achmad Nurudin
(achmadnurudintusikin@gmail.com)
Suharto membubarkan PKI (Partai Kominis Indonesia) pada tanggal 12 maret 1966, hanya sehari setelah menjabat Pengemban Supersemar (Surat Perintah Sebelas Maret 1966). Momentum ini menguatkan dukungan rakyat atas kinerja Suharto sebagai pemimpin masa depan yang serius mengabulkan tuntutan rakyat sebagaimana tertuang dalam spanduk Tritura.
Suharto secara masif dan terukur melakukan upaya-upaya yang dianggap perlu untuk menjaga stabilitas nasional dan menyelamatkan Presiden dan keluarganya---sebagaimana amanat Supersemar.
Lebih jauh lagi, Suharto dianggap kompeten dalam menyelamatkan bangsa dan negara Indonesia dari cengkraman komunisme dan pengganggu kedaulatan bangsa di masa depan.
Partai Komunis Indonesia
Abdul Syukur dalam artikelnya Kehancuran Golongan Komunis di Indonesia  (2008) menyebut penyebar komunisme pertama di Hindia Belanda adalah Hendricus Josephus Fransiscus Marie Sneevliet (1883-1942). Sneevliet adalah ketua Persatuan Buruh Kereta Api dan Trem di negeri Belanda pada tahun 1909.
Empat tahun kemudian Sneevliet menetap di Indonesia dan tahun 1914 ia mendirikan Indische Social Democratische Partij (ISDV) yang banyak mempengaruhi kader-kader pergerakan di Indonesia. Tetapi, di tahun 1918 Sneevliet dideportasi oleh pemerintah kolonial Hindia Belanda karena pergerakan politiknya.
Kepemimpinan ISDV dilanjutkan oleh Semaun dan Dharsono yang mendirikan Perserikatan Komunis Hindia Timur (1921) dan dikemudian hari menjadi Partai Komunis Indonesia (1924). Mayoritas tokoh dan anggotanya berasal dari kelompok SI Merah, faksi komunisme dalam Partai Sarekat Islam pimpinan Tjokroaminoto. Pengaruh PKI sangat kuat dalam organisasi buruh kereta api dan trem.
Pemerintah Kolonial Hindia Belanda kemudian melarang PKI setelah mereka melancarkan pemberontakan pada tahun 1926- 1927.
PKI bangkit lagi setelah pemerintah  Indonesia pada bulan Oktober 1945 mengumumkan pemberlakuan sistem multipartai. Setelah kebijakan ini, berdirilah sejumlah partai politik dengan beragam ideologinya.
Feith dan Castles (1988) menyebutkan bahwa secara garis besar ada lima aliran dalam pemikiran politik di Indonesia sepanjang tahun 1945-1965 yaitu Islamisme, Komunisme, Nasionalisme Radikal, Sosialisme Demokrat, dan Tradisionalisme Jawa. Komunisme di bawah PKI menjadi kekuatan politik utama di Indonesia sampai dua decade kemerdekan. PKI muncul sebagai partai baru pada 7 November 1945 di bawah pimpinan Mohamad Jusup.
Pada 11 Agustus 1948 Kepala Perwakilan RI di Praha-Chekoslovakia Suripno kembali ke Indonesia. Ia membawa serta sekretarisnya yang bernama Soeparto alias Muso, seorang tokoh komunis yang melarikan diri ke Uni Soviet setalah kegagalan pemberontakan komunis di Banten, Jawa Barat (1926). Selama di pengasingan, Muso menjadi salah satu tokoh komunisme internasional yang berpusat di Uni Soviet. Posisinya inilah yang membuatnya dapat mempengaruhi pimpinan PKI agar menerapkan garis keras dalam perjuangannya.
Dalam konferensi PKI pada 26-27 Agustus 1948 Muso diangkat sebagai Sekjen Politbiro PKI. Di bawah kepemimpinnya jumlah anggota PKI segera membesar dari 3000 menjadi 30.000.
PKI berkoalisis dengan Partai Sosialis Indonesia (PSI), Pemuda Sosialis Indonesia (Pesindo), Sentral Organisasi Buruh Seluruh Indonesia (SOBSI), dan Partai Buruh Indonesia (PBI) melakukan penentangan secara terbuka terhadap pemerintah Republik Indonesia. Gerakan mereka terkonsentrasi di Madiun dan Surakarta. Puncaknya adalah pendirian negara komunis Republik Soviet Indonesia, suatu baru yang memisahkan diri dari Republik Indonesia. Namun pemerintah RI di bawah kepemimpinan Presiden Soekarno dan Wakil Presiden Mohammad Hatta berhasil menggagalkannya.
Peristiwa Madiun menyebabkan terjadinya percepatan regenerasi kepemimpinan PKI kepada D.N. Aidit, Nyoto, Sudisman dan Sudisman. Di bawah kepemimpinan D.N. Aidit, PKI berhasil menjadi partai terbesar keempat dalam Pemilu 1955. Perolehan suaranya berada di bawah PNI, Masyumi, dan Partai NU.
Pengaruh PKI di Indonesia semakin menguat setelah Presiden Soekarno mengeluarkan Dekrit Presiden pada 5 Juli 1959 dan menjalankan politik luar negeri yang agresif dalam menentang Nekolim (Neokolonialisme dan imperialisme) sepanjang awal tahun 1960-an.
Dalam kebijakannya, Soekarno sangat berharap dukungan rakyat maupun jaringan internasional antokolonialisme. Di sini kemudin PKI memanfaatkan peluang politik untuk merebut simpati Sukarno.
TNI Angkatan Darat dan kelompok Islam menjadi penghalang utama PKI untuk memperbesar pengaruhnya di Indonesia. Kedua kelompok ini mewaspadai setiap gerakan komunisme yang dalam sejarah Indonesia telah berulang kali melakukan upaya makar terhadap pemerintah (1926-1927 dan 1948).
KAP-Gestapu
      Pada 30 September 1965 terjadi percobaan kudeta yang dilakukan oleh PKI terhadap pemerintahan Republik Indonesia. PKI menculik dan membunuh 6 orang Jenderal dan seorang Perwira Tentara Nasional Indonesia Angkatan Darat (TNI AD). TNI AD pada masa itu merupakan kekuatan yang mewaspadai gerakan PKI.
      Terbunuhnya 6 Jenderal tersebut, memaksa Mayjen Suharto mengambil alih kepemimpinan TNI AD. Hal semacam ini dilakukan berdasarkan preseden yang dilakukan sewaktu Panglima TNI AD Jenderal Ahmad Yani berhalangan.
Sementara Mayjen Suharto sibuk memimpin operasi militer menghadapi para pemberontak G30S/PKI, Mayjen TNI Sucipto, pimpinan KOTI (Komando Operasi Tertinggi) mengundang partai-partai politik untuk menyatukan barisan melawan PKI.
Pertemuan dilaksanakan di Markas Kostrad di Jalan Merdeka Timur pada tanggal 2 Oktober 1966. Dalam pertemuan tersebut, semua partai politik yang hadir menyatakan bergabung dengan TNI AD dalam menghadapi PKI.
Realisasi dari dukungan tersebut adalah dengan membentuk Badan Koordinasi Pengganyangan Kontra Revolusioner Gerakan 30 September. Badan ini kemudian berubah nama menjadi KAP-Gestapu (kesatuan Aksi Pengganyangan Gerakan September Tiga Puluh). Ini adalah front aksi pertama melawan PKI.
KAP-Gestapu diketuai oleh Subhan Z.E. dari Nahdlatul Ulama (NU) dan sekretarisnya Harry Tjan Silalahi dari Partai Katolik. Komando ini secara efektif berguna sebagai komado aksi politik antikomunis pendukung TNI AD. TNI AD memfasilitasi pertemuan para aktivis antikomunis dari berbagai organisasi untuk bertemu dengan Panglima Kostrad Mayjen TNI Suharto di Markas Kostrad.
Organisasi yang hadir diantaranya: Nahdlatul Ulama/NU, Himpunan Mahasiswa Islam/HMI, Pergerakan Mahasiswa Kristen Republik Indonesia/PMKRI, Pemuda Muhammadiyah, Pelajar Islam Indonesia/PII, Sekertariat Bersama Golongan Karya/Sekber Golkar, Front Nasional, Gabungan Serikat Buruh Islam Indonesia/Gasbiindo, Generasi Muda Islam/Gemuis, Kesatuan Buruh Kebangsaan Indonesia/KBKI, Partai Katolik, dan Partai Sarekat Islam Indonesia/PSII). Â Â Â Â Â
Dalam ceramah umum di Taman Sunda Kelapa Jakarta, tanggal 4 Oktober 1965 hadir para pembicara: Subhan Z.E. (NU), Yahya Ubaid (NU), Projokusumo (Muhammadiyah), Syeh marhaban (PSII), Tejomulyo (Katolik) dan beberapa nama lainnya.
Acara ini diakhiri dengan pernyataan bersama dalam mengutuk aksi Kudeta gerakan 30 September 1965 dan menyangkakan PKI sebagai dalang peristiwa tersebut, sehingga PKI dan ormas-ormasnya harus segera dibubarkan.
Pada akhir acara dibentuklah KAP-Gestapu sebagai kebulatan tekad menghadapi gerakan komunsme di Indonesia.
KAP-Gestapu mengadakan rapat lanjutan yang lebih besar di Taman Suropati Jakarta pada tanggal 8 Oktober 1966. Aksi ini mendesak Presiden Sukarno untuk membubarkan PKI beserta ormas-ormasnya.
Geoffrey B. Robinson dalam Musim Menjagal: Sejarah Pembunuhan Massal di Indonesia 1965-1966 menyebut pembentukan KAP-Gestapu juga memicu pembentukan banyak badan koordinasi dan kesatuan aksi. Organisasi baru yang paling aktif adalah KAMI (Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia), KAPPI (Kesatuan Aksi Pemuda Pelajar Indonesia), dan KASI (Kesatuan Aksi Sarjana Indonesia). Selain itu Angkatan Darat juga membentuk organisasi serupa di tingkat daerah.
Tuntutan "seragam" kesatuan-kesatuan aksi yang kemudian dimotori KAMI dikenal dengan sebutan TRITURA (Tri Tuntutan Rakyat). TRITURA berisi: (1) Bubarkan PKI; (2) Turunkan Harga; (3) Retool Kabinet 100 Menteri.
Menurut Kristian Erdianto (Kompas.com 12 Maret 2016) pada tanggal 12 Maret 1966, dengan mengatasnamakan Presiden Sukarno, Suharto mengeluarkan Keputusan Presiden Nomor 1/3/1966 perihal Pembubaran PKI. Isi Kepres tersebut adalah sebagai berikut: Pertama, membubarkan Partai Komunis Indonesia termasuk bagian-bagian organisasinya dari pusat sampai ke daerah beserta semua organisasi yang seasas, berlindung, dan bernaung di bawahnya. Kedua, Suharto menyatakan PKI sebagai organisasi terlarang di seluruh wilayah kekuasaan negara Republik Indonesia.
Keputusan tersebut kemudian diperkuat dengan Ketetapan MPRS Nomor XXV/1966, yang merupakan keputusan pertama Suharto setelah menerima Supersemar. Akhirnya, PKI---yang berdiri sejak 1924---harus  terkubur dari bumi Indonesia pada usianya yang keempatpuluh satu.
AN
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H