Melalui kebijakan zonasi, kita akan merasakan nuansa yang tak biasa dari pendidikan sebelumnya. Jika dahulu kita selalu bangga belajar di sekolah unggulan atau merasa prestise menjadi pelajar sekolah favorit. Dengan sistem zonasi tak ada lagi diskriminasi yang terjadi diantara kita karena perbedaan bukanlah suatu hambatan.
Jerat komersialisasi dalam manajemen pendidikan juga bisa dihindari melalui sistem zonasi. Akibat komersialisasi itu, kesenjangan begitu nyata; yang kaya semakin pintar dan dengan kepintarannya membodohi si miskin. Sementara si miskin dan masyarakat kelas menengah ke bawah pada umumnya akan terkucilkan dengan sendirinya dari dunia pendidikan. Fenomena terdahulu yang sungguh ironis.
Apalagi kasus yang sering ditemui saat kita berada pada kehidupan nyata. Para orangtua justu berlomba membuat Surat Keterangan Tidak Mampu (SKTM) untuk disertakan sebagai prasyarat penerimaan siswa baru. Mereka beranggapan dengan menyertakan SKTM, anaknya bisa sekolah tanpa mengeluarkan biaya karena mendapat uang pertanggungan dari Pemerintah.
Jika ditelusuri lebih lanjut, prasyarat SKTM tersebut sebenarnya hanya ditujukan bagi peserta didik yang berasal dari kalangan keluarga tidak mampu. Maka, siapapun orangtua atau oknum yang menerbitkan surat ini dan menyalahgunakan fungsi dari produk hukum tersebut bisa ditindaklanjuti saat kebijakan zonasi telah diberlakukan. Bila Kompasianer menemui hal-hal yang tidak sinkron atau terjadi bentuk penyimpangan dalam dunia pendidikan, segera saja laporkan melalui layanan informasi dan pengaduan pada http://ult.kemdikbud.go.id.
Selain itu, tindak lanjut pasca PPDB 2018 melalui sistem zonasi juga akan memberlakukan:
1. evaluasi pelaksanaan PPDB 2018.
2. mengumpulkan praktik baik pelaksanaan sistem zonasi di daerah.
3. pemetaan daya tampung (sekolah/ruang kelas) dengan jumlah populasi usia sekolah.
4. pemetaan dan perencanaan bantuan sarana dan prasarana.
5. analisis perhitungan kebutuhan, distribusi, dan peningkatan kualitas guru (perencanaan guru).