Anyong Haseo!
Kalau musisi dari Korea menggelar konser di Indonesia sudah biasa. Hal luar biasa itu saat selebritis K-pop tampil di layar lebar dalam besutan film Indonesia. Inilah yang dilakukan mantan personil MBLAQ, Thunder. Sejak tanggal 11 Januari 2018, pencinta film Indonesia bisa menyaksikan keahlian aktingnya dalam film layar lebar berjudul Forever Holiday in Bali.
Film Forever Holiday in Bali menjadi bentuk kolaborasi kembali antara insan perfilman Indonesia dengan Korea Selatan yang dijuluki sebagai negara ginseng. Dengan genre drama romantis, penyutradaraan digarap oleh Ody C. Harahap yang pernah mengarahkan juga dalam Film Sweet 20 dan Film Me vs Mami.
Film ini diproduseri oleh Kennt Kim bersama Kim Jeong Ho, Theo Jin, Young Jeong Hun dan Jung Keun Wook selaku produser eksekutif. Dibawah naungan rumah produksi Sonamu Cine House dan Showbox Corp sebagai distributor film.
Film Forever Holiday in Bali bertahan pada cerita tipikal drama Korea. Kisah cinta Kay dan Putri seperti cinderella story dari negeri dongeng. Banyak bumbu-bumbu asmara di masa pendekatan yang penuh hal-hal fiksi antara dua sejoli yang seolah memang ditakdirkan untuk berjodoh sejak kecil. Seperti berkiblat pada fan-fiction. Untuk membaca sinopsisnya klik disini.
Namun, skenario yang ditulis oleh Kennt Kim dan Titien Wattimena terlihat memaksa bak film televisi. Ada momen saat mereka merasa saling kehilangan dan sadar untuk kembali bersama. Cerita begitu ringan dan mudah ditebak.
Beberapa adegan terasa menggelikan. Apalagi dengan alibi kisah dongeng, logika begitu dikesampingkan. Film pun menjahit benang merah secara semu karena berujung pada cinta segitiga yang menstimulus emosi seperti sinetron.
Kisah masa lalu atau adegan flashback tidak bisa mengikat kesatuan cerita. Kay cilik (Tony Woo) yang liburan bersama ibunya di salah satu pantai yang ada di Bali begitu tidak manis secara visual. Dalam adegan, Ia bertemu sosok Putri cilik (Ellen) diiringi musik mendayu dan efek gambar sepiayang terlalu mendramatisir suasana. Sungguh adegan percintaan anak kecil yang tak pantas dilakukan seusianya.Â
Representasi alur tidak menyentuh. Daya kejut cerita (punching line) habis tergulung oleh durasi. Penonton menanti esensi drama yang bisa menggugah hati namun masih jauh pada ekspetasi.
Dengan dalih memadukan unsur Korea dan Indonesia, film ini beberapa kali gagal membangun unsur dramatis suatu adegan. Misalnya, saat Kay mengabaikan makanan yang telah disediakan oleh keluarga Putri. Ia lebih memilih makan kimchi dalam kemasan yang dibeli di mini market sejak siang hari. Putri pun menanggapi bahwa Kay tidak bisa makan kalau tidak makan kimchi.
Esensi adegan lalu dianalogi dengan sikap orang Indonesia yang masih curiga dengan kehadiran orang asing yang tiba-tiba datang. Keluarga Putri tampak khawatir melihat Putri jatuh cinta dengan Kay. Mereka beranggapan Putri kelak ditinggal kembali sang kekasih ke negara asalnya.
Sifat orang Indonesia yang berani menipu orang asing pada adegan awal proses transaksi penjualan motor juga cukup menyentil. Melalui adegan pada babak awal tersebut nilai negatif terhadap sikap orang Indonesia coba dibingkai melalui film ini.
Hal lain yang tidak logis tampak pada adegan Kay yang tidak bisa mengendarai motor di awal. Semua terlihat tidak konsisten karena dalam hitungan jam, Ia justru lancar mengendarai motor keliling kota Bali bersama Putri. Bahkan, penggunaan gaun merah yang dikenakan Putri untuk jalan-jalan keliling kota Bali terlalu berlebihan.
Film dengan nuansa FTV ini semakin diwarnai adegan klise. Ada adegan pemeran utama yang adu pandang saat pemeran wanita nyaris jatuh di tangga, namun dengan sigap pemeran pria menahan dan wanita itu jatuh dalam pelukan pria. Apalagi adegan tersebut didramatisir dengan slow motion.
Adegan lain saat Kay dan manajernya, Hwan (Kim Pyeong Won) baru saja selesai syuting di suatu pura. Manajer berupaya menasehati sang selebritis untuk kembali semangat menekuni kariernya. Namun, latar mereka berdialog memanfaatkan teknik CGI yang terlihat jelas tempelan gambar digital. Hal paling buruk terjadi karena gambar pura tersebut tampil sebagai visual dengan resolusi blur atau kabur.Â
Lantas, momen-momen lain yang terekam romantis bisa dirusak hanya dengan adegan praktis. Misalnya, ada adegan Kay dan Putri menyanyi berdua di pinggir pantai. Momen ini dirusak saat Kay terlihat bernyanyi lip sync sambil bermain gitar, tapi tidak memetik senar. Padahal latar musik jelas terdengar diiringi gitar akustik.
Aura bintang K-Pop Thunder menjadi magnet tersendiri. Kemampuan dialog dalam film memiliki makna yang terpancar hakiki. Beberapa momen saat Thunder mengeluarkan dialog romantis dan mencium Putri membuat penonton yang didominasi anak zaman now menjerit histeris di dalam bioskop.
Thunder seolah memerankan dirinya sendiri. Untuk itu tidak ada sesuatu yang spesial dari penampilan aktingnya. Tidak ada tuntutan olah rasa yang meyakinkan karakternya. Penonton pun menjadi sulit untuk bersimpati pada karakter Kay.
Berbanding jauh dengan akting Caitlin yang lebih natural karena Ia sudah pernah bermain dalam film nasional lain, seperti Ada Cinta di SMA dan Surat Cinta untuk Starla. Caitlin mampu melakoni gadis Bali dengan manis di film Forever Holiday in Bali. Perlahan tapi pasti, Ia mengembangkan karakter tanpa ragu. Ia mampu mengontrol diri untuk berperan sesuai porsi.
Fokus terhadap kedua pemeran utama tersebut membuat peran lain tidak begitu berarti. Entah pemilihan peran pendukung melalui proses casting atau tidak. Peran lain terasa gagal untuk mendukung setiap adegan.
Karakter teman Putri, bernama Indra (Reza Aditya). Entah apa profesi yang dilakoni, citizen journalism atau wartawan yang selalu menguntit. Aksinya sebagai paparazzi jelas terkesan berlebihan. Indra bagai comic relief saja. Terutama saat adegan di toko yang menjual pakaian dalam atau BH.
Ada juga Mira (Sonia Alyssa) yang dibentuk sebagai peran antagonis.Ia suka dengan Kay dan berniat cari perhatian. Namun sayang, hasratnya sudah ditolak sejak awal.  Ia beralih ikut serta bersama Indra dan coba menghasut Indra agar cemburu terhadap kedekatan Kay dengan Putri.Â
Lain lagi dengan sosok manajer dari Kay yang kadang hilang tanpa jejak. Namun, di beberapa adegan tampil lagi tanpa penuh esensi. Ketika malam hari, manajer juga sudah tidak tampak mencari Kay ke segala penjuru yang ada di Bali. Padahal Kay menghilang dari hotel sejak siang hari.
Ketika muda-mudi dari dua negara berbeda dipertemukan di Bali, adakah cinta yang mulai tumbuh di hati keduanya? Apakah mereka siap menghadapi problematika yang terjadi diantara mereka dan berhadapan langsung dengan orang-orang terdekat yang ingin memisahkannya??'
Adegan film Forever Holiday in Bali lebih kuat dengan tata musik yang disesuaikan dengan gaya bercerita. Semua dibuat mirip dengan drama korea karena menggunakan lagu sentuhan K-Pop. Wajar saja karena musik dan lagu dalam film ini diciptakan oleh MYSTIC Entertainment, sebuah label ternama di Korea. Lagu-lagu yang ada dinyanyikan oleh pemeran utamanya, seperti Destiny (Thunder feat Caitlin Halderman), Love is Crime (Thunder), dan Cinderella (Caitlin Halderman). Hanya ada satu lagu yang berjudul Fairytale dinyanyikan oleh Pyun Young Soo.
Satu hal yang patut diapresiasi dalam film Holiday Forever in Bali yaitu insert scene kehidupan budaya Bali. Ada adegan Kay dan Putri yang berhenti untuk memberi jalan saat warga lokal setempat melaksanakan upacara adat.
Pedesaan dengan bentang alam berwarna hijau juga menjadi pesona lain dari Bali yang terekam dengan cara bertutur visual yang nyaman. Selain itu, suasana Bali di malam hari memberi nuansa lokasi pengambilan gambar yang bisa dinikmati aman.
Akhirnya,Forever Holiday in Bali hanya mengekspos fantasi seorang gadis sederhana yang bertemu dan memadu kasih dengan selebritis K-Pop. Forever Holiday in Bali terlalu keras memaksa penonton untuk melihat bentuk kolaborasi budaya Korea dan Indonesia lewat karakter Kay dan Putri.
Kegagalan dalam setiap pembetukan adegan memang sulit untuk sejajar terhadap nalar. Ambiguitas terhadap fokus entah membawa penonton melayang ke mana. Bisa saja bercerita tentang perkenalan sehari yang membawa pada candu asmara atau takdir masa lalu yang mempertemukan romansa.
Kecerahan dan keceriaan yang coba dibentuk belum bisa terpadu dengan nuansa romantisme ala negeri dongeng. Penonton hanya diajak berkhayal demi mengikuti ilusi yang kental. Formula ini menegaskan cerita mengarah pada kisah fiksi semata. Semua terbatasi dengan akhir yang bahagia untuk melihat kisah cinta dari negeri dongeng.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H