Mohon tunggu...
Achmad Humaidy
Achmad Humaidy Mohon Tunggu... Administrasi - Blogger -- Challenger -- Entertainer

#BloggerEksis My Instagram: @me_eksis My Twitter: @me_idy My Blog: https://www.blogger-eksis.my.id

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Pilihan

Siapkah Kompasianer Dibayangi oleh Masa Lalu?

20 April 2017   00:00 Diperbarui: 20 April 2017   00:21 467
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Personil KOMIK (Koleksi Admin)

      

      Serpihan kisah masa lalu tanpa disadari akan membayangi kehidupan kita. Mau bagaimanapun keadaannya, baik masa lalu yang suram maupun masa lalu yang bahagia. Ada yang bilang semakin kita melihat masa lalu, semakin membuat pemikiran kita tak menentu. Namun, masa lalu itu akan tetap ada meski sekuat apapun kita melupakannya.

     Bumper in masuk mengawali film dengan counting down. Biasanya formula ini hanya digunakan untuk program televisi atau karya produksi yang dibuat oleh kalangan pelajar dan mahasiswa perfilman. Aneh yah, film berjudul Lavender sekelas layar lebar produksi dari luar negeri yang disutradarai oleh Ed-Grass Donney masih menggunakan formula ini.

     Lalu, Tokoh Jane (Abbie Cornish) yang berprofesi sebagai fotografer cantik pun tampil menjadi peran utama dalam Film Lavender. Perempuan ini berjuang untuk tetap berada di alam sadarnya meski dihantui bisikan-bisikan gaib. Jane memiliki masa lalu yang berat.

     Kehidupan Jane mulai terjebak dalam ilusi yang menganggu bawah sadarnya. Meski menderita amnesia, suatu saat ilusi itu akan muncul dan mempertemukan lagi dalam kepahitan yang penuh tekanan. Nyatanya, ilusi menghantuinya tak kenal ruang dan waktu bagai sekumpulan teror yang kaku.

     Jane telah memiliki seorang anak perempuan bernama Alice (Lola Flanerry) dari hasil pernikahan dengan suaminya yang bernama Alan (Diego Klattenhoff). Sikap Jane yang terkesan cuek dan egois dalam keluarga membuat komunikasi dengan suaminya renggang. Pertengkaran dalam rumah tangga pun sering terjadi.

     Jane sulit mengingat hal-hal yang sifatnya detail bahkan sederhana. Ia hanya bisa fokus menjalankan hobi memotret rumah kosong tanpa penghuni. Tak ada rasa takut dalam diri Jane untuk menjalankan hobi tersebut. Ia justru mulai merasakan penasaran yang begitu besar dalam setiap kesempatan menekuni hobinya itu.

    Setelah memotret suatu bangunan tua, Jane tampak diikuti sosok gadis kecil yang menghantui ilusinya. Ia pun mengalami kecelakaan. Tak bisa mengendalikan kendaraan yang sedang Ia bawa dan langsung berada di rumah sakit dan dinyatakan oleh dokter bahwa Ia menderita amnesia.

     Saat itu pula masuk karakter tokoh yang berperan sebagai seorang psikiater bernama Liam (Justin Long) yang mendamping Jane untuk masa pemulihan. Psikiater menyarankan kepada Jane untuk sering berusaha mengingat masa lalunya dimana dulu ia rasakan sejak kecil.

     Kejadian aneh mulai menghampiri Jane. Ada kotak kecil seperti kado yang begitu misterius berada di pintu depan rumahnya. Selain itu, Jane sering didatangi seorang gadis cilik yang sebaya dengan anaknya. Konflik batin pun muncul karena Ia merasa dekat dengan kehadiran hal-hal gaib tersebut. Semua hal itu mengingatkan tentang masa lalu kelam yang harus dialaminya sejak kecil.

     Bayangan tentang rumah tua di daerah pertanian luas yang sunyi membuat Jane harus memecahkan teka-teki. Seolah ada kisah masa lalu yang tersembunyi dari rumah lama yang sudah tak pernah ditempati. Di rumah itu, Jane mendapat petunjuk yang mengungkap kasus pembunuhan yang pernah terjadi puluhan tahun silam.

     Gangguan ingatan yang dialami Jane tak berhenti sampai disitu. Jane mulai mencari tahu motif tindak kriminalitas yang pernah terjadi dalam keluarganya di rumah tua. Tak ada jalan lain untuk memulihkan ingatannya, Ia merasa bahwa Ia pernah menjadi saksi hidup atas kasus kejahatan yang pernah menimpa keluarganya.

      Adegan demi adegan pun menguak tabir pelaku kejahatan tersebut di rumah tua itu. Tidak ada yang mendebarkan, namun ingatan Jane kembali mengungkap bahwa sosok pembunuh di tahun 1985 tersebut yaitu pamannya sendiri yang bernama Patrick (Dermot Mulroney).

     Paman Jane merupakan sosok pedofil yang telah merenggut keperawanan adik dari Jane yang bernama Susie (Sarah Abbott). Tingkah cabulnya diketahui oleh ibu mereka dan si ibu langsung memukulkan palu untuk melawan Patrick.

     Patrick lepas kendali dalam suatu kondisi yang mencekam. Ia pun membunuh satu per satu anggota keluarga tersebut. Ibu dan Ayah Jane serta Suzie menjadi korban kebiadaban sosok sadis tersebut. Jane sempat menjadi korban selanjutnya, namun tanpa disengaja Ia justru membunuh kakak laki-lakinya yang ditusuk menggunakan senjata tajam. Jane sempat mengira bahwa adiknya tersebut ialah Patrick.

     Ingatan Jane telah kembali menuju masa lalu. Anggota keluarganya yang telah menjadi arwah-arwah penasaran seolah menghantui Jane dan menuntut balas dendam atas apa yang pernah terjadi begitu kejam menimpa semuanya. Akhir cerita film, Jane menuntaskan dendam terhadap pamannya agar bertanggung jawab atas aksi kejahatan yang pernah dilakukan terhadap keluarganya di masa lalu.

*****

     Sekilas cerita Film Lavender mirip dengan kisah Film The Conjuring dibeberapa bagian untuk pengemasan adegan. Ada peran keluarga dan anak-anak yang mendukung unsur cerita misteri menjadi lebih dekat ruang lingkupnya twistnya. Hal yang membuat beda, film Lavender menitikberatkan pada kasus masa lalu yang dialami oleh tokoh utamanya itu sendiri.

     Menurut penulis, film Lavender hanya bisa dikategorikan ke dalam genre thriller. Unsur horor atau misteri tak mampu dibentu tim produksi karena tak ada hal-hal yang menakutkan dalam film ini. Film ini pun tampak kurang berisi karena sekumpulan adegan hanya berada pada batas menegangkan.

     Film Lavender memiliki benang merah yang begitu lurus dengan alur maju mundur. Tidak ada kekacauan atau konflik yang bertubi-tubi. Semua adegan berusaha bertahan pada konsistensi yang rapi.

     Salah satu adegan yang penulis suka yaitu saat Alice harus bicara sendiri seolah ada yang mengajaknya bicara. Ia begitu menjiwai setiap perkataannya, meski tak ada visual siapapun lawan bicaranya.

     Roh-roh penasaran yang gentayangan dalam Film Lavender masih berwujud manusia tanpa ada special effect tata rias dan wajah karakter hantu. Penampakan-penampakan tersebut hanya berusaha mengganggu ingatan Jane agar Ia mencari tahu sesuatu yang pernah terjadi di masa lalu.

      Sebenarnya banyak unsur-unsur yang bisa digali oleh cerita film Lavender untuk menjadi sesuatu yang berdaya magis. Seperti magic words yang sering terdengar berulang kali dengan kata “ 5, 4, 3, 2, 1, Olly Oxen Free” (Olly lembu yang bebas). Kata ini mungkin sering diucapkan dalam permainan petak umpet. Seharusnya kata-kata ini menjadi magnet menakutkan untuk ditampilkan namun tak berhasil. Bisa dijadikan mantra atau kata kunci agar bisa meningkatkan atmosfer misteri yang lebih berani.

     Ada juga nyanyian lagu ‘Lavender’ yang sering didendangkan oleh Ibu Jane terhadap anak-anaknya. Nyanyian itu tampil sebagai nyanyian peri jahat yang bisa menghantui anak-anaknya jika tidak mau tidur. Sebenarnya lagu ini bisa menjadi tembang keramat yang memberi teka-teki, namun tak digarap oleh tim produksi.

     Ada lagi sebuah benda antik berupa kotak mainan bermusik yang mungkin saja menjadi mainan kesukaan Jane semasa kecil. Unsur tersebut ada di beberapa film horror lainnya untuk membangkitkan suasana mencekam, namun dalam film Lavender justru tak berhasil dipadukan menjadi kesatuan cerita. Semua hadir sebatas property belaka yang tak bermakna.

     Mengikuti jalan cerita film ini secara keseluruhan terasa begitu pelan. Bahkan, beberapa adegan sengaja dibuat panjang dalam setiap pengambilan gambarnya. Misalnya, shot Big Close Up (BCU) saat melihat lukisan begitu berlebihan. Banyak shot yang diambil dengan durasi panjang tak bermakna. Adegan pun menjadi sesuatu hal kosong hampir diseparuh film karena tak dieksplorasi lagi pengembangan struktur cerita.

     Tata kamera juga tak begitu digarap dengan baik karena tak ada variasi shot yang berarti. Sebagai contoh, saat Jane tersesat di kawasan Labirin. Tata kamera tak bisa menampilkan dengan jelas pengambilan dari atas (top level) untuk memberi kesan kondisi Jane yang tertekan dan menjelaskan tempat dimana Jane berada.

      Meskipun film ini tetap bertahan pada plot utamanya, desain produksi film luar negeri ini terbilang di bawah standar. Penyuntingan gambar juga memasukkan unsur transisi yang begitu panjang. Ada black screen yang begitu lama hadir dihadapan penonton tanpa makna apa-apa.  

      Secara pemeranan, Abbie Cornish memainkan peran sebagai perempuan amnesia yang memiliki masa lalu kelam tanpa tekanan. Dibeberapa kesempatan, ia tak tampak trauma dengan apa yang terjadi tentang dirinya dahulu. Tak tampak ada ketakutan dalam setiap ekspresi wajahnya hanya tersirat rasa ingin tahu siapa dirinya di masa lalu. Sebagai seorang aktris, Ia tak mampu memainkan emosi untuk menjiwai kekuatan karakternya.

      Aktingnya pun terasa semu. Apalagi terlihat dari olah tubuh (gesture) saat Ia berjalan di ilalang mencari sumber suara bisikan ditunjukkan seperti Ia berjalan di catwalk. Mungkin saja selain sebagai aktris, Ia berprofesi sebagai seorang model.

     Pada hakikatnya, film bisa diceritakan seperti terjadi saat ini, tetapi bisa juga dilempar ke masa lalu atau melesat ke masa yang akan datang. Adegan dalam film Lavender tak sepenuhnya otentik karena beberapa bagian memberi efek kembali ke masa lalu (flashback). Adegan kilas balik ini untungnya dibuat untuk mudah dicerna mengajak penonton melihat kembali ke masa lalu.

Penulis hanya bisa mengatakan, jika kamu sudah siap kembali menguak masa lalu, maka kamu harus merasakan ketegangan dalam film Lavender dahulu.

Penulis beruntung telah menyaksikan film Lavender saat gala premiere hari Kamis, tanggal 13 April 2017. Meskipun menonton film Lavender pada malam Jum’at, tak menyurutkan antusias personil KoMik untuk datang. Kehadiran penulis sebenarnya hanya menggantikan salah satu personil KoMik yang tak bisa hadir di hari itu.

Undangan pun penulis dapat saat ada informasi dari fanpage facebook KoMiK. Akhirnya, penulis juga berkesempatan mengunjungi CGV Cinema Bella Terra Lifestyle Center yang baru dibuka hari Rabu, tanggal 12 April 2017. Bioskop ini terletak di perbatasan wilayah Jakarta Timur dan Jakarta Utara, yakni di kawasan Boulevard Barat Kelapa Gading. Patokan untuk menuju kawasan ini yaitu halte busway Pulomas.

Meski kawasan ini termasuk rawan kemacetan, Kompasianer tetap akan merasakan kawasan ini sebagai tempat asyik untuk dikunjungi. Bioskop yang baru ini cukup menarik dan memiliki promo-promo yang bisa didapatkan dengan mudah sambil mengisi waktu Kompasianer dengan orang-orang tersayang. Tapi, bukan dengan mantan di masa lalu yaa*


HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun