Sebenarnya banyak unsur-unsur yang bisa digali oleh cerita film Lavender untuk menjadi sesuatu yang berdaya magis. Seperti magic words yang sering terdengar berulang kali dengan kata “ 5, 4, 3, 2, 1, Olly Oxen Free” (Olly lembu yang bebas). Kata ini mungkin sering diucapkan dalam permainan petak umpet. Seharusnya kata-kata ini menjadi magnet menakutkan untuk ditampilkan namun tak berhasil. Bisa dijadikan mantra atau kata kunci agar bisa meningkatkan atmosfer misteri yang lebih berani.
Ada juga nyanyian lagu ‘Lavender’ yang sering didendangkan oleh Ibu Jane terhadap anak-anaknya. Nyanyian itu tampil sebagai nyanyian peri jahat yang bisa menghantui anak-anaknya jika tidak mau tidur. Sebenarnya lagu ini bisa menjadi tembang keramat yang memberi teka-teki, namun tak digarap oleh tim produksi.
Ada lagi sebuah benda antik berupa kotak mainan bermusik yang mungkin saja menjadi mainan kesukaan Jane semasa kecil. Unsur tersebut ada di beberapa film horror lainnya untuk membangkitkan suasana mencekam, namun dalam film Lavender justru tak berhasil dipadukan menjadi kesatuan cerita. Semua hadir sebatas property belaka yang tak bermakna.
Mengikuti jalan cerita film ini secara keseluruhan terasa begitu pelan. Bahkan, beberapa adegan sengaja dibuat panjang dalam setiap pengambilan gambarnya. Misalnya, shot Big Close Up (BCU) saat melihat lukisan begitu berlebihan. Banyak shot yang diambil dengan durasi panjang tak bermakna. Adegan pun menjadi sesuatu hal kosong hampir diseparuh film karena tak dieksplorasi lagi pengembangan struktur cerita.
Tata kamera juga tak begitu digarap dengan baik karena tak ada variasi shot yang berarti. Sebagai contoh, saat Jane tersesat di kawasan Labirin. Tata kamera tak bisa menampilkan dengan jelas pengambilan dari atas (top level) untuk memberi kesan kondisi Jane yang tertekan dan menjelaskan tempat dimana Jane berada.
Meskipun film ini tetap bertahan pada plot utamanya, desain produksi film luar negeri ini terbilang di bawah standar. Penyuntingan gambar juga memasukkan unsur transisi yang begitu panjang. Ada black screen yang begitu lama hadir dihadapan penonton tanpa makna apa-apa.
Secara pemeranan, Abbie Cornish memainkan peran sebagai perempuan amnesia yang memiliki masa lalu kelam tanpa tekanan. Dibeberapa kesempatan, ia tak tampak trauma dengan apa yang terjadi tentang dirinya dahulu. Tak tampak ada ketakutan dalam setiap ekspresi wajahnya hanya tersirat rasa ingin tahu siapa dirinya di masa lalu. Sebagai seorang aktris, Ia tak mampu memainkan emosi untuk menjiwai kekuatan karakternya.
Aktingnya pun terasa semu. Apalagi terlihat dari olah tubuh (gesture) saat Ia berjalan di ilalang mencari sumber suara bisikan ditunjukkan seperti Ia berjalan di catwalk. Mungkin saja selain sebagai aktris, Ia berprofesi sebagai seorang model.
Pada hakikatnya, film bisa diceritakan seperti terjadi saat ini, tetapi bisa juga dilempar ke masa lalu atau melesat ke masa yang akan datang. Adegan dalam film Lavender tak sepenuhnya otentik karena beberapa bagian memberi efek kembali ke masa lalu (flashback). Adegan kilas balik ini untungnya dibuat untuk mudah dicerna mengajak penonton melihat kembali ke masa lalu.
Penulis hanya bisa mengatakan, jika kamu sudah siap kembali menguak masa lalu, maka kamu harus merasakan ketegangan dalam film Lavender dahulu.
Penulis beruntung telah menyaksikan film Lavender saat gala premiere hari Kamis, tanggal 13 April 2017. Meskipun menonton film Lavender pada malam Jum’at, tak menyurutkan antusias personil KoMik untuk datang. Kehadiran penulis sebenarnya hanya menggantikan salah satu personil KoMik yang tak bisa hadir di hari itu.