Mohon tunggu...
Achmad Humaidy
Achmad Humaidy Mohon Tunggu... Administrasi - Blogger -- Challenger -- Entertainer

#BloggerEksis My Instagram: @me_eksis My Twitter: @me_idy My Blog: https://www.blogger-eksis.my.id

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

Tradisi, Poligami, dan Edukasi dalam Film Kartini

19 April 2017   17:56 Diperbarui: 19 April 2017   22:47 6309
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

     Tidak hanya melampaui surat-surat yang kerap ditulis, tapi Kartini coba diintrepretasi sebagai pejuang pemikiran dengan ide-ide dan gagasan emansipasi untuk melawan ketidakadilan. Eksekusi tersebut bisa jadi menimbulkan pengerucutan pemikiran generasi millennial saat ini.

     Sekali lagi penulis katakan bahwa rasa perjuangan terhadap pendidikan yang dilakukan oleh Kartini belum menyentuh hati. Tidak begitu banyak esensi yang keluar  dari apa yang Kartini miliki. Kekuatan terbesar dari film Kartini seharusnya terletak pada gambaran besar dampak pemikiran dan tindakannya bagi lingkungan. Namun, unsur cerita seperti itu tidak tergarap dengan baik. Penonton hanya disuguhkan situasi sekitar hidup Kartini dari hal yang paling dekat yaitu kehidupan sehari-hari.

     Sekolah yang didirikan Kartini sebagai pendobrak wanita terdidik hanya sebatas arena mini. Ruang lingkup begitu kecil diungkap sehingga dalam film Kartini tidak digambarkan bahwa Kartini akan mendorong munculnya wanita-wanita lain dengan perjuangan serupa. Hingga akhirnya terjadi gaya bertutur backfired di beberapa bagian.

     Upaya untuk bertutur semudah dan selembut mungkin seringkali diwujudkan dengan penataan adegan yang terkesan cheesy, terlalu diatur, dan kurang tulus. Ditambah lagi, ritme paruh kedua film ini jadi lebih diseret dengan banyak 'tradisi', seolah tak rela film dengan effort sebesar ini hanya menempelkan nama-nama aktor dan aktris ternama saja tanpa esensi kuat dari masing-masing karakter.

     Sebagai contoh, pemikiran Sosroningrat yang labil. Suatu sisi, Ia belum dapat mengizinkan Kartini memperoleh pendidikan yang lebih tinggi karena ada halangan yang timbul dari saudaranya sendiri dengan kekhawatiran bahwa perempuan justru ingin menjadi bupati ketika sudah mendapat gelar akademik.  Disisi lain, Ia meyakini suatu saat nanti zaman pasti akan berubah. Akhirnya, di tengah kondisi yang tidak stabil, ayah Kartini membawa anak-anak perempuannya tersebut keluar mengikuti kemauan mereka. Diajak tampil di muka umum sekaligus menghadiri pertemuan yang membuka jalan pemikiran dengan beragam persepsi yang muncul dikemudian.

“Apa yang kamu miliki saat ini, tidak akan ada artinya jika hanya untuk dirimu sendiri. Kamu harus berbagi karena perubahan tidak berjalan sendirian.”

     Film Kartini bukan hanya bisa ditonton oleh kaum hawa saja, tetapi siapapun bisa menikmati film ini dengan esensi yang begitu membumi. Beruntung bahwa kekuatan unsur-unsur ini lumayan bisa jadi kompensasi akal untuk suatu tradisi dan poligami meski sangat minim unsur edukasi.

     Selain dari sisi desain produksi, film Kartini juga sangat terbantu dengan tata kostum. Tata kamera dan tata cahaya pun digarap secara aman. Penataan musik dan suara yang beratmosfer klasik, romantis, sekaligus megah juga jadi salah satu poin yang membuat film ini secara keseluruhan lebih nyaman dinikmati.

     Secara keseluruhan, Kartini dari intrepretasi Hanung Bramantyo memang berbeda dari ekspetasi yang ada dipemikiran penulis. Aku bisa mengatakan bahwa Film kartini menjadi kisah cinta untuk semua tanpa bumbu asmara. Ada kisah cinta seorang Ibu yang bernama Ngatirah kepada anaknya, begitu juga sebaliknya rasa cinta dari anak yang bernama Kartini kepada ibunya sudah tergambar jelas dalam adegan awal. Lalu, kisah cinta seorang kakak laki-laki yang bernama .M. Panji Sosrokartono yang kepada adik perempuannya, Kartini. Kisah cinta tulus Kartini terhadap adik-adiknya yang berupaya mendobrak tradisi yang ada. Kemudian yang paling menohok adalah kisah cinta seorang Ayah yang bernama Raden Mas Adipati Ario Sosroningrat. Kisah cinta kepada keluarga ini terangkum juga untuk seluruh Rakyat yang dipimpinnya. Dan diakhir, kita akan mencerna ada kisah cinta seorang perempuan untuk kaum perempuan lainnya. Ini bentuk perjuangan cinta Kartini yang didukung oleh orang-orang disekelilingnya.

     Kembali, lagi pada suatu teori bahwa menonton film itu menggunakan teori relativitas. Suka atau tidak suka memberi pandangan para relativis terhadap hasil karya dengan nilai apresiasi berbeda-beda sesuai selera setiap penonton.

     Jadwal rilis film Kartini tercatat tanggal 19 April 2017 hari ini mendekati peringatan Hari Kartini pada 21 April nanti. Strategi ini dilakukan untuk menambah gegap gempita aspek pemasaran film Kartini agar laris di pasaran dan tembus jutaan penonton. Kita doakan saja semoga film Kartini bisa sesuai dengan ekspetasi Kompasianer semua.

Menurut Kompasianer, apakah Kartini bisa mewakili perjuangan wanita di Indonesia?... .

Silakan tonton terlebih dahulu Film Kartini dan Kompasianer akan mendapat jawaban itu sendiri*

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun