Mohon tunggu...
Achmad Humaidy
Achmad Humaidy Mohon Tunggu... Administrasi - Blogger -- Challenger -- Entertainer

#BloggerEksis My Instagram: @me_eksis My Twitter: @me_idy My Blog: https://www.blogger-eksis.my.id

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

Tradisi, Poligami, dan Edukasi dalam Film Kartini

19 April 2017   17:56 Diperbarui: 19 April 2017   22:47 6309
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

   Penulis mengungkap ada makna sosok Kartini yang digambarkan betapa mengagungkan untuk membaca buku apalagi dalam kondisi terkekang. Ia tidak hanya membaca sendiri, melainkan mengajak yang lain untuk terus membaca. Bahkan, dalam satu adegan disinggung kata ‘Iqra ! Bacalah. Atas nama Tuhanmu yang diwajibkan’. Penggalan kata ini tercantum dalam kitab suci umat Islam Al Qur'an QS. Al 'Alaq ayat 1 yang memiliki pemahaman tentang kegiatan tulis dan baca yang menjadi kunci ilmu pengetahuan.

    Lama-kelamaan Film Kartini yang diproduseri oleh Robert Ronny ini menjadi sebuah film hypotethical biopic atau alternate history yang mengusung pendekatan menggelitik. Kartini dan saudaranya harus menghadapi berbagai tekanan. Jauh dari bayangan kita, sosok Kartini justru hadir tak sekedar menjadi tuan puteri yang selalu diminta menjaga tata krama dan tutur bahasa. Kartini terlihat tetap ingin maju bersama kaumnya, memberi dukungan pada kaumnya tanpa meninggalkan akar budayanya sebagai orang Jawa.

    Ada satu adegan yang sebenarnya menarik untuk ditelaah. Saat Kartini berdialog dengan wanita Belanda yang menjadi penulis buku. Tim produksi membalut adegan ini dengan daya imajinasi yang jarang terjadi. Kartini digambarkan berkomunikasi lewat bahasa Belanda melalui adegan efek digital yang distraksi. Visualisasi hiperbola yang merubah latar suatu negara atau peristiwa menjadi simbol isi buku yang sedang dibaca oleh Kartini.

    Adegan tersebut menjadi kurang sinergi karena banyak bahasa lokal yang diganti dengan bahasa Belanda. Sebuah metafora dari gagasan sang sutradara yang menegaskan bahwa Kartini lebih berpikir modern dengan membaca buku-buku berbahasa Belanda yang menjadi koleksi dari kakak laki-lakinya, R.M. Panji Sosrokartono (Reza Rahadian).

    Meski demikian, Film Kartini sarat akan budaya Indonesia terutama budaya jawa. Deskripsi Kartini yang tetap memilih berada diperadabannya atau sesuai jalur kultur ketimurannya diungkap melalui tatanan dialog bukan dari reka adegan. Otentisitas lokal dihiasi dengan bahasa Jawa yang lebih mendominasi.

    Selain dalam penggunaan bahasa pada setiap dialog, latar tradisi Jawa saat era Kartini mengarahkan pemikiran perempuan yang hanya memikirkan 'cepat kawin' karena terbatasnya pendidikan bagi orang Belanda dan pribumi ningrat.  Perempuan ningrat harus pasrah jadi istri kesekian pria yang dijodohkan oleh silsilah keluarga berdarah biru tanpa rasa cinta yang mengikat.

    Kartini pun harus tetap menikah dan dijodohkan oleh orangtuanya sendiri. Namun, Ia mengajukan 4 syarat yang harus dipenuhi oleh calon suaminya. Seorang duda yang juga menjabat sebagai Bupati Rembang bernama Raden Adipati Joyodiningrat (Dwi Sasono) tak patah arang meminang perawan bangsawan ini.

    Raden Adipati Joyodiningrat semakin terpesona dengan Kartini. Pemikirannya tentang kodrat wanita hanyalah untuk menikah dan mengurus keluarga, sirna sudah. Bupati Rembang tersebut memenuhi niat Kartini untuk membangun sekolah bagi kaum bumiputra agar wanita bisa menjadi kaum terdidik. Lebih lanjut, cita-cita Kartini terhadap wanita bisa mendidik anak-anaknya agar lebih maju. Pemikiran seperti ini juga menjadi wasiat yang terlintas dalam benak almarhumah istri Raden Adipati Joyodiningrat yang sudah meninggal.

     Ada unsur reversal melalui pernikahan Kartini yang harus tetap dilangsungkan meski kisah yang disampaikan kurang begitu menguras emosi. Adegan pernikahan kakak, adik, dan Kartini sendiri menjadi suatu ritual pernikahan yang diatur semata. Untung saja, ada sosok Acha Septriasa yang memberi rasa dengan tangis tertekannya dalam setiap adegan tersebut sehingga penonton masih bertahan pada posisi tafsirnya sendiri untuk peduli terhadap emansipasi.

    Potensi Kartini dan kedua adiknya lambat laun diakui dan didukung oleh pemerintah Belanda. Hingga Film Kartini diakhiri dengan narasi teks yang berisi selang waktu 3 hari setelah menikah, proposal beasiswa untuk melanjutkan sekolah di negeri Belanda disetujui. Namun, kartini menyerahkan beasiswa untuk belajar ini kepada Agus Salim.

    Jangan harap penonton mendapat kisah akhir romansa yang begitu indah. Penonton akan disuguhi unsur kisah utama perjuangan Raden Ajeng Kartini yang ingin mendobrak tradisi, memenuhi adil dalam berpoligami, dan mendirikan sekolah saja.  Alur cerita keseluruhan pun sampai pada titik yang kurang memberi inspirasi, namun penonton akan melihat sejarah yang tak begitu bosan.

“Tidak ada yang lebih berharga selain membebaskan pikiran”.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun