Mohon tunggu...
Achmad Humaidy
Achmad Humaidy Mohon Tunggu... Administrasi - Blogger -- Challenger -- Entertainer

#BloggerEksis My Instagram: @me_eksis My Twitter: @me_idy My Blog: https://www.blogger-eksis.my.id

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

Tradisi, Poligami, dan Edukasi dalam Film Kartini

19 April 2017   17:56 Diperbarui: 19 April 2017   22:47 6309
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Screenshot Trailer Kartini (DokPri)*

Ketertarikan penulis dengan film Kartini muncul sudah sangat lama. Hal ini dimulai sejak wacana produksi film tersebut digaungkan tahun lalu bertepatan dengan tayang film Surat Cinta Untuk Kartini. Penulis pun tidak sabar untuk segera menontonnya. Akhirnya, penulis terpilih menjadi salah satu yang beruntung bisa menyaksikan film Kartini sejak awal tahap special screening pada hari Rabu, tanggal 5 April 2017 silam bersama rekan-rekan KoMiK (Kompasianer Only Movie enthusIast Klub) di Plaza Indonesia.

     Sosok Kartini dipuja sebagai tokoh yang memperjuangkan pendidikan di Indonesia dan setiap tanggal 21 April dirayakan secara nasional bertajuk Peringatan Hari Kartini. Namun kisah perjuangan Kartini bisa jadi tidak kita ketahui dengan baik. Melalui film Kartini, rumah produksi Legacy Pictures bekerja sama dengan Screenplay Films mencoba menghadirkan kembali sosok Kartini yang beda menjelang momen peringatan Hari Kartini.

    Mungkin Kompasianer mengenal Kartini sejauh ini hanya melalui tulisan-tulisan disuratnya, yang memuat berbagai gagasan, kegelisahan, dan keluh kesah yang lebih besar dan berumur panjang dibandingkan dari hidup Kartini itu sendiri. Tulisan-tulisan yang mengundang interpretasi terbuka terhadap kepribadiannya dan menjadi inspirasi perempuan hingga saat ini.

    Ironisnya, kebesaran ide Kartini selama beberapa dekade telah diartikan menyempit. Emansipasi kartini hanya dipandang sebagai sosok yang mengidamkan kesetaraan pendidikan dan mengenakan pakaian tradisional. Bahkan di era Orde Baru, pencanangan Hari Kartini dimanfaatkan sebagai pemakluman upaya domestikasi perempuan lewat organisasi Dharma Wanita.

    Menggiring nama Kartini sebagai sebuah brand, mengesankan sosok perempuan berbusana kebaya tradisional yang mengenakan sanggul. Di hari Kartini, berbondong-bondong perempuan Indonesia antri di salon-salon kecantikan untuk mempercantik diri demi kepentingan seremonial semata. Apakah Kartini hanya dianggap memiliki penampilan fisik saja?... 

    Mari kita telisik lagi mengenai indikator status pahlawan nasional. Apakah memang sosok pahlawan itu harus yang berjuang mati-matian saat mengangkat pedang atau bambu runcing dan mati di palagan setelah gencatan senjata? Ternyata tidak. Ini yang tercermin dari sosok Ibu Kita Kartini.

    Kartini merupakan sosok perempuan pemikir yang memuja feminisme ala Barat, tetapi juga memaknai fungsi kodratnya sebagai perempuan bertradisi Timur. Dalam satu suratnya, Kartini menulis, “Sudah lewat masanya, tadinya kami mengira bahwa masyarakat Eropa itu benar-benar satunya yang paling baik, tiada taranya. Maafkan kami, tetapi apakah Ibu sendiri menganggap bahwa masyarakat Eropa itu sempurna? Dapatkah Ibu menyangkal bahwa di balik hal indah dalam masyarakat Ibu terdapat hal-hal yang sama sekali tidak patut disebut sebagai peradaban,” (Surat Kartini kepada Ny. E. Abendanon, 27 Oktober 1902).

     Di balik perjuangan fisik sekalipun terkandung semangat dan pemikiran yang nilainya melintasi ruang dan waktu. Ada nilai, motivasi, dan semangat yang terpatri dalam hati sanubari dan pemikiran para pahlawan. Pada kondisi seperti itu, para sineas perfilman Indonesia mengungkap tabir tentang Kartini berdasarkan versi penafsirannya masing-masing. Film Kartini versi Sjumandjadja di tahun 1984, Film Surat Cinta Untuk Kartini versi Azhar Kinoi Lubis tahun 2016, dan Film Kartini versi Hanung Brahmantyo tahun 2017 memiliki sudut pandang tersendiri.

     Sebelum masuk ke persoalan dan pergulatan struktur cerita, tim produksi Film Kartini membangun ide dasar dari hal-hal yang dialami Kartini sejak kecil. Mulai dari umur 4 tahun, dia tidak boleh tidur dengan ibunya karena ibu kandungnya bukan bangsawan.

    Kartini muda (Dian Sastrowardoyo) yang memiliki dua sosok ibu yang bertolak belakang. Ibu kandungnya adalah Ngasirah (Christine Hakim), anak seorang kyai. Ia berstatus sebagai rakyat biasa, bukan keturunan bangsawan. Ibu tirinya bernama Raden Ajeng Moeryam (Djenar Maesa Ayu).

    Peraturan kolonial Belanda mewajibkan seorang Bupati harus menikah dengan bangsawan. Untuk menjadi Bupati Jepara, ayah Kartini, Raden Mas Aryo Sosroningrat (Deddy Soetomo) terpaksa memadu Ngasirah dengan mempersunting seorang priyayi Raden Ajeng Moeryam, yang merupakan keturunan langsung dari Raja Madura.

    Sebenarnya Raden Ajeng Moeryam bisa dikatakan menderita. Ia harus rela jadi istri kedua, meski sebagai bangsawan kedudukannya lebih tinggi dari Ngasirah. Sepenggal kisah kelam dari masa lampau ini menjadi momok tersendiri bagi Moeryam yang tidak begitu banyak melakukan dialog, namun harus tetap bertahan pada mimik wajahnya.

    Setelah dimadu, sosok Ngasirah "turun kasta" menjadi pembantu. Bahkan Kartini dan adik-adiknya harus memanggilnya "Yu", bukan Ibu. Ngasirah juga harus memanggil Kartini dengan gelar "Ndoro" (panggilan untuk kaum bangsawan). Ngasirah menjadi salah satu sosok sentral yang membuat Kartini menyadari bahwa perempuan masih diperlakukan secara tidak adil.

    Poligami pun menjadi sesuatu yang sangat berlawanan dengan cita-cita Kartini untuk emansipasi wanita. Baik Kartini maupun Ngasirah sama-sama harus menghadapi pilihan yang sangat sulit. Wanita masih dipandang sebagai warga kelas dua pada era itu. Setelah menikah pun, mereka harus mengabdikan segenap jiwa dan raga untuk suaminya.

    Banyak adegan dalam film Kartini yang kritis menembus dengan gamblang suasana di balik tembok singgasana kekuasaan wilayah Jepara. Kartini, sebagai sosok wanita dari Jepara itu tidak hanya ingin membongkar praktik ketidakadilan tetapi juga menolak tunduk pada godaan untuk berlaku tidak adil pula. Menolak ketidakadilan sekaligus bertindak adil adalah dua sisi yang tak terpisahkan.

    Pada masa itu, melanggar adat adalah hal yang pantang untuk dilakukan. Namun, Kartini tetap teguh pendirian meski harus berada dalam tekanan tradisi yang mengharuskannya menjadi Raden Ayu. Ketika wanita menjadi Raden Ayu, ia harus menjalani masa pingitan sampai nanti pria bangsawan melamarnya.

    Kartini pun mempengaruhi kedua adiknya, Kardinah (Ayushita Nugraha) dan Roekmini (Acha Septriasa) untuk mendobrak budaya. Mereka berupaya membebaskan diri dari kakunya tradisi wanita ningrat Jawa yang harus berjalan sambil jongkok, berbahasa Jawa Kromo, menyembah dengan mempertemukan kedua tangan, dan menjalani ritual pengasapan dupa agar tubuh wanita tetap harum. Tradisi Jawa kuno juga ditentang karena menganggap perempuan tidak pantas menuntut ilmu lebih tinggi dari pria hingga membuat perdebatan dalam keluarga ningrat itu sendiri. Perempuan di era itu hanya ditakdirkan untuk melakukan pekerjaan rumah tangga seperti memasak, membersihkan rumah, dan mengurus keluarga.

    Kartini juga membolehkan kedua adiknya untuk memanggil dirinya dengan nama Kartini saja tanpa harus menjunjung tinggi sopan santun yang begitu runtun. Kelucuan dan keanehan Kartini pun muncul hingga kelakukannya yang doyan ngemil kacang mede menghiasi beberapa adegan Kartini dalam masa pingitan yang penuh tekanan.

    Beberapa hal yang dilakukan Kartini dalam lingkup keluarga juga terlihat lepas dari keanggunannya sebagai seorang perempuan. Kartini tampil dengan tomboi sekaligus menjadi sosok priyayi yang mendobrak tradisi dan adat. Ia dan adik-adiknya terbiasa mengobrol di atas tembok keraton dengan memakai kain dan kebaya. Kartini pun lebih menonjol menjadi pusat perhatian dibanding kedua adiknya. Ada tingkah laku konyol dalam sikap mereka menertawakan budaya priyayi dan melawan penjara pingitan.

    Upaya dari sineas yang mempertahankan unsur artistik sebagai proses penciptaan kreatif kisah hidup kartini yang berada pada kungkungan aturan, nalar, atau fakta sebagai cerita hidup seorang tokoh terkenal. Entah sesuai dengan kisah nyata atau tidak, namun dalam film ini terkesan tak ada saksi hidup yang bisa menjadi kunci dalam beberapa adegan.

    Tak bisa dipungkiri bahwa masalah utama dari pembuat film dalam membuat sebuah film biopik yaitu masyarakat pemuja tokoh tersebut. Rakyat Indonesia dikenal sebagai masyarakat yang menafikan interpretasi beda terhadap tokoh pujaannya. Hal ini berakibat pada muncul film-film biopik yang hanya berfungsi sebagai medium glorifikasi dan curriculum vitae audio-visual.

    Penuturan terhadap sosok Kartini memang klise hampir sama dengan film-film biopik garapan Hanung Brahmantyo sebelumnya. Namun, ada sebuah discovery atau penemuan baru yang diupayakan untuk memberi penonton pendalaman sudut pandang lain.

   Penulis mengungkap ada makna sosok Kartini yang digambarkan betapa mengagungkan untuk membaca buku apalagi dalam kondisi terkekang. Ia tidak hanya membaca sendiri, melainkan mengajak yang lain untuk terus membaca. Bahkan, dalam satu adegan disinggung kata ‘Iqra ! Bacalah. Atas nama Tuhanmu yang diwajibkan’. Penggalan kata ini tercantum dalam kitab suci umat Islam Al Qur'an QS. Al 'Alaq ayat 1 yang memiliki pemahaman tentang kegiatan tulis dan baca yang menjadi kunci ilmu pengetahuan.

    Lama-kelamaan Film Kartini yang diproduseri oleh Robert Ronny ini menjadi sebuah film hypotethical biopic atau alternate history yang mengusung pendekatan menggelitik. Kartini dan saudaranya harus menghadapi berbagai tekanan. Jauh dari bayangan kita, sosok Kartini justru hadir tak sekedar menjadi tuan puteri yang selalu diminta menjaga tata krama dan tutur bahasa. Kartini terlihat tetap ingin maju bersama kaumnya, memberi dukungan pada kaumnya tanpa meninggalkan akar budayanya sebagai orang Jawa.

    Ada satu adegan yang sebenarnya menarik untuk ditelaah. Saat Kartini berdialog dengan wanita Belanda yang menjadi penulis buku. Tim produksi membalut adegan ini dengan daya imajinasi yang jarang terjadi. Kartini digambarkan berkomunikasi lewat bahasa Belanda melalui adegan efek digital yang distraksi. Visualisasi hiperbola yang merubah latar suatu negara atau peristiwa menjadi simbol isi buku yang sedang dibaca oleh Kartini.

    Adegan tersebut menjadi kurang sinergi karena banyak bahasa lokal yang diganti dengan bahasa Belanda. Sebuah metafora dari gagasan sang sutradara yang menegaskan bahwa Kartini lebih berpikir modern dengan membaca buku-buku berbahasa Belanda yang menjadi koleksi dari kakak laki-lakinya, R.M. Panji Sosrokartono (Reza Rahadian).

    Meski demikian, Film Kartini sarat akan budaya Indonesia terutama budaya jawa. Deskripsi Kartini yang tetap memilih berada diperadabannya atau sesuai jalur kultur ketimurannya diungkap melalui tatanan dialog bukan dari reka adegan. Otentisitas lokal dihiasi dengan bahasa Jawa yang lebih mendominasi.

    Selain dalam penggunaan bahasa pada setiap dialog, latar tradisi Jawa saat era Kartini mengarahkan pemikiran perempuan yang hanya memikirkan 'cepat kawin' karena terbatasnya pendidikan bagi orang Belanda dan pribumi ningrat.  Perempuan ningrat harus pasrah jadi istri kesekian pria yang dijodohkan oleh silsilah keluarga berdarah biru tanpa rasa cinta yang mengikat.

    Kartini pun harus tetap menikah dan dijodohkan oleh orangtuanya sendiri. Namun, Ia mengajukan 4 syarat yang harus dipenuhi oleh calon suaminya. Seorang duda yang juga menjabat sebagai Bupati Rembang bernama Raden Adipati Joyodiningrat (Dwi Sasono) tak patah arang meminang perawan bangsawan ini.

    Raden Adipati Joyodiningrat semakin terpesona dengan Kartini. Pemikirannya tentang kodrat wanita hanyalah untuk menikah dan mengurus keluarga, sirna sudah. Bupati Rembang tersebut memenuhi niat Kartini untuk membangun sekolah bagi kaum bumiputra agar wanita bisa menjadi kaum terdidik. Lebih lanjut, cita-cita Kartini terhadap wanita bisa mendidik anak-anaknya agar lebih maju. Pemikiran seperti ini juga menjadi wasiat yang terlintas dalam benak almarhumah istri Raden Adipati Joyodiningrat yang sudah meninggal.

     Ada unsur reversal melalui pernikahan Kartini yang harus tetap dilangsungkan meski kisah yang disampaikan kurang begitu menguras emosi. Adegan pernikahan kakak, adik, dan Kartini sendiri menjadi suatu ritual pernikahan yang diatur semata. Untung saja, ada sosok Acha Septriasa yang memberi rasa dengan tangis tertekannya dalam setiap adegan tersebut sehingga penonton masih bertahan pada posisi tafsirnya sendiri untuk peduli terhadap emansipasi.

    Potensi Kartini dan kedua adiknya lambat laun diakui dan didukung oleh pemerintah Belanda. Hingga Film Kartini diakhiri dengan narasi teks yang berisi selang waktu 3 hari setelah menikah, proposal beasiswa untuk melanjutkan sekolah di negeri Belanda disetujui. Namun, kartini menyerahkan beasiswa untuk belajar ini kepada Agus Salim.

    Jangan harap penonton mendapat kisah akhir romansa yang begitu indah. Penonton akan disuguhi unsur kisah utama perjuangan Raden Ajeng Kartini yang ingin mendobrak tradisi, memenuhi adil dalam berpoligami, dan mendirikan sekolah saja.  Alur cerita keseluruhan pun sampai pada titik yang kurang memberi inspirasi, namun penonton akan melihat sejarah yang tak begitu bosan.

“Tidak ada yang lebih berharga selain membebaskan pikiran”.

    Sutradara berhasil mengarahkan para pemainnya untuk tampil dalam jiwa sesuai tuntutan cerita. Hanung Brahmantyo mencoba mengarahkan pemain untuk masuk ke dalam intrepretasi karakternya. Dari semua karakter, penulis sangat terkesan dengan chemistry Dian Sastrowardoyo dan Christine Hakim sebagai anak dan ibu kandung. Dengan bahasa Jawa yang fasih dan sangat menguasai peran, Christine Hakim mampu memancing Dian Sastrowardoyo untuk mengeluarkan emosi sebagai anak yang memberontak terhadap ketidakadilan.

    Sebagai Ibu kandung, Ngasirah membebaskan Kartini begitu mudah untuk keluar kamar saat terkurung dalam kondisi kegelapan atas tindakan ibu tirinya. Kartini diajak oleh ibu yang melahirkannya tersebut menuju danau sambil merenungi nilai-nilai luhur budaya Jawa yang tidak diajarkan dalam edukasi modern. Dalam budaya Jawa, jika ingin menaklukkan seseorang bukan dengan membantah atau melawan tapi dengan memangku atau mengorbankan ego pribadi.

    Walaupun adegan ini terkesan disisipkan dan menjadi titik balik yang disengaja. Christine Hakim mampu menyikapi adegan ini dengan penghayatan emosi yang mendalam. Ia berhasil mengingatkan Dian Sastrowardoyo tentang nilai tradisi lokal yang harus tetap menjadi identitas diri agar tidak luntur karena semua proses perjuangan butuh pengorbanan. Komunikasi ibu dan anak ini pun terbangun seperti kita menyaksikan film Pasir Berbisik.

    Selebihnya Nova Eliza yang berperan sebagai Christine Hakim muda juga tampil natural di awal film dengan dukungan penampilan fisiknya yang pas. Adinia Wirasasti yang berperan sebagai Soelastri (kakak dari Kartini) juga mampu mencuri perhatian sekilas meski tak tergarap dengan pas. Lalu, raut wajah Djenar Maesa Ayu yang berperan sebagai ibu tiri juga turut membantu penonton untuk menafsirkan setiap adegan. Sumbangsih akting mereka memberi warna tersendiri untuk film ini.

    Citra modern justru diperlihatkan Dian Sastrowardoyo sebagai Kartini lewat gestur dan bahasa tubuhnya. Mimiknya masih tak bisa menyembunyikan karakter sejatinya sebagai Cinta di awal tahun 2000an. Hanya bedanya, Cinta lebih terbiasa dengan adat Jawa yang melekat dalam balutan sanggul dan kain. Cara bicaranya masih kurang halus dan cara interaksi dengan yang lain tidak begitu dihayati. Hanya sedikit penekanan logat Jawa medhok dibeberapa bagian dan cara berjalan yang memang harus dipelajarinya sebagai Raden Ayu.

     Tapi, selebihnya amat terkesan modern. Usianya yang sudah masuk kategori ‘orangtua’ juga dicibir oleh netizen yang tak merepresentasi Kartini muda. Dian Sastrowardoyo makin tidak terasa jiwanya sebagai Kartini dengan segala kompleksitasnya yang kita rasakan diberbagai surat tulisan Kartini semasa hidupnya.

     Pendalaman karakter Kartini yang meleset dengan segala konsep dan karakter yang diharapkan penulis juga diikuti oleh karakter lain, seperti Reza Rahardian yang berperan sebagai sosok kakak laki-laki yang begitu jenius. Sebagai medium pemberi pesan terhadap Kartini dan penonton, Reza yang tampil sesaat tak sanggup menjadi cameo yang memiliki totalitas. Deddy Sutomo dengan jenggot palsunya juga masih belum tampil apa adanya dan Denny Sumargo yang berperan sebagai Slamet terkesan datar tanpa memainkan emosi sesuai karakter yang diperankannya. Rianti Cartwright pun sebagai Wilhelmina tampil tenggelam di garis batas kualitas nama-nama pemeran pendukung lainnya yang selalu diperhitungkan dalam jagat perfilman nasional.

“Tubuh boleh terpasung, tapi jiwa dan pikiran harus terbang sebebas-bebasnya”.

     Setelah menonton film ini, status Kartini sebagai seorang pahlawan nasional tidak bisa dijadikan rujukan untuk bicara tentang perjuangan kaum perempuan dan gerakan feminisme. Membicarakan kesahihan Kartini sebagai pahlawan nasional pun akan mengalami kontroversi terhadap standar kepahlawanan itu sendiri.

     Film Kartini seakan membatasi bahwa Kartini menjadi seorang penulis surat yang hanya mengandalkan korespondensi. Lalu, menularkan budaya literasi dengan membaca buku dan belajar bersama golongan Belanda hingga terjun ke masyarakat sekitar untuk membangun peradaban yang begitu cepat. Entah tampak konsisten atau tidak, benang merah yang dirajut dengan makna edukasi masih minim digarap dalam film ini.

     Sebagai penonton, aku hanya bisa melihat Kartini sebagai pendobrak tradisi dan poligami karena tema tersebut yang lebih diangkat dalam intrepretasi sutradara.  Hanung seolah mempertemukan antagonisme dan egoisme yang tidak datang dari pihak luar melainkan terlibat dalam kedekatan keluarga disekitarnya. Ini yang membuat Kartini versi Hanung menjadi perhatian.

    Seperti yang kita ketahui bahwa Kartini gemar berinteraksi lewat surat menyurat dengan rekan-rekannya yang lalu melahirkan berbagai gagasan yang melampaui zamannya. Dari kumpulan surat yang diterbitkan oleh J.H. Abendanonlewat buku Door Duisternis Tot Licht (diterjemahkan menjadi ‘Habis Gelap Terbitlah Terang’),salah satu sahabat pena Kartini, ada sekitar 87 surat. Bisa dibayangkan seringnya frekuensi berkirim surat yang dilakukan Kartini, tapi ironisnya Film Kartini menafikan hal itu.

     Tidak hanya melampaui surat-surat yang kerap ditulis, tapi Kartini coba diintrepretasi sebagai pejuang pemikiran dengan ide-ide dan gagasan emansipasi untuk melawan ketidakadilan. Eksekusi tersebut bisa jadi menimbulkan pengerucutan pemikiran generasi millennial saat ini.

     Sekali lagi penulis katakan bahwa rasa perjuangan terhadap pendidikan yang dilakukan oleh Kartini belum menyentuh hati. Tidak begitu banyak esensi yang keluar  dari apa yang Kartini miliki. Kekuatan terbesar dari film Kartini seharusnya terletak pada gambaran besar dampak pemikiran dan tindakannya bagi lingkungan. Namun, unsur cerita seperti itu tidak tergarap dengan baik. Penonton hanya disuguhkan situasi sekitar hidup Kartini dari hal yang paling dekat yaitu kehidupan sehari-hari.

     Sekolah yang didirikan Kartini sebagai pendobrak wanita terdidik hanya sebatas arena mini. Ruang lingkup begitu kecil diungkap sehingga dalam film Kartini tidak digambarkan bahwa Kartini akan mendorong munculnya wanita-wanita lain dengan perjuangan serupa. Hingga akhirnya terjadi gaya bertutur backfired di beberapa bagian.

     Upaya untuk bertutur semudah dan selembut mungkin seringkali diwujudkan dengan penataan adegan yang terkesan cheesy, terlalu diatur, dan kurang tulus. Ditambah lagi, ritme paruh kedua film ini jadi lebih diseret dengan banyak 'tradisi', seolah tak rela film dengan effort sebesar ini hanya menempelkan nama-nama aktor dan aktris ternama saja tanpa esensi kuat dari masing-masing karakter.

     Sebagai contoh, pemikiran Sosroningrat yang labil. Suatu sisi, Ia belum dapat mengizinkan Kartini memperoleh pendidikan yang lebih tinggi karena ada halangan yang timbul dari saudaranya sendiri dengan kekhawatiran bahwa perempuan justru ingin menjadi bupati ketika sudah mendapat gelar akademik.  Disisi lain, Ia meyakini suatu saat nanti zaman pasti akan berubah. Akhirnya, di tengah kondisi yang tidak stabil, ayah Kartini membawa anak-anak perempuannya tersebut keluar mengikuti kemauan mereka. Diajak tampil di muka umum sekaligus menghadiri pertemuan yang membuka jalan pemikiran dengan beragam persepsi yang muncul dikemudian.

“Apa yang kamu miliki saat ini, tidak akan ada artinya jika hanya untuk dirimu sendiri. Kamu harus berbagi karena perubahan tidak berjalan sendirian.”

     Film Kartini bukan hanya bisa ditonton oleh kaum hawa saja, tetapi siapapun bisa menikmati film ini dengan esensi yang begitu membumi. Beruntung bahwa kekuatan unsur-unsur ini lumayan bisa jadi kompensasi akal untuk suatu tradisi dan poligami meski sangat minim unsur edukasi.

     Selain dari sisi desain produksi, film Kartini juga sangat terbantu dengan tata kostum. Tata kamera dan tata cahaya pun digarap secara aman. Penataan musik dan suara yang beratmosfer klasik, romantis, sekaligus megah juga jadi salah satu poin yang membuat film ini secara keseluruhan lebih nyaman dinikmati.

     Secara keseluruhan, Kartini dari intrepretasi Hanung Bramantyo memang berbeda dari ekspetasi yang ada dipemikiran penulis. Aku bisa mengatakan bahwa Film kartini menjadi kisah cinta untuk semua tanpa bumbu asmara. Ada kisah cinta seorang Ibu yang bernama Ngatirah kepada anaknya, begitu juga sebaliknya rasa cinta dari anak yang bernama Kartini kepada ibunya sudah tergambar jelas dalam adegan awal. Lalu, kisah cinta seorang kakak laki-laki yang bernama .M. Panji Sosrokartono yang kepada adik perempuannya, Kartini. Kisah cinta tulus Kartini terhadap adik-adiknya yang berupaya mendobrak tradisi yang ada. Kemudian yang paling menohok adalah kisah cinta seorang Ayah yang bernama Raden Mas Adipati Ario Sosroningrat. Kisah cinta kepada keluarga ini terangkum juga untuk seluruh Rakyat yang dipimpinnya. Dan diakhir, kita akan mencerna ada kisah cinta seorang perempuan untuk kaum perempuan lainnya. Ini bentuk perjuangan cinta Kartini yang didukung oleh orang-orang disekelilingnya.

     Kembali, lagi pada suatu teori bahwa menonton film itu menggunakan teori relativitas. Suka atau tidak suka memberi pandangan para relativis terhadap hasil karya dengan nilai apresiasi berbeda-beda sesuai selera setiap penonton.

     Jadwal rilis film Kartini tercatat tanggal 19 April 2017 hari ini mendekati peringatan Hari Kartini pada 21 April nanti. Strategi ini dilakukan untuk menambah gegap gempita aspek pemasaran film Kartini agar laris di pasaran dan tembus jutaan penonton. Kita doakan saja semoga film Kartini bisa sesuai dengan ekspetasi Kompasianer semua.

Menurut Kompasianer, apakah Kartini bisa mewakili perjuangan wanita di Indonesia?... .

Silakan tonton terlebih dahulu Film Kartini dan Kompasianer akan mendapat jawaban itu sendiri*

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun