Kata si penjualnya, Tahu Petis Yudhistira ini berasal dari Semarang. Yang mana nama Yudhistira ini diambil bukan dari nama orang yang berjualan atau pedagangnya, melainkan diambil dari nama sebuah jalan tempat tinggal si penjual semasa kecilnya.
Walaupun sebenarnya, Semarang itu lebih kita kenal dengan kota Lumpia atau Bandeng Prestonya. Ternyata, tahu petisnya yummy bangeeeet. Jika masih kurang petisnya, Kompasianer bisa minta tambah sama si penjualnya atau bisa juga beli petisnya langsung di sini untuk praktek masak-memasak di rumah.Â
Rasa kuliner ini cenderung manis menjadi rasa yang lebih ramah dengan lidah orang kebanyakan tanpa meninggalkan cita rasa khas Semarang yang populer manis dan gurih. Petisnya tidak membuat eneg, dan tahunya renyah serta empuk. Pantas saja, Tagline yang diusung oleh penjualnya pun sangat menarik yaitu Tahu Petis Yudhistira ;we serve you Semarang’s unique original recipe. Saya jamin kompasianer akan menyesal jika belum pernah coba. Semoga saja, tahu petis Yudhistira juga bisa menjadi warisan budaya leluhur asli Semarang yah*
Untuk mendapatkan es ini, Kompasianer bisa mengunjungi booth Es Campur Jeli Pluit A Cen. Banyak pilihan santapan minuman yang sangat menyegarkan disini. Akhirnya, karena dalam keadaan dahaga di siang terik panas membara. Saya pun memilih Es Shanghai. Secara kemasan, es shanghai ini hampir mirip dengan es teler. Hanya saja, dari segi rasa, es shanghai ini tidak terlalu manis. Kandungan bermacam-macam buah di dalam es ini pun kaya akan fruktosa, sejenis glukosa alami yang aman bagi lambung setelah perut seharian kosong.
Jajanan SD ini memang penuh cita rasa nostalgia. Dinamakan es goyang karena saat membuat es ini, penjualnya harus menggoyangkan gerobaknya secara perlahan. Bukannya penjualnya yang goyang loh yah!. Dan walhasil, Es ini mampu menggoyang lidah saya, apalagi rasanya yang coklat.
Karena bingung masih ada saldo di kartu, saya pun mencari kuliner yang antriannya paling panjang. Akhirnya, saya menemukan bubur yang unik. Kenapa unik? Karena bubur ini kaya warna. Walaupun, saya tidak sempat bertanya, campuran apa saja yang ada di dalam bubur ini, tapi saya tetap menikmati karena rasanya sangat manis. Kalau kata si penjualnya sih, manisnya seperti saya ! Tapi bo'ong*
Sisa-sisa saldo semakin menipis, setelah kesana kemari mencari kuliner bukan alamat palsu, saldo saya pun hanya tersisa Rp. 2.500,-. Dengan prinsip ekonomis, saya pun harus mencari kuliner yang sesuai dengan saldo agar pas habisnya. Hahahaha. Lalu, Saya pun bertemu dengan berbagai jenis jajanan semasa kanak-kanak dulu.Â