Karena persoalan yang berhubungan langsung dengan keluarganya, Ki Ageng Suryomentaram tidak merasa nyaman tinggal di dalam istana Kesultanan Yogyakarta. Bahkan Suryomentaram merasa mendapatkan tekanan kejiwaan yang sangat berat.Â
Akibatnya, Suryomentaram ingin melakukan bunuh diri dengan cara menceburkan diri di sungai Opak sewaktu akan pergi ke Parangtritis. Tetapi hasrat Suryomentaram untuk melakukan bunuh diri tersebut mengalami kegagalan.Â
Dari balik peristiwa itu, Suryomentaram justru mendapat pengetahuan batin di mana ia tidak bisa mati. Pengalaman itu disampaikan oleh Suryomentaram kepada istrinya yang baru saja tertidur lelap.
Dengan tidak merasa nyaman lagi ketika menghadapi persoalan keluarganya, Ki Ageng Suryomentaram kembali meninggalkan dari lingkup kehidupan istana Kesultanan Yogyakarta.Â
Kembali menggelandang dengan menyamar sebagai rakyat biasa yang selalu mengenakan pakaian sederhana dan bertambal-tambal. Bekerja keras untuk mendapatkan penghasilan guna mencukupi kebutuhan hidup kesehariannya.
Pada tahun 1920, Ki Ageng Suryomentaram kembali dihadapkan pada persoalan keluarganya. Sri Sultan Hamengkubuwana VII turun tahta karena menurut berita diasingkan oleh GPH Puruboyo putranya ke Ambarukma.Â
Persoalan politis di dalam istana Kesultanan Yogyakarta ini semakin memantapkan pilihan hidup Suryamentaram sebagai rakyat biasa semakin tinggi. Rakyat biasa yang tidak pernah berpikir untuk hidup bahagia tanpa harus menjadi penguasa yang penuh bergelimang harta benda.
 Fakta bahwa Ki Ageng Suryomentaram tidak berpikir dengan kekuasaan dapat ditunjukkan dengan tidak melakukan intervensi terhadap konflik antara Sri Sultan Hamengkubuwana VII ayahnya dengan GPH Puruboyo saudaranya.Â
Sungguhpun begitu, Suryomentaram tetap datang melayat dan memanggul jenazah ayahnya serta berpamitan kepada saudaranya yang telah menjadi raja di Kesultanan Yogyakarta untuk meninggalkan lingkup kehidupan istana selama-lamanya.
Sewaktu berpamitan kepada Sri Sultan Hamengkubuwana VIII, Ki Ageng Suryomentaram bersedia menerima uang sebagai perbekalan dalam pengembaraannya. Namun Suryomentaram menolak pemberian uang pensiun dari pemerintah Hindia Belanda. Dengan alasan, Suryomentaram tidak mau terikat dengan bangsa kolonial tersebut.
Dikisahkan sesudah meninggalkan istana Kesultanan Yogyakarta untuk selama-lamanya, Ki Ageng Suryomentaram membeli tanah di desa Bringin, Salatiga. Di sana, Suryomentaram hidup sebagai rakyat biasa.Â