Mohon tunggu...
Sri Wintala Achmad
Sri Wintala Achmad Mohon Tunggu... Penulis - Biografi Sri Wintala Achmad

SRI WINTALA ACHMAD menulis puisi, cerpen, novel, filsafat dan budaya Jawa, serta sejarah. Karya-karya sastranya dimuat di media masa lokal, nasional, Malaysia, dan Australia; serta diterbitkan dalam berbagai antologi di tingkat daerah dan nasional. Nama kesastrawannya dicatat dalam "Buku Pintar Sastra Indonesia", susunan Pamusuk Eneste (Penerbit Kompas, 2001) dan "Apa dan Siapa Penyair Indonesia" (Yayasan Hari Puisi Indonesia, 2017). Profil kesastrawanannya dicatat dalam buku: Ngelmu Iku Kelakone Kanthi Laku (Balai Bahasa Yogyakarta, 2016); Jajah Desa Milang Kori (Balai Bahasa Yogyakarta, 2017); Menepis Sunyi Menyibak Batas (Balai Bahasa Jawa Tengah, 2018). Sebagai koordinator divisi sastra, Dewan Kesenian Cilacap periode 2017-2019.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Ki Ageng Suryamentaram antara Gelimang Harta dan Politik

22 Januari 2020   06:28 Diperbarui: 22 Januari 2020   06:28 374
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Dok. Araska Publisher

Ki Ageng Suryomentaram (1892-1962) hidup semasa terjadi masa transisi dari budaya tradisi ke budaya modern. Suryomentaram hidup semasa pemerintahan Sri Sultan Hamengkubuwana VII, VIII, dan IX. Suryomentaram pula hidup semasa Pemerintahan Hindia Belanda, penjajahan Jepang, dan pra atau paska kemerdekaan negara Republik Indonesia.

Bila melihat tahun kelahirannya, Ki Ageng Suryomentaram lahir sesudah ayahnya Sri Sultan Hamengkubuwana VII memerintah di Kesultanan Yogyakarta selama 15 tahun (sejak tahun 1877). 

Sungguhpun hidup di tengah gelimang harta benda orang tuanya, namun Suryomentaram tetap hidup dalam kesederhanaan sebagai rakyat biasa. Terutama sesudah menyaksikan kehidupan para petani sewaktu melakukan perjalanan dari Yogyakarta ke Surakarta.

Dikatakan hidup bergelimang harta, Ki Ageng Suryomentaram hidup dalam keluarga istana yang tengah menanjak tingkat pendapatannya sesudah pemerintah Hindia Belanda membangun 17 pabrik gula. 

Di samping itu, Suryomentaram yang bekerja di gubernuran sesudah tamat kursus di Klein Ambtenaar. Namun gelimang harta benda yang melingkupi hidupnya tidak membuatnya bahagia. Mengingat harta benda tersebut dapat diperoleh dengan mudah dan tidak melalui kerja keras sebagaimana dilakukan oleh rakyat jelata.

 Berkat kesadaran bahwa penghasilan yang membuatnya bahagia dengan dicapai melalui bekerja keras, Ki Ageng Suryomentaram ingin menanggalkan gelar keningratannya menjadi rakyat biasa. 

Rakyat yang bekerja keras hanya untuk menyambung hidup. Mengingat waktu itu, kehidupan rakyat dalam penindasan sejak pemerintah Hindia Belanda hingga penjajahan Jepang.

Karena tekadnya untuk menjadi rakyat biasa sudah bulat, Ki Ageng Suryomentaram tidak mengikuti anjuran Sri Sultan Hamengkubuwana VII agar tidak meninggalkan istana dan menanggalkan gelar keningratannya. 

Sesudah hidup mengembara dari tempat satu ke tempat lainnya, Suryomentaram bekerja konkrit sebagai penjual ikat pinggang dan batik. Suryomentaram pula bekerja sebagai penggali sumur di wilayah Kroya, Cilacap.

Pengembaraan terpenggal ketika Ki Ageng Suryomentaram terconangi penyamarannya sebagai rakyat biasa bernama Natadangsa oleh orang kepercayaan Sri Sultan Hamengkubuwana VII. Karena masih mencintai kedua orang tuanya, Suryomentaram kembali ke istana.

Sewaktu tinggal di istana, Ki Ageng Suryomentaram menghadapi masalah kemelut politik yang memiliki hubungan langsung dengan keluarga ibunya. Di mana Patih Danureja VI yang merupakan kakeknya dibebastugaskan oleh Sri Sultan Hamengkubuwana VII dari jabatannya. Tidak lama kemudian, Raden Ayu Retnamandaya ibunya diceraikan oleh Hamengkubwana VII.

Karena persoalan yang berhubungan langsung dengan keluarganya, Ki Ageng Suryomentaram tidak merasa nyaman tinggal di dalam istana Kesultanan Yogyakarta. Bahkan Suryomentaram merasa mendapatkan tekanan kejiwaan yang sangat berat. 

Akibatnya, Suryomentaram ingin melakukan bunuh diri dengan cara menceburkan diri di sungai Opak sewaktu akan pergi ke Parangtritis. Tetapi hasrat Suryomentaram untuk melakukan bunuh diri tersebut mengalami kegagalan. 

Dari balik peristiwa itu, Suryomentaram justru mendapat pengetahuan batin di mana ia tidak bisa mati. Pengalaman itu disampaikan oleh Suryomentaram kepada istrinya yang baru saja tertidur lelap.

Dengan tidak merasa nyaman lagi ketika menghadapi persoalan keluarganya, Ki Ageng Suryomentaram kembali meninggalkan dari lingkup kehidupan istana Kesultanan Yogyakarta. 

Kembali menggelandang dengan menyamar sebagai rakyat biasa yang selalu mengenakan pakaian sederhana dan bertambal-tambal. Bekerja keras untuk mendapatkan penghasilan guna mencukupi kebutuhan hidup kesehariannya.

Pada tahun 1920, Ki Ageng Suryomentaram kembali dihadapkan pada persoalan keluarganya. Sri Sultan Hamengkubuwana VII turun tahta karena menurut berita diasingkan oleh GPH Puruboyo putranya ke Ambarukma. 

Persoalan politis di dalam istana Kesultanan Yogyakarta ini semakin memantapkan pilihan hidup Suryamentaram sebagai rakyat biasa semakin tinggi. Rakyat biasa yang tidak pernah berpikir untuk hidup bahagia tanpa harus menjadi penguasa yang penuh bergelimang harta benda.

 Fakta bahwa Ki Ageng Suryomentaram tidak berpikir dengan kekuasaan dapat ditunjukkan dengan tidak melakukan intervensi terhadap konflik antara Sri Sultan Hamengkubuwana VII ayahnya dengan GPH Puruboyo saudaranya. 

Sungguhpun begitu, Suryomentaram tetap datang melayat dan memanggul jenazah ayahnya serta berpamitan kepada saudaranya yang telah menjadi raja di Kesultanan Yogyakarta untuk meninggalkan lingkup kehidupan istana selama-lamanya.

Sewaktu berpamitan kepada Sri Sultan Hamengkubuwana VIII, Ki Ageng Suryomentaram bersedia menerima uang sebagai perbekalan dalam pengembaraannya. Namun Suryomentaram menolak pemberian uang pensiun dari pemerintah Hindia Belanda. Dengan alasan, Suryomentaram tidak mau terikat dengan bangsa kolonial tersebut.

Dikisahkan sesudah meninggalkan istana Kesultanan Yogyakarta untuk selama-lamanya, Ki Ageng Suryomentaram membeli tanah di desa Bringin, Salatiga. Di sana, Suryomentaram hidup sebagai rakyat biasa. 

Bekerja sebagai petani. Sosok yang menginspirasinya untuk menanggalkan gelar keningratannya. Menyandang predikat sebagai rakyat biasa yang bekerja keras untuk mencapai kebahagiaan di dalam hidup di dunia.

Sungguhpun Ki Ageng Suryomentaram merasa bahagia yang diciptakannya sendiri yakni ketika menjadi rakyat biasa, namun bukan sebagai orang egois dan individualis yang mengutamakan kepentingan pribadi di atas kepentingan orang lain. 

Sebagai rakyat biasa, Suryomentaram pula memikirkan nasib sesamanya (basa bangsa Indonesia) yang sekian lama hidup dalam cengkeraman kolonial Belanda.

Karena panggilan hidupnya untuk tampil sebagai pejuang di dalam mengentaskan nasib rakyat Indonesia dari cengkeraman kolonial Belanda, Ki Ageng Suryomentaram berjuang pada bidang pendidikan. Bersama Ki Hajar Dewantara, Suryomentaram mendirikan Taman Siswa. 

Ketika Taman Siswa berdiri, Suryomentaram menyerahkan rumahnya sebagai gedung dan asrama. Selain itu, Suryomentaram pula menyediakan diri sebagai guru yang mengajarkan ilmu pengetahuan kepada para siswa yang telah berusia dewasa.

Jalur perjuangan yang ditempuh oleh Ki Ageng Suryomentaram tidak hanya bergerak pada bidang pendidikan, namun secara tidak langsung pula bergerak pada bidang militer. 

Pendapat tersebut dapat ditunjukkan bahwa Suryomentaram turut bergerak di dalam upaya mendirikan PETA (Pembela Tanah Air). Melalui jalur tersebut, kelak muncul tokoh Jenderal Soedirman yang berjuang melawan pasukan Belanda dengan cara bergerilya.

Selain berjuang pada bidang pendidikan dan militer, Ki Ageng Suryomentaram pula bergerak di bidang filsafat dan ilmu jawa. Melalui permenungan-permenungannya, Suryomentaram memberikan ajaran-ajaran kepada sahabat-sahabat dan pengikut-pengikutnya yang tergabung di dalam komunitas Selasa Kliwonan dan Junggring Salaka. Ajaran-ajaran yang dapat membangun mentalitas, moralitas, dan karakter orang Jawa.

Ajaran-ajaran yang disampaikan Ki Ageng Suryomentaram melalui beberapa karya tulisnya, di antaranya:  Kawruh Begja, Aku Iki Wong Apa, Pangawikan Pribadi, Kawruh Rasa, dan Kawruh Jiwa, Piageming Gesang, Kawruh Pamomong, Jimat Perang, dan lain-lain. 

Melalui ajaran-ajarannya yang mulai diteliti oleh para ahli dan diamalkan oleh para sahabat dan pengikutnya, Suryomentaram dikenal hingga sekarang. [Sri Wintala Achmad]

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun