Mohon tunggu...
Sri Wintala Achmad
Sri Wintala Achmad Mohon Tunggu... Penulis - Biografi Sri Wintala Achmad

SRI WINTALA ACHMAD menulis puisi, cerpen, novel, filsafat dan budaya Jawa, serta sejarah. Karya-karya sastranya dimuat di media masa lokal, nasional, Malaysia, dan Australia; serta diterbitkan dalam berbagai antologi di tingkat daerah dan nasional. Nama kesastrawannya dicatat dalam "Buku Pintar Sastra Indonesia", susunan Pamusuk Eneste (Penerbit Kompas, 2001) dan "Apa dan Siapa Penyair Indonesia" (Yayasan Hari Puisi Indonesia, 2017). Profil kesastrawanannya dicatat dalam buku: Ngelmu Iku Kelakone Kanthi Laku (Balai Bahasa Yogyakarta, 2016); Jajah Desa Milang Kori (Balai Bahasa Yogyakarta, 2017); Menepis Sunyi Menyibak Batas (Balai Bahasa Jawa Tengah, 2018). Sebagai koordinator divisi sastra, Dewan Kesenian Cilacap periode 2017-2019.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Genderuwo Pantai Pandansima

3 September 2019   04:20 Diperbarui: 3 September 2019   04:28 227
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
https://manaberita.com 

SEJAK masih berusia remaja, Bambang suka melakukan ziarah di tempat-tempat sakral yang ada Jawa Tengah, Jawa Timur, dan Yogyakarta. Namun bila dibandingkan berziarah di makam-makam, Bambang lebih suka berziarah di pantai-pantai yang masih dianggap sakral, seperti: Parangtritis, Parangkusumna, dan Pandansima. Karenanya setiap malam Selasa Kliwon atau Jumat Kliwon, Bambang selalu berada di salah satu pantai di Laut Selatan itu.  

Pada malam Jumat Kliwon bulan ke tujuh, Bambang yang merasa sumpek di rumah itu mengeluarkan sepeda motornya. Sesudah distaternya, sepeda motor itu melaju di jalan raya yang masih padat. Motor itu terus melaju. Menuju suatu pantai Pandansima yang terkenal dengan kesakralannya.

Sesudah memarkir mobilnya yang tidak jauh dari pantai, Bambang mengarahkan langkahnya menuju warung Darsini. Di antara perempuan-perempuan berias menor, Bambang memesan secangkir kopi.

Tak sampai tiga menit, secangkir kopi itu sudah berada di atas bangkunya. Sembari menunggu kopi yang masih mengepulkan asap itu berkurang panasnya,

Bambang meraih sebungkus rokok dan korek gas dari saku celana jeannya. Mengambil sebatang rokok dan menyulut ujungnya dengan api korek gas yang menyala. Mengisap rokok itu, dan menghembuskan asapnya.

"Tumben! Datang ke Pandansima sendirian, Mas Bambang?" celetuk Darsini. "Biasanya sama Mas Dibya."

"Iya, Mbak Dar. Tadi tidak sempat mengajak Dibya. Mungkin, ia sekarang di Parangkusuma." Bambang menyeruput kopinya. "Oh ya, Mbak. Kenapa Mbak Darsini selalu menanyakan Dibya ketika saya datang sendiri di Pandansima. Mbak Dar naksir ya? Dia masih bujang lho."

"Ya, nggak ya."

"Ah, masak?"

 Darsini, pemilik warung kopi yang janda itu mencubit lengan Bambang.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun