"Lho.... Kok nyubit, Mbak?"
"Rasain. Mas Bambang sukanya garapi orang sih."
"Ha..., ha..., ha...," Bambang tertawa lepas. "Oh ya, Mbak Dar. Boleh kopinya aku bawa ke tepi pantai. Aku mau menikmati kopi sambil melaras angin malam."
"Ditemani nggak?"
"Nggak usah, Mbak. Aku mau menyendiri. Menghilangkan rasa sumpek sesudah berhari-hari disibukkan dengan urusan pekerjaan."
"Ya, sana! Menyendirilah! Tapi, jangan sampai tergoda dengan mbak-mbaknya yang suka nongkrong di tepi pantai ya!"
Tanpa melontarkan jawaban pada Darsini, Bambang yang membawa secangkir kopi, sebungkus sigaret, dan korek gasnya itu menuju tepian pantai. Setiba di tempat yang dirasa tepat, Bambang merebahkan tubuh di atas hamparan pasir sambil menikmati suasana pantai yang menebarkan udara dingin.
Selagi khayalannya membumbung tinggi, Bambang disapa seorang lelaki yang menyerupai Dibya kawannya. "Mbang! Datang ke Pandansima tidak ajak-ajak. Tapi karena kepekaan feelingku, aku yang sejak sore di Parangkusuma, menyusulmu ke sini."
"Sorry, aku tadi tidak mengajakmu." Bambang bangkit dari hamparan pasir yang menjadi ranjangnya. "Oh, ya. Tadi, Mbak Darsini menanyakanmu."
"Yang benar?"
"Sumpah. Demi Allah."