SEJAK masih berusia remaja, Bambang suka melakukan ziarah di tempat-tempat sakral yang ada Jawa Tengah, Jawa Timur, dan Yogyakarta. Namun bila dibandingkan berziarah di makam-makam, Bambang lebih suka berziarah di pantai-pantai yang masih dianggap sakral, seperti: Parangtritis, Parangkusumna, dan Pandansima. Karenanya setiap malam Selasa Kliwon atau Jumat Kliwon, Bambang selalu berada di salah satu pantai di Laut Selatan itu. Â
Pada malam Jumat Kliwon bulan ke tujuh, Bambang yang merasa sumpek di rumah itu mengeluarkan sepeda motornya. Sesudah distaternya, sepeda motor itu melaju di jalan raya yang masih padat. Motor itu terus melaju. Menuju suatu pantai Pandansima yang terkenal dengan kesakralannya.
Sesudah memarkir mobilnya yang tidak jauh dari pantai, Bambang mengarahkan langkahnya menuju warung Darsini. Di antara perempuan-perempuan berias menor, Bambang memesan secangkir kopi.
Tak sampai tiga menit, secangkir kopi itu sudah berada di atas bangkunya. Sembari menunggu kopi yang masih mengepulkan asap itu berkurang panasnya,
Bambang meraih sebungkus rokok dan korek gas dari saku celana jeannya. Mengambil sebatang rokok dan menyulut ujungnya dengan api korek gas yang menyala. Mengisap rokok itu, dan menghembuskan asapnya.
"Tumben! Datang ke Pandansima sendirian, Mas Bambang?" celetuk Darsini. "Biasanya sama Mas Dibya."
"Iya, Mbak Dar. Tadi tidak sempat mengajak Dibya. Mungkin, ia sekarang di Parangkusuma." Bambang menyeruput kopinya. "Oh ya, Mbak. Kenapa Mbak Darsini selalu menanyakan Dibya ketika saya datang sendiri di Pandansima. Mbak Dar naksir ya? Dia masih bujang lho."
"Ya, nggak ya."
"Ah, masak?"
 Darsini, pemilik warung kopi yang janda itu mencubit lengan Bambang.