Pagi hari. Syeh Amongraga, Jamal, dan Jamil kembali melanjutkan perjalanan. Sepanjang perjalanan ke arah pedukuhan Andong Tinunu di kaki Gunung Sindoro itu, Syeh Amongraga selalu teringat kisah Ki Buyut Wasi Bagena tentang penjelajahan batin Bima. Teringat ungkapan Ki Buyut yang menyindir bahwa pengembaraannya semata menghindari buruan orang-orang Mataram. Pengembaraan seorang pecundang sebagaimana yang pernah diungkapkan Niken Rancangkapti kepadanya di kaki Gunung Giri beberapa waktu silam.
Seirama langkah kaki, Syeh Amongraga berulang kali menghela napas panjang. Dadanya merasa sesak, saat teringat pada ungkapan Niken Rancangkapti. Teringat pada adik perempuannnya yang mewarisi sifat ksatria leluhurnya itu. Sifat yang selalu mengajarkan untuk lebih memilih melawan musuh sekalipun berakhir pada kematian, ketimbang selamat sebagai pecundang.
Betapa Syeh Amongraga rindu bertemu dengan Niken Rancangkapti. Karenanya pada Syeh Sukmasidik yang tinggal di pedukuhan Andong Tinunu itu, Syeh Amongraga memohon petunjuk. "BapaSukmasidik, tunjukkan padaku kemana aku harus mencari adikku Rancangkapti?"
"Anak muda!" Syeh Sukmasidik tampak mengernyitkan dahinya. "Menurut petunjuk Gusti yang aku terima, kamu akan kembali menemukan adikmu itu bila telah memetik bunga wijaya kusuma yang dapat mekar di malam dan siang hari."
"Kemana aku harus mencarinya?"
"Berjalanlah ke arah timur! Jangan hentikan langkahmu, sebelum sampai di padepokan milik Ki Bayi Panurta di sebelah selatan Gunung Giri! Tepatnya di desa Wanamarta yang masih berada di bawah wilayah Majakerta itu."
Usai menerima petunjuk Syeh Sukmasidik, Syeh Amongraga beserta Jamal dan Jamil meninggalkan pedukuhan Andong Tinunu. Mereka kembali melanjutkan perjalanan. Tiada tempat yang bakal mereka tuju, selain padepokan Wanamarta. Sebuah padepokan yang masih jauh dari tangkapan mata memandang.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H