Sontak Ki Ageng Karang turun dari lincak. Duduk bersila di tanah. Menghaturkan sembah. "Mohon ampun, Pangeran. Hamba tak tahu bila yang datang ke gubug hamba adalah putra mahkota Kanjeng Sunan Giri Parapen."
Jayengresmi beranjak dari lincak. Meraih kedua tangan Ki Ageng Karang. Mendudukkan lelaki paruh baya itu di tempatnya semula. Duduk selincak di sampingnya. "Tak perlu Aki menghormatiku semulia itu. Aku bukan lagi pangeran yang tinggal di dalam istana. Aku kini hanya seorang buron Mataram yang tengah mencari perlindungan. Apakah Aki mau melindungiku?"
"Tentu, Pangeran. Tapi...."
"Tapi apa, Ki?"
"Persyaratannya sangat berat, Pangeran."
"Kalau persyaratannya berupa harta dan benda, aku tak sanggup. Karena sewaktu meninggalkan istana Kasunanan Giri, aku hanya berbekal raga."
"Bukan harta dan benda sebagai persyaratannya...."
"Lantas?"
"Pangeran harus bersedia menjadi anak hamba. Selain itu, Pangeran harus rela untuk berganti nama. Hanya dengan cara demikian, Pangeran akan selamat dari buruan orang-orang Mataram."
"Kalau persyaratannya hanya itu, aku sanggup." Jayengresmi yang sejenak terdiam itu tampak berpikir. "Oh ya, Ki. Apakah aku memanggil Aki hanya dengan sebutan ayah saja? Tanpa disertai nama?"
"Oh.... Maaf, Pangeran. Sampai lupa hamba memperkenalkan nama." Ki Ageng Karang kembali tertawa hingga kedua giginya yang ranggas kehitaman itu tampak terlihat jelas oleh Jayengresmi. "Nama hamba Ki Ageng Karang. Karenanya, panggil saja nama hamba dengan sebutan Bapa Karang."