"Berangkatlah! Doaku menyertaimu."
Patih Tilandanu beserta Adipapti Gobog dan Adipati Sendang meninggalkan balairung. Selepas mereka, Prabu Banyak Blabur bersama Ki Charak memasuki istana. Selagi bersantap siang, wajah sang raja tampak berbinar. Memiliki harapan baru akan punahnya wabah penyakit yang melanda di negerinya.
***
PASUKAN berkuda di bawah komando Patih Tilandanu bergerak menuju Nusatembini. Setiba di wilayah ibukota Nusatembini, ia tercengang saat menyaksikan benteng bambu ori yang mengelilingi istana Ratu Sri Wulan. Ia berpikir keras untuk dapat menembus benteng itu.
"Kiraka Patih...," celetuk Adipati Gobog. "Jangan hanya diam! Sebaiknya kita kerahkan segera seluruh prajurit. Menebang bambu-bambu ori ini."
"Benar Kiraka Patih, kita harus cepat bertindak." Adipati Sendang turut berpendapat. "Rakyat Pajajaran dan putri Paduka Prabu Banyak Blabur harus segera mendapatkan pertolongan."
"Sabar!" Patih Tilandanu memandang aneh ke sekeliling benteng bambu ori itu. "Apakah Rayi Adipati sekalian tak melihat? Benteng bambu ori ini bukan benteng sembarangan. Prajurit-prajurit jin rapat menjaganya."
"Benarkah, Kiraka Patih?" tanya Adipati Sendang. "Lantas dengan cara apa kita dapat menembus benteng ini?
"Dengan menyebar kepeng-kepeng emas, kita dapat menembus benteng ini. Selagi pasukan jin berebut kepeng-kepeng emas, tebanglah bambu-bambu ori ini dengan pedang! Kerahkan seluruh prajurit untuk membantu kalian!"
"Perintah Kiraka Patih, segera kami laksanakan."
Tanpa menunggu berlalunya waktu, Patih Tilandanu menyebar kepeng-kepeng emas. Saat pasukan jin berebut kepeng-kepeng emas itu, kedua adipati beserta seluruh prajurit menebang bambu-bambu ori. Melihat jalan sudah terbuka, pasukan Pajajaran memasuki alun-alun Nusatembini.