LANGIT Pajajaran gelap gulita. Prabu Banyak Blabur berduka. Wabah penyakit yang melanda di negerinya tidak kunjung reda.
Setiap hari, Prabu Banyak Blabur tidak merasakan lezatnya makanan. Setiap malam, ia tidak dapat memejamkan mata. Pikirannya tercurah pada wabah penyakit yang menjangkit ke tubuh rakyat dan putrinya. Namun berkat doanya, ia mendapat petunjuk Tuhan melalui seorang ahli nujum, Ki Charak.
"Ampun, Paduka." Ki Charak menghaturkan sembah. "Menurut hamba, wabah penyakit hanya dapat dibasmi dengan air mata kuda sembrani."
"Aneh!" Prabu Banyak Blabur sejenak berpikir. "Apakah di dunia ini, ada air mata kuda sembrani?"
"Ada, Paduka. Ratu Sri Wulan. Putri mendiang Prabu Pulebahas dari Nusatembini itu yang memilikinya."
"Kita harus mendapatkan air mata kuda sembrani itu."
"Harus, Paduka. Kalau Paduka tidak ingin melihat kesengsaraan rakyat Pajajaran. Tidak ingin menyaksikan penderitaan putri Paduka."
Prabu Banyak Blabur mengerling Tilandanu. "Patih...."
"Hamba, Paduka."
"Tak seorang pun yang aku percaya untuk mendapatkan air mata kuda sembrani selain dirimu. Karena Nusatembini bukan sembarang kerajaan, perjalananmu ke sana tidak seorang diri. Rayi Adipati Gobog, Rayi Adipati Sendang, dan seribu prajurit berkuda aku perbantukan padamu. Aku pun akan membekalimu sekantong kepeng emas."
"Terima kasih. Mengingat rakyat dan putri Paduka harus segera mendapat pertolongan, hamba mohon pamit. Melaksanakan tugas yang Paduka sampirkan ke pundak hamba."
"Berangkatlah! Doaku menyertaimu."
Patih Tilandanu beserta Adipapti Gobog dan Adipati Sendang meninggalkan balairung. Selepas mereka, Prabu Banyak Blabur bersama Ki Charak memasuki istana. Selagi bersantap siang, wajah sang raja tampak berbinar. Memiliki harapan baru akan punahnya wabah penyakit yang melanda di negerinya.
***
PASUKAN berkuda di bawah komando Patih Tilandanu bergerak menuju Nusatembini. Setiba di wilayah ibukota Nusatembini, ia tercengang saat menyaksikan benteng bambu ori yang mengelilingi istana Ratu Sri Wulan. Ia berpikir keras untuk dapat menembus benteng itu.
"Kiraka Patih...," celetuk Adipati Gobog. "Jangan hanya diam! Sebaiknya kita kerahkan segera seluruh prajurit. Menebang bambu-bambu ori ini."
"Benar Kiraka Patih, kita harus cepat bertindak." Adipati Sendang turut berpendapat. "Rakyat Pajajaran dan putri Paduka Prabu Banyak Blabur harus segera mendapatkan pertolongan."
"Sabar!" Patih Tilandanu memandang aneh ke sekeliling benteng bambu ori itu. "Apakah Rayi Adipati sekalian tak melihat? Benteng bambu ori ini bukan benteng sembarangan. Prajurit-prajurit jin rapat menjaganya."
"Benarkah, Kiraka Patih?" tanya Adipati Sendang. "Lantas dengan cara apa kita dapat menembus benteng ini?
"Dengan menyebar kepeng-kepeng emas, kita dapat menembus benteng ini. Selagi pasukan jin berebut kepeng-kepeng emas, tebanglah bambu-bambu ori ini dengan pedang! Kerahkan seluruh prajurit untuk membantu kalian!"
"Perintah Kiraka Patih, segera kami laksanakan."
Tanpa menunggu berlalunya waktu, Patih Tilandanu menyebar kepeng-kepeng emas. Saat pasukan jin berebut kepeng-kepeng emas itu, kedua adipati beserta seluruh prajurit menebang bambu-bambu ori. Melihat jalan sudah terbuka, pasukan Pajajaran memasuki alun-alun Nusatembini.
***
RATU Sri Wulan berang saat mendapat laporan dari prajurit bahwa pasukan Pajajaran memasuki alun-alun Nusatembini. Tanpa punggawa, panglima perang, dan pasukan jin; ia menghadapi Patih Tilandanu beserta pasukannya.
Di alun-alun, Ratu Sri Wulan mencabut konde yang menancap di rambutnya. Melemparkan konde itu ke angkasa. Tiba-tiba cahaya yang menyilaukan memancar dari langit. Membutakan mata orang-orang Pajajaran. Karena sifat mulianya, ratu Nusatembini itu mengampuni dan menyembuhkan orang-orang Pajajaran dengan air mata kuda sembrani.
Seusai Patih Tilandanu menyampaikan maksud kedatangannya ke Nusatembini, Ratu Sri Wulan memberikan seguci air mata kuda sembrani. Sepulang di Pajajaran, guci itu diserahkan oleh Patih Tilandanu pada Prabu Bannyak Blabur. Oleh Ki Charak, guci itu ditanam di alun-alun. Dalam hitungan hari, Pajajaran terbebas dari wabah penyakit.
Bersuka-citalah Prabu Banyak Blabur tatkala seluruh rakyat dan putrinya berhasil disembuhkan dari penyakitnya. Sejak itu, permusuhan antara Pajajaran dan Nusatembini berakhir dengan perdamaian. Tak ada perang. Sehingga rakyat dari kedua kerajaan itu hidup dalam ketenteraman.
-Sri Wintala Achmad-
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI