Mohon tunggu...
Sri Wintala Achmad
Sri Wintala Achmad Mohon Tunggu... Penulis - Biografi Sri Wintala Achmad

SRI WINTALA ACHMAD menulis puisi, cerpen, novel, filsafat dan budaya Jawa, serta sejarah. Karya-karya sastranya dimuat di media masa lokal, nasional, Malaysia, dan Australia; serta diterbitkan dalam berbagai antologi di tingkat daerah dan nasional. Nama kesastrawannya dicatat dalam "Buku Pintar Sastra Indonesia", susunan Pamusuk Eneste (Penerbit Kompas, 2001) dan "Apa dan Siapa Penyair Indonesia" (Yayasan Hari Puisi Indonesia, 2017). Profil kesastrawanannya dicatat dalam buku: Ngelmu Iku Kelakone Kanthi Laku (Balai Bahasa Yogyakarta, 2016); Jajah Desa Milang Kori (Balai Bahasa Yogyakarta, 2017); Menepis Sunyi Menyibak Batas (Balai Bahasa Jawa Tengah, 2018). Sebagai koordinator divisi sastra, Dewan Kesenian Cilacap periode 2017-2019.

Selanjutnya

Tutup

Dongeng Pilihan

Dongeng | Ranjaban Abimanyu [Bagian 1]

6 Maret 2018   18:56 Diperbarui: 6 Maret 2018   19:08 1040
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
caritawayang.blogspot.co.id

KURUSETRA yang semula seperti taman Eden tempat dimana Adam-Eva memadu kasih pada beribu-ribu tahun silam telah berubah serupa telaga berdarah. Bangkai-bangkai prajurit rucah yang hilang kepalanya, bocor perutnya, atau buntung kaki atau lengannya bercampur dengan bangkai kuda dan gajah. Berbaur dengan patahan tombak, busur, dan panah; rongsokan tameng, pedang, dan keris; serta selongsong-selongsong peluru.

Bharatayuda memasuki hari ke sebelas. Namun sudah sekian ribu prajurit rucah dan puluhan senapati perang dari kubu Korawa dan kubu Pandawa menjadi tumbal proyek politis Bathara Guru. Proyek yang disepakati oleh Lembaga Kadewatan, agar Bathara Guru tetap dikokohkan sebagai penggagas Kitab Jitabsara dan penentu Bharatayuda. Perang dimana keangkaramurkaan manusia bakal dilibas habis oleh kebajikan. Perang yang merupakan ambang binasanya kebajikan di muka bumi, manakala keangkaramurkaan punah bersama pemuja-pemujanya.

Ibarat dua warna hitam dan putih di dalam lingkaran zin-yang. Kebajikan dan keangkaramurkaan berhelat seiring denyut jantung dan hembusan napas. Perhelatan dalam warna kelabu yang tak ada kalah tak ada jawaranya. Hingga manusia tak dapat membedakan mana yang baik mana yang jahat, ketika kehidupan berputar menuju titik akhir. Sebagaimana titik awal yang tak seorang pun tahu kapan waktunya. Demikian pula para dewa tak mengetahui rahasia Tuhan. Termasuk di dalamnya, Bathara Guru. Dewa yang tinggal di jagad madya. Jagad di antara surga dan dunia.

Manusia memang tempat ketaktahuan atas rahasia kapan mula dan berakhirnya kehidupan. Ibarat anak wayang, manusia yang semula tinggal di dalam kotak pra kehidupan sekonyong-konyong tahu kalau keberadaannya telah ditampilkan oleh seorang dalang di kelir. Manusia tak pernah tahu kapan blencong dinyalakan. Kapan kayon bakal ditancapkan di tengah kelir oleh sang dalang sebagai lambang keparipurnaan cerita seusai tayungan.

Ketaktahuan tentang titik awal dan akhir kehidupan yang dirahasiakan Tuhan itu membuat Bathara Guru tak sungkan-sungkan bertanya pada Narada. Sebagai dewa yang lebih tua usianya, Narada pun hanya memberikan jawaban yang membuat Guru kecewa. "Wrekencong, wrekencong waru dhoyong. Kinclong-kinclong, sindhen ayu moblong-moblong. Kali Srayu kali Code, bocah ayu sapa sing duwe. He..., he..., he.... Mohon seribu ampun, Adi Guru. Bukankah yang mengetahui tentang kapan dimulainya dan kapan diakhirinya kehidupan ini hanyalah Gusti Kang Hamurbeng Dumadi? Dialah Sang Maha Dalang yang tengah menggerakan seluruh wayang pilihan di dalam lakon Bharatayuda ini."

Sementara dari tepi padang Kurusetra, Bisma yang rebah tertopang ribuan panah yang menembus sekujur tubuhnya itu hanya tersenyum. Manakala kedua matanya menyaksikan Bathara Guru yang tampak kecewa di ara-ara mega atas jawaban Narada. Senyum Bisma semakin lepas, manakala Guru yang tak puas dengan jawaban Narada itu disarankan para dewa untuk bertanya pada dirinya. Seorang pertapa yang pengetahuannya melampaui para dewa.

"Tak mungkin aku bertanya pada Bisma." Bathara Guru yang ilmu pengetahuannya masih dangkal itu kemudian menunjukkan kekuasaan, kegengsian, dan kejaimannya. "Aku ini seorang dewa. Masak bertanya pada Bisma yang hanya titah sawantah. Bagaimana kata dunia nanti?"

"Ampun, Adi Guru." Dewa kerdil Narada kembali berceloteh. "Kalau malu bertanya pada Bisma, sebaiknya Adi Guru bertanya pada Kakang Semar. Sekalipun secara lahir sebagai manusia biasa, namun batin Kakang Semar adalah dewa."

Mendengar nama Semar disebut-sebut Narada, Bathara Guru yang beberapa puluh tahun silam pernah menjadi saingan politisnya dalam memperebutkan takhta kekuasaan Suralaya itu hanya menundukkan wajahnya ke bumi. Menyaksikan perang antara pasukan Korawa dan pasukan Pandawa yang kembali berkecamuk di Kurusetra. Di bawah komando Resi Dorna, pasukan Korawa tampak lebih unggul dari pasukan Pandawa. Bidikan panah Dorna mampu mematahkan busur Yudistira.

Yudistira geragapan dengan wajah pucat, manakala menyaksikan busurnya patah. Mengetahui busur Yudistira patah, pasukan Korawa yang mendapatkan dukungan seribu negara serempak bersorak galak. Sementara pasukan Pandawa yang mendapatkan dukungan Wirata, Dwarawati, Cempalareja, Pringgodani, Tanjunganom, dan beberapa negeri kecil lainnya hanya terdiam sembari menyembunyikan wajah yang menyiratkan rasa malu. Demikian pula Arjuna yang tanpa diketahui Yudistira kemudian membidikkan sebatang panah dengan busurnya. Sekali melesat, panah itu berubah menjadi ribuan panah. Sontak Kurusetra bagai hujan panah. Manakala ribuan panah Arjuna mendapatkan sambutan ribuan panah dari pasukan Korawa.

Dalam hati Bathara Guru tak senang kalau Arjuna kembali jaya di medan laga, seusai kemarin siang melumpuhkan Bisma dengan bertudung Srikandi. Kejayaan Arjuna hanya mengundang seluruh bidadari Suralaya untuk memberikan pujian dan salam 'muah' dari setangkup bibir sensual, sembari menaburkan bunga-bunga kemenangan dari langit. Bidadari-bidadari itu tak hanya Warsiki, Irimirin, Tunjungbiru, Wilutama, Gagarmayang, Lenglengmulat, dan Supraba; namun pula Uma permaisurinya. Itulah yang membuat Guru amat cemburu pada Arjuna!

"He..., he..., he.... Wrekencong, wrekencong, waru dhoyong. Bocah cilik jaluk gendhong? Lira-lire, Kali Code buthek banyune." Narada yang mengetahui kalau wajah Bathara Guru menunjukkan ketaksukaannya pada Arjuna sontak unjuk bicara. "Adi Guru! Tampaknya Adi Guru tak suka dengan Arjuna? Aku tahu. Kalau Adi Guru cemburu dengan Arjuna. Bukankah begitu?"

Bathara Guru menggeleng. Namun dadanya terasa terbakar saat teringat Arjuna. Putera Pandu berparas Kamajaya yang telah menyelingkuhi Uma. Permaisurinya yang semula berwujud raksasa hingga berubah menjadi bidadari, seusai diruwat Sadewa pada tujuh hari sebelum Bharatayuda.

"Jangan mengelak, Adhi Guru! Akui saja, bila Adhi cemburu pada Arjuna! Sesungguhnya Adhi menghendaki Arjuna gugur dalam Bharatayuda. Namun kehendak Adhi yang dituliskan dalam Kitab Jitabsara itu ditolak oleh Eyang Pada Wenang. Eyang menghendaki Arjuna selalu jaya dalam Bharatayuda."

"Sudahlah, Kakang! Bukan waktunya kita membahas panjang-lebar tentang Arjuna." Bathara Guru mengalihkan topik pembicaraan. "Hari ini siapa senapati yang akan tewas atau jaya dalam Bharatayuda, Kakang?"

"He..., he..., he.... Kenapa Adhi Guru melontarkan pertanyaan naf padaku? Seharusnya Adhi sudah tahu. Bukankah yang mengarang Kitab Jitabsara adalah Adhi sendiri dengan mendapatkan koreksi dari Eyang Pada Wenang? Bukankah aku tak dilibatkan dalam proyek itu."

"Sebagai pengarang Kitab Jitabsara, aku sendiri sudah lupa, Kakang. Tak mungkin kan, bila aku bertanya pada Kresna?"

"Kalau hanya ingin tahu siapa senapati yang akan mati atau jaya di Kurusetra hari ini, tanya saja pada Penyarikan. Bukankah Penyarikan yang menyimpan salinan Kitab Jitabsara?"

"Oh iya, Kakang. Aku ingat, kalau aku punya salinan Kitab Jitabsara." Bathara Guru membuang pandangannya ke arah Penyarikan. Dewa berwajah mbranyak yang ditugaskan sebagai sekretaris pribadinya di Suralaya. "Penyarikan! Tolong ambilkan, salinan Kitab Jitabsara! Aku ingin membukanya kembali."

Penyarikan bergegas beranjak dari tempat itu. Terbang menuju istana Suralaya. Memasuki ruangan arsip yang bersebelahan dengan ruang kerja Bathara Guru. Sesudah mendapatkan salinan Kitab Jitabsara, Penyarikan kembali menghadap Guru yang masih berbincang dengan Narada di ara-ara mega. "Ayahnda Manikmaya, salinan Jitabsara telah aku bawa."

"Bagus. Buka Bab Sebelas! Siapa Senapati yang harus mati hari ini? Siapa Senapati yang harus jaya pada hari ini?"

Penyarikan membuka salinan Kitab Jitabsara Bab Sebelas dengan jari tengah tangan kanannya yang dibasahi dengan ludah. "Tak ada senapati dari kedua kubu yang mati atau jaya hari ini, Ayahnda Manikmaya. Hanya prajurit-prajurit rucah yang akan menjadi tumbal perang. Hanya prajurit-prajurit rucah yang akan menjadi stockpangan bagi sekawanan gagak liar dan segerombolan serigala lapar."

"Hanya prajurit-prajurit rucah?" Wajah Bathara Guru tampak semuram langit berawan di musim hujan. Seusai mendesah, Bathara Guru melanjutkan perkataannya. "Kapan Abimanyu mati di medan laga, Penyarikan?"

"Maaf, Adhi Guru!" Narada menyela pembicaraan. "Hendaklah Adhi Guru tak menanyakan hal itu pada Penyarikan! Ingat rahasia Kitab Jitabsara hanya Adhi Guru, Eyang Pada Wenang, Penyarikan, dan Kresna. Bila Penyarikan melontarkan jawaban atas pertanyaan Adhi Guru, Bisma yang terus memperhatikan pembicaraan kita di bawah sana akan turut mengetahui rahasia isi Kitab Jitabsara"

"Benar apa yang dikatakan Wa Narada." Penyarikan nimbrung dalam pembicaraan. "Sebaiknya salinan Kitab Jitabsara Ananda serahkan pada Ayahnda Manikmaya. Ayahnda akan dapat membacanya sendiri. Tanpa orang lain ikut mengetahui isinya."

Bermuka masam, Bathara Guru menerima salinan Kitab Jitabsara. Tanpa membuka salinan Kitab Jitabsara; Bathara Guru meninggalkan Narada, Penyarikan, dan beberapa dewa lain -- Bayu, Indra, Kanwa, Brama, Basuki, Yamadipati, Kuwera, dan Sambu. Karena senja mengisyarakan pada pasukan Korawa dan Pandawa untuk menghentikan Bharatayuda, Narada beserta dewa-dewa lain bergegas meninggalkan ara-ara mega. Pulang ke tempat singgahnya masing-masing. [Bersambung]

- Sri Wintala Achmad -

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Dongeng Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun