Jantungku serasa kehilangan detak, ketika si cadar hitam menyingkap jati dirinya. Dialah Kakang Pranacitra yang seperkasa Rama Wijaya. Sesudah membebaskan Shinta dari cengkeraman Rahwana.
Tanganku merentang di hadapan Kakang Pranacitra yang akan mendekapku tuk menumpahkan rindu. Namun sebelum menyentuh tubuhku yang terbuka, warastra
melesat menancap di punggung hingga tembus dadanya.
Darahku mendidih di depan Wiraguna. "Hutang nyawa disahur nyawa. Sebagai anak laut yang dinikahi matahari, aku akan membela cinta sampai mati."
"Redamlah api amarahmu, Mendut!" Wiraguna berlagak arif di balik kerdil jiwanya."Lebih baik pulanglah ke puri katumenggungan. Melengkapi bunga-bunga di jambangan!"
Mendengar rayu Wiraguna, kian jijik aku melihatnya. Karenanya serupa Srikandi yang muak pada wajah Dorna, aku terjang sang manggalayuda dengan warastraberdarah yang aku cabut dari jasad Kakang Pranacitra.
Serupa kera sakti, Wiraguna berkelit ke kanan ke kiri. Menghindari warastra sambil sesekali mencolek pantatku. Lantaran bertarung sambil memanjakan hasrat asmara, ujung panahku sempat mencolek jidat sang manggalayuda.
Berang bukan kepalang, Wiraguna serupa banteng terluka. Menyerang hingga menerkamku dengan keris ligan. Manakala matahari berwajah muram di pusar langit, aku terkapar di tanah dengan lambung menyemburkan darah
/20/
Ambang ajal, aku tangkap bayang-bayang sepasang merpati. Terbang ke puncak awang disambut seribu satu bidadari yang menaburkan melati sambil melafalkan pujian, "Damailah cinta yang disempurnakan oleh kematian!"
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H