Mohon tunggu...
Sri Wintala Achmad
Sri Wintala Achmad Mohon Tunggu... Penulis - Biografi Sri Wintala Achmad

SRI WINTALA ACHMAD menulis puisi, cerpen, novel, filsafat dan budaya Jawa, serta sejarah. Karya-karya sastranya dimuat di media masa lokal, nasional, Malaysia, dan Australia; serta diterbitkan dalam berbagai antologi di tingkat daerah dan nasional. Nama kesastrawannya dicatat dalam "Buku Pintar Sastra Indonesia", susunan Pamusuk Eneste (Penerbit Kompas, 2001) dan "Apa dan Siapa Penyair Indonesia" (Yayasan Hari Puisi Indonesia, 2017). Profil kesastrawanannya dicatat dalam buku: Ngelmu Iku Kelakone Kanthi Laku (Balai Bahasa Yogyakarta, 2016); Jajah Desa Milang Kori (Balai Bahasa Yogyakarta, 2017); Menepis Sunyi Menyibak Batas (Balai Bahasa Jawa Tengah, 2018). Sebagai koordinator divisi sastra, Dewan Kesenian Cilacap periode 2017-2019.

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

Elegi Gadis Desa Teluk Cikal

3 Maret 2018   22:40 Diperbarui: 3 Maret 2018   22:53 1758
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
http://ceritarakyatnusantara.com

Jantungku serasa kehilangan detak, ketika si cadar hitam menyingkap jati dirinya. Dialah Kakang Pranacitra yang seperkasa Rama Wijaya. Sesudah membebaskan Shinta dari cengkeraman Rahwana.

Tanganku merentang di hadapan Kakang Pranacitra yang akan mendekapku tuk menumpahkan rindu. Namun sebelum menyentuh tubuhku yang terbuka, warastra

melesat menancap di punggung hingga tembus dadanya.

Darahku mendidih di depan Wiraguna. "Hutang nyawa disahur nyawa. Sebagai anak laut yang dinikahi matahari, aku akan membela cinta sampai mati."

"Redamlah api amarahmu, Mendut!" Wiraguna berlagak arif di balik kerdil jiwanya."Lebih baik pulanglah ke puri katumenggungan. Melengkapi bunga-bunga di jambangan!"

Mendengar rayu Wiraguna, kian jijik aku melihatnya. Karenanya serupa Srikandi yang muak pada wajah Dorna, aku terjang sang manggalayuda dengan warastraberdarah yang aku cabut dari jasad Kakang Pranacitra.

Serupa kera sakti, Wiraguna berkelit ke kanan ke kiri. Menghindari warastra sambil sesekali mencolek pantatku. Lantaran bertarung sambil memanjakan hasrat asmara, ujung panahku sempat mencolek jidat sang manggalayuda.

Berang bukan kepalang, Wiraguna serupa banteng terluka. Menyerang hingga menerkamku dengan keris ligan. Manakala matahari berwajah muram di pusar langit, aku terkapar di tanah dengan lambung menyemburkan darah

/20/

Ambang ajal, aku tangkap bayang-bayang sepasang merpati. Terbang ke puncak awang disambut seribu satu bidadari yang menaburkan melati sambil melafalkan pujian, "Damailah cinta yang disempurnakan oleh kematian!"

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun