/12/
Betapa girang Nyai Ageng, Arimbi, dan Sengsemwulan; manakala mendengar sumpahku di hadapan Wiraguna. "Lebih baik lampus bila terjamah si bandot tua!"
Betapa riang aku menerima kebijakan Wiraguna. "Mendut! Menolak kehendak asmaraku, tak soal. Asal kau serahkan pajak harian padaku tiga real."
Betapa hidup jiwa kancilku di jebakan mulut buaya untuk membuka kisah baru sebagai penjual rokok lintingan. Tak perduli orang-orang mengecapku si lacur murahan.
/13/
Di ruang belakang puri katumenggungan dekat gedhogan yang sempit, pengap, lembab, senyap, dan berdebu. Aku dipisahkan dari istri utama dan selir-selir Wiraguna.
Hanya Arumardi, putri dari lereng Gunung Merapi yang melapangkan dadaku seluas bentang angkasa. Menghangatkan jiwaku dari belenggu musim dingin. Menopangku seperti tongkat, menunjukkan jalan seperti cahaya.
Bersama Arumardi, aku menjalani pekerjaan baru sebagai penjual rokok lintingan di pasar dekat kotapraja. Rokok kenikmatan bagi setiap lelaki kesepian.
/14/
Fajar membentangkan layar jingga kemerahan lebar-lebar dengan matahari serupa spotlightyang memendarkan cahaya. Isyarat kehidupan baru kembali untuk dimaknai dengan peluh dan terkadang air mata.
Di Pasar Gede dekat kotapraja Mataram telah seriuh-gaduh rumah lebah selepas subuh. Di mana penjual dan pembeli saling tawar untuk menggapai kesepakatan harga terendah.