ISTILAH "kurator" sangat populer di lingkup seni rupa. Menguak maknanya, istilah "kurator" yang berasal dari bahasa Yunani Kuna tersebut memiliki pengertian merawat, menyembuhkan (cure), atau peduli (care). Pengertian tersebut selaras dengan The Consice Oxford Thesaurus (1995) yang memaknai istilah "kurator" dengan "menangani pekerjaan yang berhubungan memelihara, memerhatikan, menjaga, membenahi, dan menyuguhkan kembali sesuatu artefak/obyek".
Bila merujuk pada naskah lepas Kurasi, Kurator, dan Kuratorial karya Ansar Salihin, "kurator" dimaknai dengan mengurasi (memelihara, menjaga, serta mengawasi) kegiatan pameran seni rupa mulai dari persiapan, pelaksanaan, pemasaran sampai selesai. Kurator dalam seni rupa memiliki peran yang sama dengan sutradara dalam pertunjukan teater, produksi film atau sinetron.
Pada umumnya, kurator di Indonesia memiliki tugas dan tanggung jawab, sebagai berikut: pertama, mengamati dan menganalisa perkembangan seni rupa Indonesia dan Internasional. Kedua, memertimbangkan dan menyeleksi karya dan kegiatan pameran. Ketiga, membantu memertimbangkan tata pameran tetap, sistem pendokumentasian dan kebijakan pengelolaan koleksi. Keempat, Melakukan kerjasama, bimbingan, edukasi, dan apresiasi seni rupa melalui kegiatan galeri.
Di lingkup kehidupan seni rupa Indonesia, terdapat beberapa kurator seni rupa andal dan berpengalaman, salah satunya Suwarno Wisetrotomo. Seorang kurator kelahiran Kulonprogo yang memiliki segudang pengalaman kurasi dalam berbagai event pameran seni rupa, antara lain: Festival Kesenian Yogyakarta, 1992, 1993; Biennale Yogyakarta V di Taman Budaya Yogyakarta, 1995; Tiga Kota (Jakarta, Yogyakarta, Bali) di Monumen Nasional Jakarta, 1996; Passion: Etno-Identity -- The Development of The Indonesian Fine Arts Last Decadedi Capital Library Museum, Beijing, dan Liu Haisu Museum, Shanghai, Cina, 2003; Say It With Apple (pameran tunggal Deddy Paw) di Art Seasons, Singapore, April 2009; dan lainnya.
Semasih duduk di bangku Sekolah Seni Rupa Indonesia (sekarang: Sekolah Menengah Seni Rupa) di Yogyakarta (1979-1982), Suwarno sering menulis karya sastra, semisal puisi dan cerpen. Aktivitas kreatifnya itu merefleksikan masa keremajaannya di mana karya sastra (terutama, puisi) ditempatkan sebagai medium ekspresi yang keren.Â
Aktivitas kreatif itu pula dipengaruhi denganadanya pertemuan dan interaksinya dengan ketiga penyair besar Persada Studi Klup (PSK) Yogyakarta, yakni: Suwarno Pragolapati (pendiri PSK dan SYS), Linus Suryadi AG, dan Emha Ainun Nadjib. Kepada mereka, Suwarno selalu nguping percakapan dan diam-diam belajar.
Sungguhpun suka mencipta puisi dan memublikasikannya ke media massa di Yogyakarta, namun Suwarno tidak ingin menyandang gelar penyair yang terlalu mewah baginya. Cita-cita yang ingin diraihnya sejak belajar di SSRI hingga menjadi sarjana S1 STSRI (ASRI) Yogyakarta yakni ingin menjadi pelukis hebat, terkenal, dan sekaligus bisa menulis bagus.Â
Karenanya wajar, kalau ia mengidolakan beberapa pelukis hebat, semisal: Affandi yang senantiasa melukis tema keseharian, ekspresif, dan otentik; Vincent van Gogh yang lukisan-lukisannya memvisualkan garis-garis penuh, warna-warna berat, dan kehidupan tragis; serta S. Sudjojono dengan karya-karya berkarakter dan memiliki kemampuan besar dalam menulis.
Profesi Suwarno sebagai penulis (kurator) seni rupa di Indonesia tidak dapat dilepaskan dengan ketiga orang yang memiliki pengaruh besar kepadanya. Orang pertama, Butet Kertaradjasa. Menurut penuturannya, Butet merupakan teman sekolahnya sejak SSRI hingga STSRI Yogyakarta. Sejak SSRI, Butet sudah banyak menulis esai, features, dan seni rupa.
Setiap kali tulisannya dimuat di koran, Butet selalu mengumumkan di depan teman-temannya, termasuk di depan Suwarno. Sebagai kawan sekelasnya, Suwarno merasa cemburu kepada Butet. Dalam hati, ia berkata, "Aku juga bisa."
Orang ketiga yang memberikan pengaruh besar kepada Suwarno adalah Siswanto HS. Menurutnya, Siswanto yang sering dipanggilnya dengan "Pak Sis" itu tertarik mengoleksi seni lukis pada awal tahun 1990-an. Pak Sis selalu mengajaknya berdiskusi sebelum memutuskan karya mana untuk dikoleksi. Akhirnya, Pak Sis banyak mengoleksi karya-karya para perupa muda, termasuk lukisan Berburu Celeng karya Djoko Pekik. Tidak hanya mengoleksi, Pak Sis pula menyeponsori sejumlah pelukis untuk menggelar pameran tunggal.
Dalam perkembangannya, Suwarno dipercaya Pak Sis untuk menulis atau menguratori di berbagai pameran seni rupa. Dengan demikian, ia mendapatkan banyak kesempatan untuk mengasah keterampilannya dalam menulis serta ketajamannya dalam menilai karya seni rupa. Sehingga melalui harian Kedaulatan Rakyat, Berita Nasional(Bernas), Masa Kini, Minggu Pagi, Kompas, Sinar Harapan, Merdeka, Jawa Pos, dan sejumlah majalah terkemuka di Indonesia; ia rajin memublikasikan tulisan-tulisan seni rupanya.
Sesudah tulisan-tulisan seni rupanya dimuat di berbagai media massa, Suwarno semakin terpikat untuk menekuni profesinya sebagai kurator. Terlebih ketika bidang kurasi seni rupa menjadi pergulatan wacana, mengasah ketajaman rasa dan mata, serta tidak ada makna yang absolut.Â
Setiap orang memiliki kemerdekaan untuk memaknai sesuai kekayaan referensi, pengalaman, dan intelektualitasnya. Dengan demikian yang terpenting dalam setiap pendapat adalah argumentasi. Menilai baik atau buruk sama pentingnya, sejauh bertumpu pada argumentasi yang bisa dipertanggungjawabkan.
Ketertarikan Suwarno terhadap profesinya sebagai kurator, karena kerja kurasi merupakan kerja dari hulu hingga hilir yang berujung pada presentasi karya dan berinti sebagai produk pengetahuan. Aspek inilah yang menarik. Sementara aspek yang tidak (kurang) menarik, ketika ia berhadapan dengan perupa yang tidak menghargai proses dan waktu. Tidak memiliki kesadaran krisis waktu, sehingga mudah melanggar tenggang waktu.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H