DI MASA silam, lelagon Gundhul-Gundhul Pacul selalu dinyanyikan oleh anak-anak saat berkumpul di halaman. Saat lelagon itu dilantunkan, ada seorang atau dua bocah lelaki melangkahkan kaki sambil menari di halaman dengan kepala dan kedua tapak tangan di samping telinga yang bergerak-gerak.
Selain itu, lelagonGundhul-Gundhul Pacul juga sering dilantunkan oleh seseorang anak untuk mengejek anak lain yang habis dipotong gundul. Meskipun pengertian gundhul pacul adalah potongan berkuncung. Potongan yang masih menyisakan rambut di bagian muka berbentuk cangkul.
Adapun lelagonGundhul-Gundhul Pacul yang menyiratkan nilai-nilai kearifan orang Jawa tersebut tertulis sebagai berikut: //Gundhul-gundhul pacul-cul/Gembelengan/Nyunggi-nyunggi wakul-kul/gembelengan/Wakul glimpang/Segane dadi salatar/Wakul glimpang/Segane dadi salatar//[7]
Lelagon Gundhul-Gundhul Paculyang diungkapkan secara simbolik tersebut mengimplikasikan tentang pesan moral agar manusia tidak menjadi takabur. Karena ketakaburan dapat menjadikan seseorang tidak akan pernah mensyukuri terhadap apa yang menjadi harta-bendanya. Sehingga harta-bendanya bagaikan nasi yang tumpah di halaman. Tidak memiliki makna bagi kemaslahatan.
Menthok-Menthok
SEBAGAIMANA lelagonGundhul-Gundhul Pacul, lelagon Menthok-Mentok pula sering dilantunkan oleh anak-anak masa silam dengan disertai tarian di halaman. Syair dari lelagon Menthok-Menthok yang terkadang menimbulkan gelak tawa bagi pendengarnya itu tertulis sebagai berikut: //Menthok-menthok, tak kandhani/Mung rupamu angisin-isini/Mbok ya aja ngetok/Ana kandhang wae/Enak-enak ngorok/Ora nyambut gawe/Menthok-menthok mung lakumu/Megal-megol gawe guyu//.[8]
Lelagon Menthok-Menthok sesungguhnya menyiratkan pesan moral yang sangat luar biasa. Sekalipun memiliki wajah buruk dan jalan yang membuat ketawa, namun menthok tetap menunaikan tugasnya sebagai makhluk hidup. Bekerja dan tidak hanya mendengkur di dalam kandang. Bila kita ingin menjadi manusia sejati, teladani kehidupan menthok. Jangan menjadikan kekurangan fisik sebagai penghalang untuk mendapatkan hidup dengan bekerja keras. [Sri Wintala Achmad, pemerhati budaya Jawa]
Catatan Kaki: