Ajaran Kaki Semar
SEBELUM memasuki kompleks ziarah Gunung Srandil, para peziarah biasanya memasuki Padepokan Agung Mandalagiri yang dibangun oleh Paguyuban Cahya Bawana. Di padepokan itulah, para peziarah yang merupakan putra-wayah Kaki Semar berkumpul pada setiap malam Jum'at Kliwon. Tidak ada tujuan yang akan mereka capai, selain menyimak wewarahluhung (ajaran-ajaran luhur) dari Kaki Semar.
Selain ajaran-ajaran luhur yang dapat dicerap oleh putra wayah, sesungguhnya terdapat tiga ajaran utama di balik simbol Kaki Semar. Pertama, Semar yang menjadi pamomong Pandhawa itu memiliki makna simbolis sebagai manusia yang telah mampu mengendalikan panca inderanya.Â
Dengan mengendalikan panca inderanya, manusia tidak akan mudah terpikat dengan kemilaunya dunia hingga terperosok ke jurang kesengsaraan.
Kedua, Semar yang bernama lain Badranaya (Nayantaka) itu memiliki makna simbolis sebagai manusia yang telah mampu mengendalikan empat nafsunya, yakni: amarah, aluamah, supiyah, dan mutmainah.Â
Dengan mengendalikan seluruh nafsunya itu, manusia niscaya berhasil menjalani hidup sebagaimana yang diwejangkan Ranggawarsita melalui Serat Kalatidha-nya. Di dalam hidup, manusia hendaklah selalu elinglanwaspada.
Ketiga, Semar merupakan simbolisasi seorang kawulaalit. Manusia yang selalu bersikap rendah hati; bersifat jujur, sabar, dan penuh kasih pada sesama, serta berpenampilan sederhana.Â
Dengan kepribadiannya itu, manusia akan menjadi kawula ajiwa bathara. Manusia yang akan pro aktif turut hamemayu hayuning bawana. Menjaga alam semesta dari kehancuran yang diakibatkan oleh kerakusan manusia.
Seusai menyimak tiga ajaran simbolik dari Kaki Semar, para peziarah akan semakin paham bahwa Gunung Srandil bukan tempat untuk mencari pesugihan atau sekadar berwisata, melainkan sebagai padepokan alam. Tempat para peziarah untuk dapat memperoleh pengetahuan yang bersumber dari ajaran Jawa. Pengetahuan yang dapat memberikan pencerakan jiwa. [Sri Wintala Achmat, pemerhati budaya Jawa]