Ruangan akbar itu sesak penuh.
Dibanjiri lebih dari separuh anggota partai. Tampang-tampang marah, mangkel, sedih, jengkel bercampur aduk jadi satu. Dibarengi Muklas, aku melangkah menuju tengah ruangan, yang sudah disiapkan podium tinggi dengan pengeras suara.
Seketika seruan-seruan semangat terdengar di langit-langit ruangan, meneriakkan nama Toha berkali-kali. Beberapa dari mereka merangsek, berusaha menyalamiku. "Kau datang, Azki. Kau ternyata datang." Aku tersenyum. Tentu saja aku datang.
Satu-dua berusaha memelukku, berseru histeris. "Kami tercerai berai, Az. Semua kehilangan pegangan. Kau bicaralah. Serukan apa pun yang harus diserukan, satukan lagi kami semua." Aku mengangguk, tentu saja itu akan kulakukan.
Aku menaiki podium tinggi bersama Muklas, tanpa kursi, lupa disiapkan, darurat. Semua orang berdiri, mengelilingi podium, menatapku. Teriakan-teriakan berhenti, bahkan satu potong kalimat pun lenyap dari ruangan akbar saat Muklas mengangkat tangan, meminta perhatian. Muklas kemudian berbisik, menyerahkan semua urusan kepadaku.
Aku menepuk bahu Muklas, menatapnya penuh penghargaan, lantas mengambil posisi di depan speaker, melihat ke seluruh ruangan. Ribuan anggota partai itu ada di sini, bersiap mendengarkanku.
"Hadirin!" Aku berkata mantap--meski suaraku bergetar oleh emosi.
Diam sejenak, menatap sekeliling lagi, memberikan momen menanti.
"Hadirin! Bertahun-tahun lamanya aku mempunyai pertanyaan besar yang sampai hari ini tidak pernah kutemui jawabannya.
"Bertahun-tahun aku menghabiskan waktu di bangku sekolah, membaca buku-buku politik, menelaah jurnal akademis perihal demokrasi, menemui guru-guru hebat, politikus senior, menemui orang-orang bijak, tapi jawaban atas pertanyaan itu tidak pernah kunjung kutemukan.Â
Tak satu pun yang sanggup menaklukkan hasrat ingin tahuku. Apa pertanyaan besar itu? Yang harus kuderita selama ini? Sederhana saja: Siapa sebenarnya yang memiliki sebuah partai politik?
"Tidak. Jangan memotong kalimatku dengan jawaban, hadirin sekalian. Tidak perlu, jangan sekarang." Aku menatap sekitar, menghentikan gumam refleks yang hendak diserukan orang-orang di sekitarku.
"Siapa yang sebenarnya memiliki sebuah partai politik? Karena tengoklah, bukankah ada banyak partai politik di negeri ini yang tidak ubahnya seperti kerajaan.Â
Tonggak pimpinannya adalah ratu, mewarisi kedudukan itu dari orangtuanya, dan orangtuanya mewariskan posisi itu ke anak-anaknya? Apa kata ratu, semua orang harus dengar, tunduk, sami'na. Cakap kentut semua kongres, rapat, musyawarah, dan sebagainya.Â
Omong kosong. Ini membingungkan. Apakah partai itu sebuah kerajaan? Bukan lembaga paling demokratis di dunia demokrasi?
"Siapa yang sebenarnya memiliki sebuah partai politik? Karena tengoklah, bukankah ada banyak partai politik di negeri ini yang tak ubahnya seperti perusahaan? Manajemen eksekutifnya adalah presiden direktur.Â
Dia memenangi kompetisi pemilihan ketua partai dengan investasi, meyumpal seluruh mulut pemilik suara, seluruh partai kemudian menjadi milik pribadinya. Apa sabda presiden direktur, semua harus patuh. Siapa membantah, tak sejalan, langsung pecat. Di mana letak demokrasinya?
"Siapa yang sebenarnya memiliki sebuah partai politik, hadirin sekalian? Siapa? Bukankah banyak partai yang dikuasai elitenya saja. Apa kata elite, semua harus manut. Jika elite pimpinan bilang "yes", semua anggota tidak boleh "no". Jika menolak, tak sependapat, ditendang dari kepengurusan.Â
aya sungguh bingung dengan pertanyaan ini, karena realitasnya, sebaliknya, siapa yang paling bekerja paling besar untuk kemajuan partai? Apakah mereka? Ratu? Presiden direktur? Elite partai?
"Cakap kentut. Yang bekerja paling giat, yang berkeringat memasang baliho, spanduk, poster, membagikan selebaran, berjemur panas-panasan, kehujanan, siapa? Kita semua, kader paling hina dan rendah di mata mereka.
 Tengoklah, mereka justru berada di gedung yang mewah, duduk di bawah tenda, menikmati suguhan lezat, mana peduli kalau kita susah payah menjaga agar spanduk partai tidak dilepas orang lain. Mana tahu mereka kalau kita berkali-kali membenahi posisi baliho yang dirusak orang lain.
"Bukankah kita semua, kader paling nista, yang berjuang keras siang-malam untuk partai. Kita sumbangkan uang untuk partai. Lantas siapa yang menikmatinya, hah? Siapa yang tertawa? Siapa?"
Aku menatap sekitar dengan tatapan "menantang".
"Maka hadirin sekalian, saya akan bertanya, dan silakan kalian jawab kali ini. Bila perlu teriakkan sekecang mungkin. Agar aku mengerti, agar aku paham, dan akhirnya memperoleh jawaban yang memuaskan hati atas pertanyaan besar yang tak kunjung kuperoleh jawabannya. Hadirin! Siapa yang memiliki partai politik?"
"Kami!" Ribuan suara berteriak menjawab pertanyaanku.
"Siapa yang memiliki partai ini?" Aku bertanya sekali lagi, balas berteriak.
"Kamiii!!!"
"Siapaaa?" Aku meraung sekencang mungkin, memanggil seluruh energi mereka.
"Kamiii!!!" Langit-langit ruangan akbar itu laksana hendak runtuh.
Itu jawaban menggertarkan. Pesan mematikan.
"Maka hadirin sekalian, rapatkan barisan kalian. Mari kita bersumpah satu sama lain untuk tetap setia. Kita semua pemilik partai ini, kitalah pemilik suaranya, maka kita sendiri yang akan menentukan nasib partai ini, bukan mereka."
Aku menyapu wajah seluruh pertemuan. Beberapa orang terlihat menyeka pipi, terharu.
Aku turun dari podium.
Muklas menyeka ujung matanya yang berkaca-kaca, memelukku. "Kau pahlawan, Az. Sepuluh tahun lagi, saat giliranmu tiba, kami semua akan berdiri tegak di belakangmu, diminta ataupun tidak.
Aku mengabaikan kalimat terakhir Muklas, tersenyum, menepuk bahu Muklas.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H