"Bukankah kita semua, kader paling nista, yang berjuang keras siang-malam untuk partai. Kita sumbangkan uang untuk partai. Lantas siapa yang menikmatinya, hah? Siapa yang tertawa? Siapa?"
Aku menatap sekitar dengan tatapan "menantang".
"Maka hadirin sekalian, saya akan bertanya, dan silakan kalian jawab kali ini. Bila perlu teriakkan sekecang mungkin. Agar aku mengerti, agar aku paham, dan akhirnya memperoleh jawaban yang memuaskan hati atas pertanyaan besar yang tak kunjung kuperoleh jawabannya. Hadirin! Siapa yang memiliki partai politik?"
"Kami!" Ribuan suara berteriak menjawab pertanyaanku.
"Siapa yang memiliki partai ini?" Aku bertanya sekali lagi, balas berteriak.
"Kamiii!!!"
"Siapaaa?" Aku meraung sekencang mungkin, memanggil seluruh energi mereka.
"Kamiii!!!" Langit-langit ruangan akbar itu laksana hendak runtuh.
Itu jawaban menggertarkan. Pesan mematikan.
"Maka hadirin sekalian, rapatkan barisan kalian. Mari kita bersumpah satu sama lain untuk tetap setia. Kita semua pemilik partai ini, kitalah pemilik suaranya, maka kita sendiri yang akan menentukan nasib partai ini, bukan mereka."
Aku menyapu wajah seluruh pertemuan. Beberapa orang terlihat menyeka pipi, terharu.