A. Latar Belakang Kehidupan
Soetan Sjahrir (Sutan Syahrir), salah satu tokoh penting dalam perjuangan kemerdekaan bangsa Indonesia dari masa penjajahan dan pendudukan kolonial. Lahir pada hari Jumat 5 Maret 1909, beberapa bulan setelah kongres pertama Budi Oetomo di Yogyakarta. Lahir di Padang Panjang, Sumatera Barat. Ayah bernama Mohammad Rasad dengan gelar Maharaja Soetan bin Leman dan gelar Soetan Palindih dari Koto Gadang—Salah satu dari 11 Nagari (setingkat Kelurahan atau Desa di Sumatera Barat) yang ada di Kecamatan IV Koto dan sekaligus Nagari yang sama dengan lahirnya tokoh-tokoh besar lain seperti K.H. Agus Salim, Jenderal Rais Abin, dan Rohana Kudus—, Agam, Sumatera Barat dan Puti Siti Rabiah yang berasal dari Negeri Natal, Mandailing Natal, Sumatera Utara. Ayah yang merupakan penasehat Sultan Deli dan kepala Jaksa di landraad Medan.
Sutan memiliki Saudara yang juga merupakan orang-orang yang memiliki pengaruh dan namanya dikenal, seperti saudara seayahnya, Rohana Kudus yang merupakan wartawati pertama yang menulis di surat kabar perempuan Poetri Hindia. Saudara sekandungnya Soetan Sjahsam yang merupakan makelar saham pribumi terkemuka dan Soetan Noeralamsjah yang aktif sebagai Jaksa di Partai Indonesia Raya.
Syahrir mengenyam pendidikan di ELS (Europeesche Lagere School) melanjutkan di MULO (Meer Uitgebreid Lager Onderwijs) dan Bersekolah menengah di AMS (Algemene Middelbare School). Hal ini membuat Syahrir telah berkenalan dengan bahasa Belanda sejak kecil dan menyentuh banyak literatur berbahasa Belanda termasuk ratusan novel berbahasa Belanda yang menjadi asal pemantik kecintaannya kedalam sastra dan seni. Semasa bersekolah di AMS ia bergabung dengan Batovis atau Himpunan Teater Mahasiswa Indonesia di Bandung, sebagai sutradara, Penulis skenario, dan juga aktor. Menurut Hanif Setiawan (2020) Penghasilannya dengan kawan-kawannya dalam Batovis digunakan untuk membuat Tjahja Volksuniversiteit (Cahaya Universitas Rakyat). Selama menempuh jenjang sekolah menengah, Syahrir tidak banyak menyibukkan dirinya dengan buku-buku pelajaran dan pekerjaan rumah, tetapi ia lebih aktif dalam klub debat dan aktif dalam Tjahja Volksuniversiteit untuk mengajarkan pendidikan gratis bagi anak-anak dari keluarga tak mampu. Aksi sosialnya perlahan mengajak Syahrir masuk kedalam dunia politik. Bersama sepuluh orang lainnya, Syahrir menggagas Himpunan Pemuda Nasionalis atau yang pada itu dikenal dengan nama Jong Indonesie pada 20 Februari 1927. Pernah menjabat sebagai pimpinan redaksi dari majalah Himpunan Pemuda Nasionalis.
Setelah menyelesaikan studinya di AMS pada tahun 1929, Syahrir melanjutkan pendidikan di Universitas Amsterdam, Belanda. Disanalah ia mulai mendalami bidang sosialisme secara sungguh-sungguh. Bertemu dan akrab dengan ketua klub Mahasiswa Sosial Demokrat, Salomon Tas dan istrinya Maria Duchateau yang kelak akan menjadi istri Syahrir walaupun tidak begitu lama. Selain terfokus dalam sosialisme, Syahrir juga aktif dalam Perhimpunan Mahasiswa (PI) yang dijalankan dan diketuai oleh Mohammad Hatta sebagai sekretaris pada tahun 1930 ketika telah ada pergantian ketua dari Hatta menuju penerusnya yaitu Abdullah Sukur.
B. Pemikiran Nasionalisme
Apakah seorang Bung Kecil suatu sebutan yang dimiliki oleh Sutan Sjahrir memiliki suatu pemikiran tersendiri terhadap Nasionalisme? Sutan Sjahrir seperti yang sudah dikatakan bahwa beliau merupakan salah satu pemuda di Hindia Belanda yang dapat bersekolah pada masa itu, yang dimana para bumiputera tidak semuanya dapat merasakan bangku sekolah. Terlahir dalam keluarga yang cukup berada membuat Bung Kecil tersebut memanfaatkan keadaan yang beliau miliki. Sutan Sjahrir mengemban pendidikan di Belanda untuk mengasah ilmu ilmu yang telah beliau pelajari sebelumnya, bertemannya beliau dengan partner Soekarno yakni Bung Hatta membuat Sutan Sjahrir memiliki pemikiran-pemikiran mengenai kehidupan bangsa dan lain sebagainya. Hal tersebut membuat Sutan Sjahrir mengembangkan pemikiran tentang Nasionalisme beliau.
Nasionalisme sendiri merupakan suatu paham tentang mendorong warga negara untuk mencintai dan bangga serta mendukung bangsa mereka. Dalam hal ini maka kepentingan berbangsa dan negara lebih diprioritaskan daripada kepentingan individu atau kelompok, yang dimana memang hal tersebut sangat dibutuhkan untuk membangun suatu negara. Hal ini yang ingin dikembangkan Sutan Sjahrir dalam pemikiran Nasionalisme beliau. Menurut 'Tempo Edisi Khusus' Sjahrir Kongres pemuda II diadakan di Jakarta pada tahun 1928, pada pertemuan tersebut Sutan Sjahrir menarik perhatian pemuda-pemuda lain dikarenakan beliau sendiri masih berumur 19 tahun pada saat itu, memang jika dibandingkan pemuda lain disana Bung kecil masih belum berkontribusi apa-apa untuk bangsa akan tetapi beliau mewakili Jong Indonesie diakui sangat cerdas dan ikut memperjuangkan berdirinya negara Indonesia.
Universitas Leiden di Belanda disaat seusai kongres pemuda II merupakan tujuan Sutan Sjahrir untuk melanjutkan pendidikannya. Ketika beliau berada di negeri tersebut beliau mempelajari tentang sosialis serta menjadi bagian dari Perhimpunan Indonesia sebagai anggota, yang dimana komunitas tersebut dipimpin oleh Mohammad Hatta. Tahun 1945 ketika adanya maklumat X pada 3 November yang mengatur pembentukan partai membuat Bung kecil mendirikan Partai Rakyat Sosialis. Dalam hal ini Sjahrir menekankan pemikiran bahwa sosialis harus menempuh sosialis kerakyatan yang demokratis dan politik luar negeri yang bebas aktif.
Demokrasi sendiri merupakan ideologi negara bangsa Indonesia, yang dimana disebutkan dalam buku “Baca Mengenang Sjahrir Seorang Negarawan dan Tokoh Pejuang Kemerdekaan yang Tersisih dan Terlupakan” bahwa Sutan Sjahrir tersebut merupakan jelmaan ide terhadap demokrasi itu sendiri. Demokrasi yang dimaksud ialah demokrasi yang menghormati dan menghargai kepribadian atau pemikiran sesama manusia sebagaimana sebaliknya. Hal ini juga berhubungan dengan apa yang sudah ditulis oleh Sutan Sjahrir dalam Perdjoangan Kita, yang dimana pada saat penerbitannya sangat menarik perhatian dan menggemparkan pada akhir Oktober tahun 1945. Sutan Sjahrir merupakan orang yang cinta demokrasi semua dituangkan terhadap karya nya tersebut, yang dimana karya tersebut bukan untuk membenci orang-orang yang bekerja sama dengan orang-orang Jepang, dan bukan juga untuk membuat agar Bung Kecil bisa menggeser posisi Bung Karno dalam kursi kepresidenan dan menguatkan jalan berpolitiknya. Namun, karya tersebut memang ditulis hanya untuk menggerakkan dan mendorong revolusi ke arah demokrasi dan melindunginya terhadap pihak sekutu.
Pemikiran nasionalisme seorang Bung Kecil memiliki suatu hal yang unik dibandingkan dengan pemimpin nasionalis lainnya seperti Bung Karno dan Bung Hatta. Namun, Sutan Sjahrir yang dilatar belakangi dengan kemampuan intelektualnya dan merupakan pejuang kemerdekaan Indonesia memiliki suatu pemikiran mengenai nasionalisme yang dimana lebih moderat dan sosialis. Dalam hal ini seperti yang sudah dijelaskan bahwa Sutan Sjahrir tidak setuju dengan pandangan nasionalisme yang terlalu sempit dan eksklusif. Kemudian nasionalisme yang di pandang oleh Sutan Sjahrir adalah suatu hal yang tidak hanya tentang kebanggan terhadap negara kelahiran, akan tetapi juga tentang membangun kerja sama hubungan dengan negara lain, dalam artian lain bahwa nasionalisme yang dilakukan oleh Sutan Sjahrir adalah nasionalisme yang berlandaskan pada solidaritas dan keadilan.
Bung Kecil sangat menentang hal yang dapat mengurangi kebebasan individu. Tentu saja Fasisme dan Otoritarianisme merupakan dua konsep bentuk pemerintahan yang ditentang oleh Sutan Sjahrir, yang dimana Fasisme mengedepankan suatu pandangan nasionalisme ekstem yang mengontrol total terhadap masyarakat oleh negara, serta Otoritarianisme yang merupakan sebuah sistem yang dimana pemerintahan di fokuskan terhadap kekuasaan politik pada satu orang maupun kelompok atau partai sehingga masyarakat memiliki sedikit kebebasan politik. Hal tersebut sangat bertolak belakang terhadap pemikiran seorang Sutan Sjahrir yang dimana beliau percaya akan perjuangan untuk kemerdekaan suatu bangsa harus demokratis dan melibatkan rakyat. Hal ini juga diungkapkan dalam buku Out Of Exil yang dimana merupakan kumpulan surat-surat kepada teman-teman Bung Kecil yang di Belanda, bahwa nasionalisme yang terlalu otoriter dapat menjadi boomerang dan dapat membahayakan bangsa serta menjauhkan perjuangan dari rakyat.
Seperti yang sudah dijelaskan bahwa Sutan Syahrir merupakan seorang sosialis yang dimana beliau percaya bahwa nasionalisme sendiri tidak hanya kepentingan politik, akan tetapi juga tentang mencapai sila ke-5 yaitu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Bung Kecil melihat sebuah kemerdekaan tidak hanya tentang mengusir penjajah saja. Namun kemerdekaan juga dapat dicapai sebagai sarana untuk memperbaiki kondisi masyarakat baik dalam segi sosial maupun ekonomi. Sutan Sjahrir memang memiliki pemikiran yang unik daripada tokoh lain yang cenderung menitik pusatkan terhadap semangat massa, Bung Kecil lebih menekankan terhadap pentingnya rasionalitas dan sebuah strategi politik yang terencana dalam perjuangan kemerdekaan Indoneisa. Hal tersebut juga dapat dilihat beliau lebih mengdepankan terhadap diplomasi dan pendekatan realistis dalam menghadapi kekuatan dunia setelah perang dunia II seperti berusaha menjalin hubungan diplomatik dengan negara-negara Barat untuk memperoleh dukungan Internasional bagi kemerdekaan bangsa. Maka dalam artian lain bahwa nasionalisme yang dipandang oleh Sutan Sjahrir merupakan yang mengutamakan keadilan sosial serta rasional dan realistis.
Dapat dikatakan bahwa Sutan Sjahrir dalam"Edisi Tempo Khusus’Sjahrir merupakan seorang tokoh pejuang pergerakan Indonesia yang memiiki pemikirian tentang nasionalisme yang melawan arus utama yang dimana dikemukakan oleh Bung Karno pada masa-masa itu. Bung karno sendiri mengatakan bahwa nasionalisme Indonesia berbeda dari nasionalisme dimanapun, hal tersebut dikarenakan nasionalisme Indonesia tidak timbul dari kesombongan belaka dan juga bukan yang bersifat menyerang-nyerang, karena nasionalisme bangsa kita adalah nasionalisme ketimuran. Namun, Bung Kecil mengatakan bahwa nasionalisme adalah proyeksi kejiwaan dari semangat rendah diri baik dalam sikap kolonial antara penjajah dan kaum terjajah. Hal ini sejalan dengan pemikiran Sutan Sjahrir yang percaya bahwa pendidikan merupakan suatu pilar penting bagi sebuah bangsa yang merdeka. Dalam buku Renungan dan Perjuangan, menurutnya rakyat yang terdidik akan lebih mampu dalam memahami hak-hak mereka dan dapat berpartisipasi aktif dalam proses demokrasi. Dengan ini Sutan Sjahrir memiliki pemikiran yang berpusat pada beberapa hal yakni nasionalisme humanis, perlawanan terhadap fasisme dan otoritarianisme, keadilan sosial bagi rakyat, dan pentingnya pendekatan yang rasional serta pendidikan bagi rakyat. Oleh karena itu, pemikiran nasionalisme Sutan Sjahrir perlu adanya visi jangka panjang untuk menciptakan masyarakat yang adil, demokratis, dan terdidik.
C. Riwayat Organisasi
Karir Sjahrir dalam bidang politik bermula setelah menyelesaikan bersekolah di Europese School dan Mulo yang berada di Medan, kemudian melanjutkan bersekolah di AMS (Algemeene Middelbare School) jurusan Westters Klassiek di Bandung. Sjahrir tiba di Bandung pada 1926 yang bertepatan adanya pemberontakan PKI di Pulau Jawa terhadap Pemerintah Hindia Belanda. Subadio Sastrosatomo mengatakan sebagai seorang pelajar Sjahrir telah menunjukkan sifat kritis dan mengutamakan pemahaman daripada sekedar mengahafalkan pelajaran. Sifat ini sangat menonjol dalam bidang sejarah dan bahasa latin. Kecerdasan yang dimiliki Sjahrir dan sikapnya yang pemberani menarik banyak khalayak untuk membangun maupun bergabung dala sebuah organisasi. Organisasi-organisasi yang di ikuti oleh Sutan Sjahrir antara lain:
- PSQ (Patriae Scientiaque)
PSQ merupakan study club yang ada di AMS, Sutan Sjahrir dan beberapa temannya berhimpun pada study club tersebut.
- Pemuda Indonesia
Selama bersekolah di AMS, Sutan Sjahrir juga aktif dalam organisasi “Jong Indonesia” pada tahun 1927 setahun setelah kedatangannya di Bandung. Pada kongres bulan Desember 1927, nama “Jong Indonesia” kemudian diubah menjadi “Pemuda Indonesia”. Kala itu Sutan Sjahrir yang menjadi pemimpin dari Pemuda Indonesia, ia sering aktif dalam aksi pemberantasan buta huruf. Dalam aksi pemberantasan buta huruf, Sutan Sjahrir ikut mendirikan Perguruan Nasional (Volk Universiteit) “Cahya” Bandung.
- Bantovis (Bandungse Toneel Vereniging Van Indonesise Studerenden)
Kelompok ini sering menyelenggarakan pementasan lakon-lakon patriotik yang terletak di daerah Peringan. Terselenggaranya pentas ini dimanfaatkannya sebagai sumber pamsukan uang yang akan digunakan untuk keperluan perguruan nasional “Cahya”. Perguruan yang di bentuknya untuk menghilangkan angka buta huruf bersama kelompok Pemuda Indonesia.
- Perhimpunan Indonesia (PI)
Setelah lulus dari AMS, Sjahrir melanjutkan pendidikannya di Universitas Amsterdam Belanda. Sebagai seorang mahasiswa Indonesia, Sjahrir mengikuti perhimpuanan yang menaungi mahasiswa Indonesia yang sedang menempuh pendidikan di Universitas Amsterdam. Perhimpunan Indonesia (PI) menjadi wadah bagi mahasiswa Indonesia untuk melakukan pergerakan di Belanda, Sjahrir tergabung di dalamnya yang saat itu di ketuai oleh Mohammad Hatta.
Ketika Sjahrir bergabung dalam PI, Mohammad Hatta sudah menyiapkan rencana untuk menggantikannya sebagai ketua PI dengan beberapa kader yang sudah di pilihnya. Kader yang sudah dipilih oleh Hatta antara lain Abdullah Syukur, Roesbandi, dan Sjahrir. Pada tahun 1929 Hatta resmi mundur dari ketua PI sesuai dengan rencananya dan digantikan oleh Abdullah Syukur.
Selama PI dibawah pimpinan Mohammad Hatta, ia pernah menjadi delegasi Indonesia dalam sebuah Kongres Internasional Anti Penindasan Kolonialisme dan Imperalisme. Pada akhir kongres tersebut diputuskanlah bahwa kongres ini berubah menjadi subuah badan yang dinamakan League Againts Imperialism and for National Independence (Liga Anti Imperalisme dan untuk Kemerdekaan Nasional). Liga yang di prakarsai oleh seorang komunis asal Jerman yang bernama Willy Muzenberg. Orang Negri Belanda yang bertugas sebagai seksinya dan PI menjadi penggeraknya.
Aliran komunis yang menyebar di dalam tubuh PI akibat dibentuknya Liga Anti Imperalisme dan untuk Kemerdekaan Nasional akibat orang-orang komunis menggerogoti dan membuat sel-sel dalam tubuh liga, sedangkan di Belanda orang-orang komunis menggerogoti dan membuat sel-sel dalam tubuh PI. Kemenangan komunis dalam menggerogoti PI mengakibatkan PI dapat di setir oleh golongan komunis, siapa saja yang
menolak dan tidak sejalan dengan pemikirannya orang komunis akan disingkirkan dari PI. Ketika PI dipimpin oleh Abdullah Syukur yang notabennya tidak berwibawa layaknya Hatta menjadikan anggota yang berhaluan komunis seperti Rustam Effendi, Abdullah Madjid, dan Setiadjid memiliki pengaruh yang besar di dalam PI.
Dalam "Baca Mengenang Sjahrir Seorang Negarawan dan Tokoh Pejuang Kemerdekaan yang Tersisih dan Terlupakan," hal tersebut membuat Hatta sangat berusaha keras agar PI keluar dari liga karena menurut Hatta liga itu sudah menjadi komunis yang begitu eklusif. Sampai membuat tulisan dalam majalah PI, di antaranya ada kalimat yang berbunyi “Kita tidak mau dijadikan kuda penarik kereta Moscow”.
Dalam rapat pleno oleh PI dan orang-orang berhaluan komunis yang berada di dalam tubuh PI seperti Rustam Effendi, Abdullah Madjid, dan Setiadjid berhasil memecat Hatta dan Sjahrir di rapat pleno tersebut. Pemecatan Hatta dan Sjahrir ini dilakukan pada tanggal 27 November 1931. Sjahrir yang kala itu masih berusia 21 tahun tidak gentar sama sekali dengan pemecatannya dari PI karena ia tahu bahwa PI sudah dikuasi oleh orang-orang komunis. Berbeda dengan Hatta, ia sangat merasa terpukul akan pemecatan tersebut dan membuat goyah kepercayaan terhadap dirinya sendiri. Dalam "Baca Mengenang Sjahrir Seorang Negarawan dan Tokoh Pejuang Kemerdekaan yang Tersisih dan Terlupakan" Reaksi Sjahrir dalam menanggapi pemecatannya dan Hatta dari PI adalah ucapan “Minggu lalu saya dan Hatta keluar dari PI, kami tidak berurusan dengan oraganisasi komunis. Bagaimana PI dapat mendepak orang yang telah keluar”.Keluarnya Hatta dan Sjahrir dari PI menjadikan mereka berdua bersatu dan bekerjasama dalam melawan komunis dan kemudian menempuh jalan yang sama bersama-sama.
- Pendidikan Nasional Indonesia (PNI)
Tersiar kabar buruk di tanah air, pergerakan kebangsaan dihantam oleh pemerintah Belanda. Ir. Soekarno di tangkapdan dipenjarakan pada tahun 1929. Partai Nasional Indonesia (PNI) yang dipimpin oleh Soekarno dibubarkan. Sedangkan Mr. Raden Mas Sartono yang merupakan mantan tokoh Perhimpunan Indonesia mendirikan partai baru yakni Partindo. Hatta dan Sjahrir tidak setuju dengan langkah-langkah yang dapat menjadi kemunduran pergerakan rakyat ke arah Indonesia merdeka.
Kader-kader dari Golongan merdekan yang menentang pembubaran PNI berkumpul dalam wadah baru yang bernama Pnedidikan Nasional Indonesia. Wadah baru ini namanya disingkat menjadi PNI-Pendidikan atau PNI Baru. Hatta dan Sjahrir berpendapat bahwa mereka berdua harus kembali ke tanah air untuk membantu PNI-Pendidikan. Hatta terkendala dengan studinya yang belum selesai, alhasil Hatta tidak dapat kembali ke tanah air. Alih-alih sjahrir yang meninggalkan kamupusnya dan kembali ke tanah air untuk sementara saja samapai Hatta bisa kembali ke tanah air.
Setibanya Sajahrir di Bandung pada Desember 1931, Sjahrir aktif dalam mengembangkan PNI-Pendidikan. Pada tanngal 26 Juni 1932, dalam kongres pertama PNI-Pendidikan, Sajhrir terpilih menjadi Ketua Pimpinan Umum Partai yang berisifat partai kader dan bukan partai massa. Jumlah anggotannya pada saat itu tidak lebih dari 1000 orang dan pada saat itu umur Sjahrir baru 23 tahun.
Sjahrir sendiri juga bermaksud kembali ke Belanda untuk melanjutkan studinya. Namun belum sempat ia meninggalkan Hindia, para pemimpin PNI-Baru ditangkap oleh pemerintah Hindia Belanda. Hal ini dikarenakan kegiatan-kegiatan PNIBaru yang dianggap berbahaya karena melakukan propaganda melalui tulisan-tulisan yang dimuat dalam majalah Daulat Rakjat, media yang memang menjadi corong informasi serta idealisme PNI-Baru.
D. Hasil Pergerakan
Detik-detik Kekisaran Jepang mendekati kekalahan nya, pada tanggal 8 Agustus 1945 Soekarno dan Hatta dipanggil ke Saigon untuk bertemu Pangeran Terauchi yang menjabat sebagai Panglima Tertinggi Tentara Jepang Wilayah Selatan. Dalam pertemuan tersebut Pangeran Terauchi menyampaikan pesan kepada Soekarno dan Hatta tentang penentuan waktu serah terima kemerdekaan sekarang berada di tangan Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI). Setalah pembahasan mengenai proklamasi kemerdekaan Indonesia, maka diambilah keputusan bahwa Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia harus bersidang pada tanggal 19 Agustus 1945.
Sebelum Soekarno dan Hatta berangkat ke Saigon untuk menemui Pangeran Teuchi, Hatta dan Sjahrir telah sepakat mengenai pembagian besar-besaran usaha revolusioner, mereka menggabungkan berbagai kekutan legal di bawah Soekarno-Hatta secara terang-terangan dan gerakan bawah tanah dalam mendirikan negara Indonesia merdeka. Pada tanggal 14 Agustus 1945 rombongan yang beranagkat ke Saigon kembali ke Jakarta tanpa mengetahui berita tentang pengemboman pertama Jepang oleh Amerika dan belum mengetahui perihal menyerahnya Jepang. kelompok bawah tanah pimpinan Sjahrir yang mengetahui hal tersebut langsung terlibat dalam perdebatan sengit tentang strategi yang akan ditempuh untuk memproklamasikan kemerdekaan. Ketika berita menyebar pada rakyat Indonesia bahwa pada tanggal 14 Agustus Jepang telah menyerah kepada Sekutu, Sjahrir
lantas memberitahu Soekarno dan Hatta bahwa Jepang sudah menyerah dan berusaha keras meyakinkan mereka mengenai pentingnya deklarasi kemerdekaan sesegera mungkin agar dikemudian hari tidak akan timbul kesan seolah-olah Indonesia memperoleh kemerdekaannya sebagai hadiah dari Jepang.
Ketika penyampaian berita tentang penyerahan Jepang kepada Sekutu, Sjahrir dibawa kerumah Soekarno secara langsung oleh Hatta suapaya dapat membicarakannya lebih lanjut. Soekarno dan Hatta merasa khawatir tentang gerakannya yang tergesa-gesa untuk melakukan proklamasi kemerdekaan, mereka berfikir akan memancing tindakan kekerasan yang akan dilakukan oleh pihak Jepang kepada Indonesia yang mengumumkan kemerdekaannya secara sepihak. Soekarno juga masih merasa ragu akan penyerahan Jepang atas Sekutu dan masih menunggu kepastian dari pihak berwajib mengenai kabar ini sebelum melakukan tindakan. Mereka berdua berpendapat bahwa pernyataan kemerdekaan harus dikeluarkan oleh Panitia Persiapan yang akan melangsungkan sidang peresmiannya pada tanggal 18 Agustus. Sedangkan Sjahrir berpendapat bahwa jika Jepang sudah meminta damai dengan Sekutu, Jepang sudah tidak berada lagi di posisi untuk menepati janjinya memberikan kemerdekaan Indonesia, baik melalui Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) atau dengan cara lain. Sjahrir juga mengisyaratkan bahwa sudah ada rencana bagi suatu pemberontakan rakyat dalam skala yang tidak akan dapat dikendalikan oleh pihak Jepang untuk mendukung proklamasi kemerdekaan itu. Pada akhir pembicaraan itu, Sukarno tetap pada keputusannya untuk menunggu sampai diselenggarakannya sidang Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI).
Perkumpulan atau gerakan pemuda mendiskusikan mengenai peristiwa yang sedang berlangsung saat itu. Pergerakan golongan pemuda oleh dipimpin oleh Sjahrir, akan tetapi beralih tangan ke berbagai pemimpin muda lainnya seperti Sukarni, Adam Malik, Chaerul Saleh, Maruto Nitimihardjo, Wikana dan wakil-wakil yang lain dari asrama mahasiswa kedokteran di Prapatan 10. Dati hasil diskusi mereka menghasilkan keputusan bahwa pandangan mereka harus disampaikan langsung kepada Soekarno, maka sebuah delegasi yang dipimpin oleh Wikana menemui Sukarno di tempat tinggalnya di Pegangsaan Timur 56 pada malam hari tanggal 15 Agustus. Perdebatan sengit pun terjadi antara Soekarno dan para mahasiswa, Soekarno tetap teguh dengan keputusannya yang tidak mau tergesa-gesa untuk segera melakukan proklamasi kemerdekaan. Pada akhirnya para mahasiswa keluar meninggalkan rumah Soekarno dengan perasaan jengkel, mereka langsung merencakan tindakan-tindakan selanjutnya. Pada tanggal 15 Agustus 1945 terjadi pembicaraan tentang rencana selanjutnya oleh golongan muda, pembicaraan ini menghasilkan keputusan untuk
menculik Soekarno dan Hatta. ejumlah pengikut Sjahrir, yaitu Soebadio Sastrosatomo, ikut serta dalam peristiwa tersebut. Sjahrir diberitahu tentang rencana-rencana tersebut tetapi, ia menolak untuk ambil bagian di dalamnya. Para pemuda kemudian memindahkan Sukarno dan Hatta ke kota kecil Rengasdengklok, di mana mereka juga tidak berhasil membujuk Sukarno dan Hatta agar segera memproklamasikan kemerdekaan. Setelah mereka kalah, para penculik itu mengizinkan mereka dibawa kembali ke Jakarta pada malam tanggal 16 Agustus, di mana setelah diadakan kontak-kontak yang halus dan benar-benar informal dengan pihak berwajib Jepang, Sukarno dan Hatta mengadakan pertemuan dengan anggota PPKI (Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia) dan sejumlah pemimpin pemuda di rumah Laksamana Maeda dan menyiapkan naskah proklamasi kemerdekaan yang akan diumumkan esok paginya.
Sjahrir tidak ikut datang kerumah Laksaman Maeda pada malam hari tanggal 16 Agustus ketika teks proklamasi dirancang, dia juga tidak hadir pada tanggal 17 Agustus di rumah Soekarno pada waktu pembacaan proklamasi kemerdaan. Ia menyatakan komitmennya untuk membentuk republik yang merdeka yang tidak dianggap sebagai produk Jepang. Namun, keprihatinannya tidak sebatas pada perjuangan untuk membebaskan diri dari kekuatan asing. Dia percaya bahwa wawasan tentang perubahan sosial dan kebebasan individu adalah bagian dari kemerdekaan yang benar. Bagaimana dia memperoleh kemerdekaan dipengaruhi oleh cita-citanya. Kaum nasionalis murni, dan bahkan kaum nasionalis muslim, mungkin melihat pendudukan Jepang sebagai waktu di mana penjajah menawarkan kesempatan. Namun, Sjahrir melihat Jepang sebagai bagian dari dunia fasis dan sebagai tantangan bagi kaum reaksioner terhadap prinsip demokrasi dan transformasi sosial yang diinginkan.
Kesimpulan
Bung Kecil suatu julukan yang diperuntukkan oleh pejuang kemerdekaan dan merupakan tokoh pergerakan yang dimana beliau memiliki pemikiran nasionalisme yang berfokus pada solidaritas dan keadaan sosial dalam jalan demokrasi nya, yang tidak lain adalah Sutan Sjahrir itu sendiri. Beliau sangat mempercayai dan mendukung bahwa rakyat harus dilibatkan secara aktif untuk membangun demokrasi, serta menolak pemikiran pemikiran otoritarianisme dan fasisme. Sutan Sjahrir mengedepankan kekuatan rakyat maka beliau mengutamakan pendidikan rakyat sebagai pondasi bagi bangsa yang merdeka, dengan pemikiran-pemikiran bung kecil tersebut beliau mendirikan PSI (Partai Sosialis Indonesia) untuk mendukung pemikiran beliau dan mengharapkan agar terus memperjuangkan
prinsip-prinsip demokrasi dan kebebasan. Pasca-Perang Dunia II pandangan nasionalisme humanis dan pendekatan diplomatik Sutan Sjahrir dalam perjuangan kemerdekaan Indonesia menunjukkan taringnya yang rasional dan realistis untuk menghadapi tantangan dunia.
Referensi
Setiawan, Hanif. 2020. SUTAN SJAHRIR, SOSIALISME, DAN PERJUANGAN KEMERDEKAAN INDONESIA TAHUN 1927-1962. AVATARA, e-Journal Pendidikan Sejarah Volume 9, No. 1 Tahun 2020
Padiatra, Aditia Muara dkk.2023. Kisah Bung Kecil : Rekam Jejak Sutan Sjahrir 1909 – 1966. Jurnal Tamaddun. 11(2).
Anwar, Rosihan. 2011. Srutan Sjahrir Negarawan Humanis, Demokrat sejati yang mendahului zamannya. Jakarta: Buku Kompas.
Anwar, Rosihan. 2010. Mengenang Sjahrir : Seorang Negarawan dan Tokoh Pejuang Kemerdekaan yang Tersisih dan Terlupakan. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Anwar, Rosihan. 2022. Sutan Sjahrir: Demokrat Sejati, Pejuang Kemanusiaan: True Democrat, Fighter for Humanity, 1909-1966. Brill.
Sjahrir, “Tempo Edisi Khusus ‘Sjahrir,”n.d.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H