"Mas Fauzan," kata ayah Namira, "sebelum saya menjawab permintaan kamu tadi, saya mau bertanya terlebih dahulu."
  "Silakan kalau bapak mau bertanya kepada saya," kataku dengan suara pelan.
  "Mas Fauzan, kalau boleh saya tahu Mas kerja di mana?"
  "Saya saat ini bekerja sebagai karyawan di sebuah toko," jawabku dengan jujur.
  Mendengar jawaban yang keluar dari mulutku, seketika wajah kedua orang tua Namira berubah dan seakan tidak percaya dengan apa yang baru saja didengarnya.
  "Jadi, Mas Fauzan ini pekerjaannya hanyalah seorang karyawan toko?" tanya ibu Namira dengan suara yang terkesan merendahkan.
  "Benar ibu, saya hanya seorang karyawan toko."
  "Begini Mas Fauzan. Mengenai permintaan kamu yang tadi, saya sebagai orang tua Namira tidak setuju dan tidak memberi izin. Jadi Mas Fauzan, kamu tidak akan pernah bisa menikah dengan anak saya Namira," jawab ayah Namira dengan tegas dan tanpa kompromi.
  Mendengar keinginanku ditolak saat itu juga sontak membuatku terkejut. "Kenapa permintaanku langsung ditolak? Apakah ada yang salah dengan diriku juga pekerjaanku saat ini?" tanyaku dengan getir.
  "Alasannya sederhana," ujarnya dengan santai sambil menatapku seolah aku orang yang tidak tahu malu, "karena pekerjaan kamu hanyalah seorang karyawan toko. Apakah mungkin dari gaji bulanan seorang karyawan toko bisa untuk menghidupi kebutuhan keluarga kamu? Harusnya kamu itu ngaca terlebih dahulu sebelum berbicara."
  Kata-kata yang baru saja aku dengar seakan menghancurkan impianku saat itu juga. Aku tidak pernah menyangka, jika pekerjaan sebagai seorang karyawan toko ternyata dipandang sebelah mata bahkan sangat rendah dan hina. "Aku akan berusaha sekuat tenaga untuk bisa membahagiakan Namira, karena semua bisa berubah seiring dengan berjalannya waktu."