"Ibu sudah tidak sabar ingin segera melihat kamu duduk bersanding di pelaminan dengan Namira dan setelah itu, ibu akan memiliki serta menimang seorang cucu." Wajah ibuku terlihat begitu bahagia ketika mengatakan 'duduk bersanding di pelaminan dan memiliki seorang cucu'.
  "Aku begitu mencintai Namira ibu. Dan rasanya aku ingin bisa menjadi suami yang baik bagi Namira," ujarku kepada ibuku.
  "Kamu jangan pernah meninggalkan shalat serta berdoa anakku. Semoga saja Namira ini adalah jodohmu, sehingga kalian berdua akan bertemu dan bersatu dalam sebuah ikatan suci," ucap ibuku sambil memberi nasehat kepadaku.
  "Aku akan selalu ingat nasehat dari ibu, karena aku bagitu menyayangi ibu." Aku langsung memeluk ibuku karena hanya inilah harta terindah yang aku meliki saat ini. Aku juga ibuku bukan datang dari keluarga kaya dan pekerjaanku hanyalah seorang karyawan toko dengan gaji bulanan. Sedangkan keseharian ibuku hanya di rumah saja, dan saat ini ibuku sudah tidak bekerja lagi karena faktor usia dan tidak sepatutnya ibuku bekerja banting tulang mencari nafkah. Tugasku saat ini yang harus bekerja keras banting tulang agar dapat membahagiakan ibuku di kemudian hari.
&&&
Pada hari Sabtu malam aku akhirnya menepati janjiku datang untuk dapat bertemu dengan kedua orang tua Namira yang sudah begitu penasaran denganku. Selepas shalat magrib, aku mengendarai sepeda motor bututku menuju ke rumah Namira yang terletak di desa sebelah. Kurang dari lima belas menit perjalanan, aku telah tiba di desa tempat Namira tinggal yang hanya dipisahkan oleh sebuah sungai sebagai batas antara dua desa. Dengan perlahan aku menyusuri jalan desa yang terlihat begitu ramai pada hari sabtu malam. Tidak jauh dari persimpangan jalan, aku melihat sebuah rumah dua lantai dengan dinding luar yang tersusun dari batu bata setinggi dua meter dan tepat di tengahnya terdapat sepasang pintu gerbang dari kayu. Dengar perlahan aku melajukan motorku menuju ke rumah Namira yang terlihat sangat besar dan mewah dengan bermandikan cahaya lampu.
  Setelah sampai di depan pintu gerbang dari kayu, aku segera berhenti dan turun dari motorku. Kemudian aku berjalan mencari tombol bel pintu lalu menekannya. Tidak berapa lama seorang penjaga rumah membuka sedikit pintu gerbang dan bertanya kepadaku:
  "Selamat malam Mas, ada yang bisa saya bantu?" tanyanya dengan sopan.
  "Saya mau bertemu dengan kedua orang tua Namira, karena saya sudah berjanji untuk datang ke rumahnya pada hari sabtu malam ini," jawabku apa adanya kepada penjaga rumah yang sedang bertugas.
  "Kalau begitu Mas tunggu sebentar di sini. Kalau boleh tahu, nama Mas siapa?" tanya petugas itu kembali.
  "Nama saya Fauzan," ujarku dengan senyum.