Suku Baduy merupakan komunitas adat sub etnis Sunda yang berada di Provinsi Banten. Tepatnya di desa Kanekes, kecamatan Leuwidamar, kabupaten Lebak. Suku Baduy tinggal dan menetap di wilayah dataran tinggi yang dikenal dengan nama pegunungan Kendeng. Wilayah ini sebagian besar masuk Taman Nasional Gunung Halimun Salak (TNGHS).
Seperti yang kita ketahui, suku Baduy terdiri dari Baduy Luar yang biasa disebut Urang Panamping dan Baduy Dalam yang biasa disebut Urang Tangtu. Menurut data terbaru per Juni 2020 dari desa Kanekes, suku Baduy terdiri dari 11.736 jiwa Baduy Luar dengan 3.413 KK dan 1.206 Baduy Dalam dengan 308 KK.
Mereka mendiami wilayah seluas 3.000 ha yang tersebar di 62 kampung Baduy Luar dan 3 kampung Baduy Dalam. Kampung Baduy Dalam ini cukup sering kita dengar namanya, yaitu Cibeo, Cikartawana, dan Cikeusik.
Perkampungan suku Baduy adalah perkampungan adat yang memiliki keunikan yang sudah bertahan selama ratusan bahkan ribuan tahun.
Karena budaya folklor yang berkembang, tak ada bukti sejarah yang dapat memastikan kapan dan dimana komunitas adat suku Baduy ini pertama kali ada dan berasal. Dari sana kemudian banyak berbagai versi sejarah Baduy yang muncul. Tapi budaya folklor di Baduy mengklaim bahwa mereka telah ada selama ribuan tahun.
Keunikan Suku Baduy
Keunikan dan adat isitiadat suku Baduy yang bertahan cukup lama ini mengundang ribuan wisatawan setiap tahunnya untuk datang mengunjungi Baduy. Menurut perwakilan desa Kanekes, setiap tahunnya jumlah kunjungan wisatawan ke Baduy menujukkan kenaikan yang cukup signifikan.
Akses yang tak terlalu jauh dari DKI Jakarta, kota termodern di Indonesia, yakni hanya sekitar 120 km saja, menjadikan Baduy sebagai wilayah yang jauh dari modernisasi dan masih alami budaya dan asri alamnya menjadi tempat pilihan utama untuk menyegarkan diri dari hiruk pikuk dan rutinitas Ibukota.
Maka tak heran hampir 90% wisatawan yang berkunjung ke Baduy adalah mereka yang tinggal di wilayah Jabodetabek.
Keunikan suku Baduy yang dimaksud tersebut, antara lain dilihat dari budayanya yang sangat patuh pada adat leluhur, menolak modernisasi, dan hidup penuh dalam kesederhanaan.
Selain itu juga alam lingkungan serta perkampungan suku Baduy juga masih alami, asri, dan jauh dari keterjamahan manusia modern. Bahkan suku Baduy mengklaim diri sebagai penjaga keseimbangan dan keselarasan alam semesta.
Penulis pernah beberapa kali mendapat kisah dari orang Baduy Dalam, bahwa beberapa puluh tahun ke belakang, suku Baduy merasa asing terhadap kehadiran wisatawan yang datang ke kampung mereka. Bahkan mereka cenderung takut dengan kedatangan orang dari luar Baduy seperti kita.
Walau pun Baduy merupakan objek wisata budaya, namun ini menandakan bahwa Baduy bukanlah objek wisata yang sengaja dibuat untuk kepentingan pariwisata. Baduy adalah sebuah masyarakat unik yang menjadikan pengunjung datang dan melihat-lihat keunikannya tersebut.
Covid-19 di Baduy, Lebak, Banten, Indonesia
Alih-alih menerapkan new normal, jumlah kasus Covid-19 di Indonesia makin hari justru kian meningkat. Data dari covid19.go.id per 18 Juni 2020 menunjukkan jumlah kasus positif harian di Indonesia makin tinggi saja, yaitu 1331 kasus, paling tinggi dari kasus harian sebelum-sebelumnya.
Dan ini menjadikan jumlah kasus Indonesia tertinggi di ASEAN melewati Singapura dengan 42.762 jumlah kasus. Provinsi Banten menjadi provinsi tertinggi ke 9 dalam jumlah kasus positif di Indonesia dengan 1309 jumlah kasus.
Kabupaten Lebak sendiri, kabupaten di mana suku Baduy berada, kini tidak lagi menjadi zona paling hijau di Banten setelah per 18 Juni 2020 memilik 19 kasus positif Covid-19 (Sumber: infocorona.bantenprov.go.id).
Karena Covid-19 ini pula, Pemkab Lebak harus membatalkan gelaran tahunan upacara adat Seba Baduy tahun 2020 yang telah berlangsung selama ratusan tahun pada awal Juni ini, yang juga termasuk 100 Calendar of Event Kementerian Pariwisata Republik Indonesia.
Salah satu pertimbangannya adalah untuk melindungi warga adat Baduy dari paparan virus Corona. Karena kegiatan itu akan mengundang ratusan bahkan ribuan orang berkumpul dalam satu lokasi.
Ada pun Baduy, hingga detik ini tidak ada satu pun kasus Covid-19 ditemukan. Bisa dikatakan Baduy bebas virus Corona. Untuk diketahui, Baduy telah ditutup sejak akhir Februari sampai akhir Mei. Penutupan itu bahkan dilakukan sebelum kasus pertama diumumkan di Indonesia.
Saat itu, Baduy ditutup selama 3 bulan. Penutupan tersebut dikarenakan di Baduy sedang bulan Kawalu selama 3 bulan, yang rutin dilaksanakan tiap tahun.Â
Penutupan dilanjut dengan himbauan pemerintah desa Kanekes untuk tidak keluar Baduy selama masa pandemi setelah Kawalu 3 bulan berakhir, hingga pembatalan upacara adat Seba Baduy 2020 di pendopo kabupanten Lebak. Lalu penutupan dilanjutkan dengan himbauan dari Dinas Pariwisata Lebak untuk menutup sementara semua objek wisata di kabupaten Lebak karena kasus Corona ini.
Trip ke Baduy
Selama menjadi tour guide ke Baduy baik Baduy Dalam maupun Baduy lebih dari 10 tahun ke belakang, setidaknya ada dua jenis trip yang Penulis ketahui yang dapat mengantarkan wisatawan ke Baduy. Trip pertama biasanya dilakukan orang pribadi dengan memanfaatkan tour guide lokal di Ciboleger atau riset tanpa tour guide lokal namun langsung datang ke rumah warga Baduy.
Trip kedua, trip yang diorganisasikan oleh tour operator dan/atau agen travel, Baduy Corner salah satunya. Dari trip yang diorganisir tour operator ini biasanya terdiri dari dua jenis trip, yaitu trip gabungan yang biasa dikenal dengan open trip dan trip sesuai permintaan atau private trip.
Wisata Baduy tidak seperti objek wisata lainnya. Kita tak punya banyak pilihan, terutama penginapan dan makanan. Bagi yang pernah ke Baduy dan menginap di Baduy barangkali akan tahu keadaannya. Biasanya trip Baduy dilakukan dengan rentang waktu 2 hari 1 malam. Wisatawan mau tak mau akan menginap di rumah suku Baduy. Karena memang tak ada pilihan selain itu.
Dalam satu rumah warga Baduy, biasanya akan diisi minimal 3 orang wisatawan peserta trip dan maksimal 10 orang wisatawan yang menginap. Pada beberapa kasus, Penulis seringkali melihat satu rumah warga Baduy diinapi oleh 15 orang wisatawan bahkan lebih.
Ini biasanya trip gabungan demi menghemat pengeluaran. Jumlah itu belum termasuk dengan anggota keluarga rumah yang ditempati. Beberapa rumah di Baduy Dalam terdiri dari 2 keluarga, dengan 2-3 anak dalam satu rumah. Jika trip gabungan, artinya kita akan berbagi tempat tidur dengan 5-15 orang yang mungkin baru kita kenal di dalam satu rumah warga Baduy Dalam.
Dari pengalaman dan fakta tersebut kita bisa membayangkan interaksi banyak orang dalam satu ruangan sehari semalam di sebuah komunitas masyarakat adat yang eksistensinya sangatlah penting bagi keanekaragaman budaya dan keseimbangan alam.
Dalam keadaan pandemi seperti saat ini, Penulis rasa keadaan seperti itu adalah hal yang amat tidak tepat dan tidak baik. Tidak baik bagi kesehatan wisatawan sendiri, terlebih bagi kesehatan warga adat Baduy.
Terlarang Menggunakan Sabun
Itu dari segi penginapan, belum melihat hal lain seperti dapur dan alat makan yang digunakan bersama-sama berkali-kali. Dan harus kita akui di Baduy mencuci alat makan tidak seperti kita mencuci di dapur kita: dengan sabun pencuci piring, dengan spons dan dicuci hingga keset.
Untuk diketahui, di Baduy Dalam tidak diperkenankan menggunakan sabun dan bahan kimia lain di sungai sebagai sumber air utama. Maka dengan fasilitas MCK di sungai dan larangan penggunaan sabun sebagai bentuk kepatuhan adat tersebut, sangat sulit untuk wisatawan menjalankan protokol kesehatan.
Mungkin perlu diingat pula. Kebiasaan memakai masker, mencuci tangan dengan sabun bahkan menggunakan hand sanitizer adalah hal yang asing bahkan mungkin terlarang bagi orang Baduy.
Pemerintah, dalam hal ini Dinas Pariwisata dan Pemkab Kabupaten Lebak perlu mengambil langkah-langkah antisipatif. Melihat beberapa tour operator sudah mulai akan membuka trip ke Baduy. Karena jika ada satu saja orang Baduy terkena Covid-19, konsekuensinya akan sangat fatal. Bisa saja semua warga Baduy tertular Covid-19 yang terbawa oleh pengunjung/wisatawan, terutama yang berstatus OTG.
Solusi Yang Ditawarkan
Sebagai upaya pencegahan dan penanganan penyebaran Covid-19 di wilayah kabupaten Lebak dan provinsi Banten khususnya, serta di Indonesia umumnya, penulis menawarkan ke pihak-pihak yang memiliki wewenang atas warga adat Baduy dua pilihan solusi.
Solusi Pertama: Baduy Ditutup Sementara
Solusi pertama yang ditawarkan ialah Baduy ditutup untuk sementara. Setidaknya sampai semuanya benar-benar normal seperti sebelum ada pandemi, atau sampai vaksin Covid-19 ditemukan. Mungkin bisa membutuhkan 1 sampai 2 tahun ke depan. Tapi hal itu lebih baik dari pada harus mengorbankan kesehatan warga adat suku Baduy.
Membuka wisata budaya suku Baduy di saat seperti ini adalah hal yang sangat tidak tepat dan sangat tidak direkomendasikan. Walaupun dengan tetap memperhatikan protokol kesehatan, itu tidak dapat menjamin virus corona tidak terbawa oleh pengunjung atau wisatawan yang datang dan menginap di Baduy. Terlebih saat ini OTG cukup banyak ditemukan kasusnya.
Opsi pertama ini juga ditempuh oleh Baduy Corner sebagai salah tour operator dengan membatalkan semua trip setidaknya sampai bulan Juni 2021. Jika dirasa perlu diperpanjang, akan diperpanjang mungkin hingga akhir tahun 2021. Risikonya mungkin tinggi. Tapi tidak lebih tinggi kehilangan nyawa satu saja warga Baduy, hanya demi ekonomi. Toh ekonomi bisa tetap jalan dan lagi pula ekonomi masyarakat Baduy tidak sepenuhnya ditopang oleh pariwisata. Kita bahas itu di solusi kedua.
Solusi Kedua: Baduy Ditutup Selamanya
Solusi kedua dan cukup radikal ialah menutup Baduy selamanya untuk wisatawan umum, terutama Baduy Dalam. Di Baduy Luar cukup dibangun miniatur Baduy Dalam, mulai dari bentuk rumahnya, keadaan lingkungannya, masyarakatnya dan cara hidupnya. Tidak hanya dibangun di Baduy Luar, kita bisa juga memanfaatkan kampung-kampung Baduy seperti Kampung Landeuh Muallaf Baduy yang sengaja dibuat oleh orang luar Baduy. Jika hal ini dapat dilakukan akan ada keuntungan di dua pihak: wisatawan dan suku Baduy. Bagi wisatawan sendiri, tidak perlu jauh-jauh berjalan kaki 12 km untuk sampai di Cibeo, Baduy Dalam. Serta wisatawan tentunya akan bisa mengambil foto atau video di miniatur Baduy Dalam ini. Untuk diketahui, di wilayah Baduy Dalam dilarang mengambil foto atau video sebagai bentuk larangan modernisasi.
Sedangkan keuntungan bagi suku Baduy Dalam ialah kontaminasi budaya luar Baduy yang dibawa wisatawan akan jauh berkurang. Penulis kadang merasakan ironi saat melihat anak-anak Baduy Dalam memakan mie instant, makanan junkfood, atau minuman berkarbonasi yang ditawarkan wisatawan, padahal warga Baduy selalu mengutamakan makanan langsung dari alam. Belum lagi masalah sampah yang dibawa wisatawan yang hingga kini masih banyak ditemukan solusinya, dan masalah pelanggaran adat lain yang dilakukan wisatawan yang entah sengaja ataupun tidak disengaja di kawasan Baduy Dalam.
Baduy Dalam ditutup untuk wisatawan umum yang ingin berkunjung, namun bisa saja terbuka bagi peneliti, pemerintah atau tamu khusus kepada ketua adat. Aturan izin ini harus dibuat dengan ketat.
Bagaimana dengan perekonomian masyarakat Baduy? Kita harus ingat bahwa Baduy bukanlah objek wisata yang sengaja dibuat untuk kepentingan pariwisata, namun Baduy adalah sebuah masyarakat unik yang menjadikan pengunjung datang dan melihat-lihat keunikannya tersebut. Sebelum ada wisatawan pun Baduy telah hidup dan bertahan selam ratusan bahkan ribuan tahun. Ekonomi mereka bukan sepenuhnya ditopang dari kunjungan wisatawan. Ada pun jika ada warga Baduy Dalam yang menjual hasil bumi atau hasil kerajinan, ini momentum untuk mengoptimalkan peran koperasi yang ada di desa Kanekes. Dengan cara mengumpulkan hasil bumi dan hasil kerajinan di koperasi dan menjualnya ke masyarakat luar. Bisa online atau offline.
Kunjungan Dengan Protokol Kesehatan Bukanlah Pilihan!
Saran dan solusi yang Penulis tawarkan hanya dua. Kunjungan wisatawan ke Baduy walau dengan protokol kesehatan tetaplah bukanlah opsi yang baik di tengah pandemi yang tanda berakhirnya masih jauh sekali ini. Wacana Dinas Pariwisata yang akan melakukan pembukaan Baduy dengan menerapkan standar protokol kesehatan sekali lagi adalah bukan opsi yang tepat. Konsekuensi dan risikonya akan tinggi. Tinggi sekali. Ini akan sama saja dengan membiarkan herd immunity terjadi di Baduy. Sekian dan terima kasih.
Achmad Anwar Sanusi | Owner Baduy Corner
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H