Assalamu alaykum…
Dear Pak Prabowo,
Mungkin hanya iseng belaka, ada yang pernah memilah identitas ke-Indonesia-an ke dalam dua pilihan: Keju dan Singkong. Yang pertama itu diasosiasikan dengan kelompok yang terkontaminasi gaya hidup Barat, sementara yang terakhir adalah simbol yang mewakili ketulenan dan kesederhanaan masyarakat Indonesia.
Saya tiba-tiba jadi teringat keju. Kecuali tikus dalam film kartun, hampir semua tahu bahwa mengkonsumsi keju secara berlebihan bisa membuat enek, dan enek yang tak tertahankan akan berujung pada muntah. Seperti itu kira-kira, meski niatan awalnya bukan, akibat yang ditimbulkan oleh suratuntukpakbowo.tumblr.com terhadapmu. Para pendukung capres nomor dua menuliskan surat dan mengumpulkannya dalam sebuah blog dengan harapan engkau mau berbesar hati menerima kekalahan.
“Cuih, enak saja!”
*
Tahun 2009, beberapa hari menjelang pemilu, beberapa stasiun televisi menyiarkan secara langsung debat antara tiga pasang kandidat capres-cawapres. Saya sedang asyik menyimak di depan tivi ketika handphone saya bergetar, sebuah sms datang dari seorang kawan, “Presiden RI 2014 sedang mejadi moderator debat kandidat capres 2009”. Pesan itu langsung saya balas, “Bukan, Presiden RI 2014 itu tuh yang di samping Megawati”. Yang kawan saya maksud saat itu adalah Anies Baswedan, sementara yang saya maksud adalah engkau.
Jangan salah, seperti halnya dalam lagu Garuda Pancasila, akulah pendukungmu. Bagaimana tidak, lima tahun–pada akhirnya sepuluh–menjadi waktu yang terlalu lama dan melelahkan dipimpin oleh seorang presiden yang bernama depan Susi, yang, aduh, lebainya minta ampun. Sementara yang dibutuhkan bangsa ini adalah pemimpin dengan karakter tegas dan mempunyai visi mengangkat kembali keadaan negara dari keterpurukan. Kita membutuhkan semacam antitesa dari sosok presiden yang hanya melulu menonjolkan skill akting dan aransemen lagu. TV One pernah secara (tidak) sengaja menulisnya sebagai pesinden.
Dari kekosongan figur pemimpin saat itu, engkau kemudian muncul, lewat iklan di berbagai media, dengan suara lantang dan meyakinkan berjanji akan membawa kembali garuda terbang tinggi, dan menjadikan Indonesia sebagai macan Asia seperti dulu. Belakangan, saya baru menyadari bahwa untuk menjadi macan, tidak perlu repot-repot menjadi presiden, cukup rajin makan Biskuat.
Aum…
Kini tiba masa sekarang, masa ketika engkau ingin memanen apa yang bertahun lalu kau tanam. Pintu istana kini tinggal beberapa langkah di depan. Namun sebelum pengumuman resmi dirilis KPU, pihak seberang, dengan bermodal hitung cepat, sudah mengklaim diri mereka menang, dan sebagian besar di antaranya meminta kepadamu untuk menerima kekalahan, meminta seorang Bowo untuk legowo (wow, it’s rhyme). Katanya, legowo means Let it Go, Wo! Enak saja. Para penganjur itu tidak pernah tahu bagaimana rasanya habis-habisan menggelontorkan milyaran atau bahkan trilyunan dana, serta betapa besar energi dan biaya sosial yang harus dikeluarkan untuk bisa sampai pada tujuan. Dan pada akhirnya harus begitu saja menerima kekalahan? Oh, no. Sesungguhnya mereka tidak pernah bisa paham kalau kalah itu sakit, dan, sakitnya, itu, di sini… *nunjuk dada.
Orang-orang kadang lupa, bahwa mereka hadir di muka bumi dalam keadaan telanjang tanpa, meminjam istilah Leonard Cohen, A Manual for Living Defeat. Dalam otak manusia, menerima kekalahan itu not installed as a default setting, dan juga sulit untuk dipelajari. Apatah lagi, jika kekalahan tersebut adalah buah dari perjuangan selama bertahun-tahun. Saya sepenuhnya menaruh curiga terhadap orang seperti Mario Teguh beserta variannya mengambil terlalu banyak peran dalam membentuk cara berfikir motivator dadakan, para penulis surat itu.
Tapi, jangan risau. Itu semua tak perlu didengarkan Pak. Maju terus. Sebagai mantan aktivis, saya akan terus bertepuk tangan menyoraki di belakangmu. Eaa… eaaa…, begitu. Perlu diketahui, saya adalah mantan aktivis judi poker di facebook, makanya, berbicara empati, saya paham betul perihal perihnya kalah setelah all-in. Ya, sakitnya itu di situ *nunjuk dadamu. Saatnya sekarang kita gebrak meja. Kalau perlu kita bakar kasino. Dan jangan lupa untuk mengejawantahkan pesanmu: “Rampoklah kasino tetanggamu yang terbakar!”
Tidak ada lagi kesempatan. Tahun 2019 usiamu sudah terlalu tua untuk ikut kontes. Jangan sampai macan kehilangan kesempatan menguasai hutan. Karena menjadi trio bukanlah pilihan. Saya geli membayangkanmu mengenakan legging macan, berdiri mengangkang sambil head banging di atas panggung dangdut. Makanya, satu-satunya hal yang kita butuhkan sekarang adalah KEMENANGAN. Jangan biarkan Machiavelli marah karena engkau hanya setengah hati menjalankan doktrinnya.
Sebelumnya, hari yang paling ditunggu-tunggu rakyat Indonesia adalah Rabu, 9 Juli. Tapi ternyata, setelah sore pada hari itu, urusan belum benar-benar selesai. Dada sakit yang tadi kita sama-sama tunjuk itu masih harus dag-dig-dug sampai tanggal 22. Saran saya, jangan berhenti. Bertarunglah Pak, gugat sampai ke MK. Kalau masih ada lagi di atas MK, gugat terus sampai sana.
Rakyat Indonesia sejatinya membutuhkan lebih banyak hiburan, demi menjaga agar fikiran tetap waras. Kami membutuhkan lelucon segar untuk ditertawakan. Orang-orang yang mengagungkan pertunjukan stand-up sebagai masa depan dunia komedi seharusnya minder melihat kenyataan berikut, siapa yang pernah menyangka bahwa sebenarnya ada pelawak yang mati suri dalam jiwa Fadli Zon, Ahmad Dhani, Fahri Hamzah dan Hatta Rajasa. Handphone, asbak, dan helm, Adipura-Kalpataru, situs berdomain wordpress, “Quick Qount”, sujud syukur, proposal lembaga survey delapan milyar, santri sinting, serta segala jenis meme yang dihasilkan dari kontestasi pilpres ini sungguh-sungguh sangatlah menghibur. Dan puncak dari semua lelucon tadi adalah ketika saya tanpa sengaja menemukan sebuah twit yang bernada menuduh, bahwa sebenarnya Sang Macan hanya menggunakan ajang pilpres kali ini sebagai modus untuk menggaet kembali hati Sang Mantan. Kalau pun benar demikian, maka kami hanya bisa berkata, “Cieee…”
Pak Prabowo yang lucu dan baik hati,
Pesan saya rasa-rasanya sudah terlalu panjang, saya khawatir surat ini malah justru menjadi another keju. Sudjiwo Tedjo pernah bilang, “Kejantanan dalam berpolitik adalah keberanian untuk tidak berkuasa”. Menanggapi pernyataan itu, saya mau bilang, bahwa dalam konteksmu itu tidak berlaku, dan saya fikir, masalah kejantanan tak perlu dibahas. Sensitif soalnya.
Terlepas dari itu semua, jika pada akhirnya engkau pun kalah (tentu setelah gugat sana-sini, dan menjalankan aneka ragam game-plan), mungkin memang engkau harus mulai belajar bersepakat dengan para penganjur tadi untuk menerima kenyataan, bahwa rakyat berkehendak lain. Ada kerinduan atas kualitas seorang pemimpin yang mereka tidak temukan di dirimu. Mereka memang kadung kebelet untuk dipresideni Jokowi.
Sekarang sudah saatnya engkau berpikir untuk kembali ke istal. Ada baiknya mengurusi kuda, ketimbang duka, bukan?
15 Juli 2014
Salam,
Ahsan Azhar
–seorang buruh migran yang senantiasa mencintai Indonesia.
___________
PS. Setelah semua hiruk-pikuk copras-capres ini mereda, saya berharap ada seorang editor atau penerbit yang berinisiatif mengumpulkan remah-remah kelucuan yang berserakan dan menjadikannya sebuah buku. Saya usul diberi judul “Mati Ketawa a la Prabowo”. Insya Allah laku keras.
PPS. Maaf kalau di akhir surat saya malah terkesan menjadi salah seorang varian Mario Teguh. Anu Pak, saya tergiring opini publik, dan sepertinya situasi memang menghendaki demikian.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H