Mohon tunggu...
Harimansyah
Harimansyah Mohon Tunggu... Guru - Guru Humaniora

Generasi milenial yang haus informasi, mudah beradaptasi dan terus berinovasi

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Artikel Utama

Disorientasi Pasca SMA di Desa, Mau ke Mana Setelah Lulus?

10 Mei 2022   09:44 Diperbarui: 18 Mei 2022   00:30 1169
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Mau ke mana setelah lulus sekolah?". Pertanyaan normatif ini sering saya sisipkan di tengah-tengah obrolan dengan dengan siswa kelas 12 SMA. Paling tidak ada 2 subjek yang menjadi pengamatan sambil lalu. 

Pertama, siswa/i di Kota besar (Ibu Kota) dan sekitarnya tempat saya mengajar dahulu, dan kedua siswa-siswi Sekolah di Desa/Kabupaten-Provinsi yang berbentuk kepulauan. Tidak menggherankan keduanya memiliki jawaban yang berbeda. 

Pertanyaan tersebut mudah dijawab oleh siswa/i yang berada di Kota-Kota besar dan sekitarnya.  Mereka akan menjawab dengan antusias dan optimis akan melanjutkan kejenjang pendidikan yang lebih tinggi, bahkan dijawab dengan spesifik sampai kampus dan jurusan yang menjadi target. 

Bukan hanya sebatas ekspektasi, dari jauh hari sebelumnya mereka telah mempersiapkan diri dengan mencari informasi dan mengikuti tambahan belajar baik perorang (privat) maupun lembaga kursus seperti bimbingan belajar. 

Tapi bagaimana dengan siswa/i yang ada di Desa? justru berbanding terbalik dengan fenomena yang ada di Kota dan sekitarnya, kebanyakan siswa menjawab dengan tidak semangat dan kebingungan. 

Dapat disimpulkan, mayoritas siswa-siswi mengalami disorientasi rencana setelah lulus. Bagi mereka untuk kuliah tidak semudah membeli paket data. 

Banyak faktor yang menjadi hambatan, diantaranya kurangnya dukungan keluarga, kondisi ekonomi, prestasi rendah, lingkungan sosial, pergaulan menyimpang serta mental dari siswa itu sendiri, bahkan sekolah itu sendiri dapat menjadi sebab karena tidak mengkonstruksi siswa/i untuk membangun mental siswa yang siap bersaing dengan tidak ada perhatian terhadap keberlanjutan siswa/i-nya pasca lulus sekolah SMA.

Memang tidak ada keharusan bahwa lulusan SMA harus melanjutkan kuliah, karena regulasi yang mengatur seperti Undang-Undang Dasar 1945 dan Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional atau peraturan yang sejenisnya hanya bersifat umum dan hanya menetapkan pendidikan minimal 12 tahun yang harus ditempuh. Jadi kuliah atau tidak hanyalah sebatas pilihan. 

Seperti yang dikutip dalam buku Pendidikan yang Memiskinkan. "Pengertian wajib belajar sama dengan wajib lulus sehingga akan berdampak pada penurunan kualitas pendidikan secara menyeluruh, demi mengejar kuantitas saja." (Darmaningtyas: 2015). 

Namun ironinya, kurrikulum yang ada di SMA dirancang bersifat "borongan", siswa-siswi tidak dikerucutkan dalam bidang tertentu yang langsung bersentuhan dengan dunia kerja serta tidak dibekali keahlian khusus seperti di SMK. 

Setelah lulus mereka hanya terkategori tenaga-tenaga terampil. Kurangnya peran sekolah di Desa dalam mempersiapkan siswa/i  juga bertentangan dengan visi menjadi negara maju khususnya ditahun 2045 nanti yang diproyeksi menjadi "Indonesia Emas", dengan kelebihan demografi, Indonesia sedang berfokus pada peningkatan Sumber Daya Manusia yang siap bersaing.  

Kembali kepertanyaan diawal, "Mau ke mana setelah lulus sekolah?". Pertanyaan tersebut bukan pertanyaan retoris . Pertanyaan tersebutpun mendapatkan feedback dari para siswa. Jika dipetakan paling tidak muncul beberapa jawaban yang mereka rencanakan pasca SMA.

Bekarja di bidang usaha ekstraktif

Bekerja merupakan mayoritas jawaban paling banyak dengan beragam alasan dan yang paling populernya ialah karena kondisi ekonomi. 

Jika dibuat pertanyaan turunan, "pekerjaan yang seperti apa?" maka akan muncul variasi jawaban pekerjaan sesuai sektor-sektor pekerjaan yang dekat dengan tinggal serta gender. 

Misalnya Bagi laki-laki kebanyakan mereka yang tinggal dipesisir bekerja melaut, menambak, dan pekerjaan yang sesuai dengan karakter lingkungan mereka. 

Sedangkan mereka yang tinggal di dataran akan bekerja di perkebunan, seperti perkebunan sawit, karet, dan perkebunan lainnya baik milik perusahaan maunpun perorangan. 

Kemudian yang paling menjadi daya tarik ialah bekerja sebagai penambang ilegal. Seperti di daerah kami saat ini yang tanahnya kaya akan sumber daya alam berupa Timah. 

Mengapa kemudian menjadi daya tarik? Karena saat ini harga hasil tambang timah sedang tinggi serta cepat menghasilkan, tentunya sebanding dengan resiko yang mereka hadapi. Bahkan tambang ilegal menjadi selah satu penyebab  kasus putus sekolah, karena untuk melakukannya tidak memerlukan ijazah atau surat keterangan lulus. Masalah ini pula yang menjadi perhatian kami bersama sebagai pegiat pendidikan.

Bekarja sebagai buruh/karyawan/pegawai

Mereka yang bekerja di bidang usaha ekstraktif-pun terkategori sebagai buruh atau karyawan. Karena pada dasarnya kebanyakan mereka bekerja pada orang lain sebagai pemilik modal. 

Sebagian besar siswa/i sudah melakukan upaya pencarian informasi lowongan pekerjaan di pabrik-pabrik, toko-toko, restoran-restoran, dan sebagainya . 

Bahkan mereka sudah mempersiapkan surat lamaran pekerjaan untuk diajukan sebelum ijazah atau Surat Keterangan Lulus belum diterbitkan. 

Dan jika dilihat dari lulusan tahun-tahun sebelumnya banyak dari alumni yang bekerja di toko-toko retail, pabrik-pabrik, maupun perkantoran dengan bermodal ijazah SMA.

Berwirausaha

Sebagian siswa yang memiliki minat berwirausaha bahkan usaha tersebut sudah mereka jalankan di sela-sela pembelajaran di Sekolah dan akan melanjutkan usahanya setelah lulus. 

Selain itu ada yang baru akan memulai membuka usaha dan ada yang ingin membantu serta mengembangkan usaha milik orang tua. 

Siswa/i yang sudah melakukan usaha dijalankan setelah mereka pulang sekolah, misalnya menjual makanan dan minuman ringan yang kekinian atau alternatif lainnya mereka menjalankan usaha secara onlline melalui media sosial seperti facebook dan instagram atau marketplace seperti shopee dan tokopedia.

Masuk sekolah polisi, tentara atau kedinasan

Tentu bukan proses yang mudah namun ada dari sebagian siswa yang bercita-cita menjadi anggota polisi dan TNI. 

Rencana mereka juga disampaikan kepada Sekolah dan Guru dengan tujuan mendapatkan perbaikan nilai mulai dari semester pertama di kelas 10 sebagaia pemenuhan syarat masuk ke pendidikan kepolisian atau kedinasan lainnya. 

Selain itu mereka yang optimis juga melakukan latihan dan keterampilan fisik agar sesuai dengan bentuk yang disyaratkan.

Masuk Pesantren

Siswa yang minat dengan agama khususnya tentang keislaman serta mendapat dukungan dari keluarga akan melanjutkan pendidikan di Pesantren, baik Pesantren lokal maupun di luar Kota. 

Karena untuk masuk Pesantren tidak memerlukan syarat khusus namun harus memiliki kemampuan dasar seperti dapat membaca al-quran dan memilik sikap dan akhlak yang baik.

Unplanned (tidak memliliki rencana)

Dari sekian jawaban banyak dari para siswa yang memliki rencana, juga termasuk siswa yang memiliki rencana yang dianggap tidak biasa seperti siswa pada umumnya atau semacam hidden planning. 

Misalnya tidak sedikit dari mereka yang berencana segera menikah, persoalan menikah dini memang menjadi perhatian dibeberapa wilayah. 

Pekerjaan-pekerjaan yang tidak lazim juga diungkapkan seperti menjadi Joki balap atau Joki Game, menjadi content creator sebagai streamer atau reviewer game yang sedang popular atau konten lainnya. 

Content creator sengaja dikategorikan unplanned karena untuk wilayah kami dianggap pekerjaan yang belum lazim dan konten yang dibuat tidak mengkonstruksi informasi yang bermanfaat.

***

Pembahasan ini sebenarnya bukan suatu permasalahan yang menjadi perhatian banyak orang, namun menjadi komplek saat menjelang kelulusan kelas 12. 

Karena pada dasarnya bukan menjadi indikator formal keberhasilan Sekolah, jika banyak siswa/i dari suatu sekolah yang lolos dalam SNMPTN menandakan sekolah tersebut baik. 

Namun, berkebalikan dengan situasi yang sebenarnya, sekolah merasa bangga, sukses dan dianggap berhasil manakala banyak dari siswa/i-nya yang lolos dalam SNMPTN atau seleksi yang sejenisnya. Hal tersebut sudah menjadi penilaian umum, bahkan tidak segan pihak Sekolah mempublikasikan "kesuksesannya tersebut." 

Padahal di sisi lain Sekolah dirasa kurang mengupayakan persiapan untuk mencapai kesuksesan tersebut selain dari hanya satu sisi, yakni persiapan nilai (kognitif). Bahkan tidak ragu pihak sekolah meng-katrol nilai agar terlihat progresif atau memenuhi passing grade, namun mengabaikan faktor lain. 

Maka dari itu Sekolah berkewajiban memfasilitasi peserta didik untuk melanjutkan ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi melalui proses seleksi nasional masuk perguruan tinggi negeri (SNMPTN) atau jalur lainnya bukan hanya dari sisi kognitif namun dari faktor lainnya. 

Seperti, kesiapan mental siswa, kesiapan untuk bersaing, kesiapan finansial dan kesiapan yang lainnya. Karena dalam situasi tersebut para peserta didik akan dihadapkan pada beberapa pilihan antara ikut, ragu-ragu/coba-coba atau tidak ikut sama sekali. 

Setelah mereka memutuskan untuk ikut dalam seleksi masuk perguruan tinggi negeri mereka akan dihadapkan dengan pilihan jurusan perkuliahan. Jauh sebelum proses tersebut harusnya mereka telah mempersiapkan diri atau bahkan dipersiapkan oleh lingkungan.

Sekolah sebagai agen memiliki andil besar dalam mempersiapkan siswa untuk melanjutkan ke jenjang lebih tinggi serta melibatkan orang tua siswa serta lingkungan. 

Adapun hal yang dapat dilakukan sekolah dalam bentuk kegiatan maupun pendekatan personal melalui konseling/coaching. 

Bentuk kegiatan dapat berupa; seminar, pemberian motivasi, talk show dengan para alumni, studi kunjungan kampus, melaksanakan/menghadiri kegiatan edufair, menerima terbuka kunjungan kampus-kampus pemberian informasi yang masih kepada para siswa dan hal tersebut dilakukan sejak kelas awal serta konsisten dan berkelanjutan. 

Sasaran kegiatan juga tidak hanya bagi siswa namun juga orang tua dan guru sebagai support sistem dalam persiapan. 

Jika di Kota besar, agenda-agenda semacam itu sudah menjadi rutinitas setiap tahunnya dalam rangka mempersiapkan peserta didiknya untuk menempuh pendidikan yang lebih tinggi. Berbeda dengan sekolah di Desa. 

Sebabnya, mayoritas orang tua di Desa berfikir skeptis atau pasrah terhadap keadaan dan sebagian guru yang acuh terhadap hal tersebut. 

Secara personal, guru sebaiknya dibekali metode dalam mengarahkan siswa/i serta menjadi motivator sekaligus sumber informasi bagi para siswa/i-nya. Berikut uraian kegiatan yang dapat dilakukan sekolah dalam rangka mempersiapkan siswa/i.

Sumber: dokumentasi penulis
Sumber: dokumentasi penulis

Seminar, pemberian motivasi atau talk show

Sekolah dapat menggundang tokoh-tokoh inspiratif untuk memberikan pemaparan serta diskusi yang membuka pemahaman serta memberikan pencerahan. 

Kemudian, alumni juga harus dilibatkan dalam sesi khusus sebagai role model bagi para siswa, baik yang masih menjalani perkuliahan maupun yang sudah lulus dan sedang meniti karirnya.

Studi kunjungan kampus

Kegiatan ini perlu dilakukan guna mendekatkan siswa dengan suasana kehidupan kampus, hingga muncul imajenasi mereka jika kelak menjadi mahasiswa di kampus yang dikunjunginya tersebut. 

Melakukan perjalanan dari satu ruangan ke ruangan lain, diskusi dengan para dosen dan mahasiswa. Dari kegiatan ini, para siswa membangun prospektus dirinya akan kuliah dijurusan apa dan bagaimana cara menempuhnya.

Pemberian informasi yang masif kepada para siswa/i

Informasi dibagi dalam 3 hal:

1. Informasi mengenai persyaratan, nilai ambang batas, daya tampung, uang kuliah dan biaya lainnya serta perkembangan tiap jurusan di universitas di Indonesia. Data tahun-tahun sebelumnya dapat digunakan menjadi acuan.

2. Informasi mengenai proses perkuliahan, apa yang akan mereka pelajari serta prospek lulusan.

3. Informasi mengenai beasiswa, baik beasiswa yang digulirkan oleh pemerintah maupun beasiswa yang digulirkan oleh pihak swasta. 

Hal ini dapat menjadi solusi keuangan bagi siswa yang memiliki.minat kuliah namun terhambat oleh masalah biaya. Seperti bidik misi, LPDP, beasiswa unggulan dan sebagainya

Kita percaya bahwa pendidikan merupakan pilar utama perubahan, dari sisi mikro misalnya, pendidikan menjadi salah satu saluran mobilitas sosial masyarakat. Walaupun gelar sarjana saat ini tidak menjamin sesorang mendapatkan pekerjaan dengan posisi yang bagus. 

Namun, dengan pendidikan kesempatan semakin bagi masyarakat di Desa untuk dapat meningkatkan taraf hidupnya menjadi lebih baik serta dapat mengejar ketertinggalan dari daerah yang lebih maju. 

Karena pendidikan termasuk dalam kategori indeks pembangunan manusia (IPM) khususnya daerah. Maka menjadi penting memberikan pengarahan dan bimbingan kepada para peserta didik bukan hanya berkutat pada capaian kognitif namun kesiapan eksternal diluar kurikulum.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun