Beberapa paham menghilangkan peran rasio (akal) karena mereka melihat persoalan ini secara urutan bukan penggunaan. Padahal pada kenyataannya, ketika seseorang ingin memahami wahyu pasti rasionya juga ikut berjalan. Sama halnya ketika Anda mau memahami alam, bukan berarti hanya indra yang bekerja tapi juga rasio. Indra dan akal justru berkerja secara bersamaan dan saling melengkapi.
Permasalahan lain adalah menganggap wahyu lebih di atas dibanding rasio (akal), atau menganggap rasio lebih di atas dibanding wahyu. Permasalahan di atas benar secara kondisional, itulah titik harmonisasi dari pertentangan tersebut.
Rasio lebih di atas dibanding wahyu dalam kondisi seseorang baru mencari agama, baru mau mengenal agama. Jadi, orang yang baru mau mengenal agama, mereka terlebih dahulu mengonfirmasi konsep-konsep dalam agama dengan menggunakan rasio (logika) seperti, Tuhan, Malaikat, Nabi, dan termasuk wahyu.
Setelah masuk dalam lingkaran agama, yang berlaku adalah ketundukan dan kepasrahan terhadap konsep-konsep agama yang sebelumnya telah terkonfirmasi. Dalam kondisi ini, Wahyu lebih di atas dibanding rasio. Peran rasio disini adalah menghubungkan teks antar teks agama, menjabarkan serta mendeskripsikan konsep-konsep keagamaan.
Mendamaikan polemik wahyu dan rasio (akal) mestilah dipandang dari segi harmoni. Baik wahyu maupun rasio, keduanya berasal dari sesuatu yang sakral dan ketika diturunkan untuk umat manusia (Islam secara khusus), keduanya berpotensi disalahartikan. Untuk itu, untuk memaksimalkan penggunaannya, selayaknya wahyu dan rasio saling melengkapi satu sama lain.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H