---
Dalam Islam, terdapat banyak bentuk pertentangan yang masih hangat diperbincangkan hingga kini, salah satunya adalah posisi rasio dan wahyu. Berbagai golongan maupun individu berusaha mempertahankan kebenarannya masing-masing.
Rasio dan wahyu telah menjadi pusat perhatian selama berabad-abad karena keduanya menopang berbagai disiplin ilmu. Perbedaan keyakinan terhadap keduanya berdampak pada kesimpulan akhir dalam berbagai disiplin ilmu.
Di tengah kondisi ini, umat Islam dihadapkan pada tantangan untuk menemukan keseimbangan antara keyakinan terhadap wahyu dan kemampuan rasional. Banyak individu merasa bingung dalam menghadapi situasi yang memerlukan keputusan cepat dan tepat, sementara keyakinan religius mereka mengharuskan mereka mempertimbangkan ajaran agama.
Persoalan ini semakin rumit dengan berbagai pandangan yang bertentangan di antara ulama dan cendekiawan. Perdebatan ini tidak hanya mempengaruhi pengambilan keputusan pribadi, tetapi juga menimbulkan dampak besar terhadap masyarakat secara keseluruhan, termasuk dalam bidang politik, sosial, dan pendidikan.
Tanpa harus menyalahkan masing-masing pihak, pertentangan tersebut bisa kita tangani secara harmonis. Bukan hanya mendamaikan beberapa individu atau kelompok, tetapi juga meminimalisir konflik internal Islam.
Ada yang mesti kita pahami bersama yaitu, posisi sakral dan profan. Bahwa yang mempunyai posisi sakral adalah Tuhan, dan manusia berada dalam posisi profan. Jadi, yang mempunyai kemungkinan salah adalah manusia.
Sakralitas Tuhan dalam melihat posisi wahyu dan rasio adalah keduanya sama-sama berasal dari Tuhan dan diberikan untuk umat manusia. Keduanya merupakan jalan untuk mengenal Tuhan.
Adapun dari sisi manusia, wahyu dan rasio saling melengkapi. Manusia bisa saja menyalahi penggunaan wahyu dan rasio, karena posisi manusia yang profan, tetapi juga berpotensi memaksimalkan kinerja wahyu dan rasio.
Wahyu berisi postulat-postulat teologis, historis, dan saintifik. Dan akal mempunyai peran untuk menjabarkan wahyu, menghubungkan antara teks satu dengan teks lainnya, dan mengonfirmasi kebenaran wahyu serta apa yang termuat di dalamnya.
Beberapa paham menghilangkan peran rasio (akal) karena mereka melihat persoalan ini secara urutan bukan penggunaan. Padahal pada kenyataannya, ketika seseorang ingin memahami wahyu pasti rasionya juga ikut berjalan. Sama halnya ketika Anda mau memahami alam, bukan berarti hanya indra yang bekerja tapi juga rasio. Indra dan akal justru berkerja secara bersamaan dan saling melengkapi.
Permasalahan lain adalah menganggap wahyu lebih di atas dibanding rasio (akal), atau menganggap rasio lebih di atas dibanding wahyu. Permasalahan di atas benar secara kondisional, itulah titik harmonisasi dari pertentangan tersebut.
Rasio lebih di atas dibanding wahyu dalam kondisi seseorang baru mencari agama, baru mau mengenal agama. Jadi, orang yang baru mau mengenal agama, mereka terlebih dahulu mengonfirmasi konsep-konsep dalam agama dengan menggunakan rasio (logika) seperti, Tuhan, Malaikat, Nabi, dan termasuk wahyu.
Setelah masuk dalam lingkaran agama, yang berlaku adalah ketundukan dan kepasrahan terhadap konsep-konsep agama yang sebelumnya telah terkonfirmasi. Dalam kondisi ini, Wahyu lebih di atas dibanding rasio. Peran rasio disini adalah menghubungkan teks antar teks agama, menjabarkan serta mendeskripsikan konsep-konsep keagamaan.
Mendamaikan polemik wahyu dan rasio (akal) mestilah dipandang dari segi harmoni. Baik wahyu maupun rasio, keduanya berasal dari sesuatu yang sakral dan ketika diturunkan untuk umat manusia (Islam secara khusus), keduanya berpotensi disalahartikan. Untuk itu, untuk memaksimalkan penggunaannya, selayaknya wahyu dan rasio saling melengkapi satu sama lain.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H