Mohon tunggu...
Abram Bandung
Abram Bandung Mohon Tunggu... -

Selanjutnya

Tutup

Hukum

Problematika Pemilikan Apartemen atau Unit Rumah Susun

28 Juli 2018   19:37 Diperbarui: 29 Juli 2018   14:33 1960
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Jika anda selesai beraktivitas dan hendak pulang, tempat manakah yang akan tuju?  Rumah tentunya bukan. Mau rumah kost, kontrakan, milik keluarga atau milik sendiri, yang penting bisa pulang, beristirahat, dan memiliki privasi sendiri, Pokoknya .... "My home sweet home", "Rumahku Istanaku." 

Rumah menurut UUD 45 pasal 28 H adalah salah satu hak dasar rakyat dan oleh karena itu setiap warga negara berhak untuk bertempat tinggal dan mendapat lingkungan hidup yang baik dan sehat.

Selain itu, rumah juga merupakan kebutuhan dasar manusia dalam meningkatkan harkat, martabat, mutu kehidupan dan penghidupan, serta sebagai pencerminan diri pribadi dalam upaya peningkatan tarat hidup, serta pembentukan watak, karakter dan kepribadian bangsa.

Rumah selain berfungsi sebagai tempat tinggal atau hunian dan sarana pembina keluarga yang mendukung perikehidupan dan penghidupan juga mempunyai fungsi sebagai pusat pendidikan keluarga, persemaian budaya, dan penyiapan generasi muda. Oleh karena itu, pengembangan perumahan dengan lingkungannya yang layak dan sehat merupakan wadah untuk pengembangan sumber daya bangsa Indonesia di masa depan.

Salah satu solusi untuk memiliki rumah nyaman di perkotaan  adalah tinggal di apartemen atau kondomonium  atau rumah susun.  Meskipun banyak istilah yang digunakan untuk menyebut hunian / perumahan vertikal / bertingkat, tapi dalam peraturan perundang-undangan Indonesia hanya satu istilah yang dikenal untuk semua istilah itu  yaitu rumah susun. 

Pengaturannya ada dalam Undang-Undang No. 20 Tahun 2011 tentang Rumah Susun. Faktor utama yang membedakan di lapangan antara rumah susun (rusun)  dengan apartemen dan kondominium hanyalah di fasilitas yang ditawarkan. 

Umumnya, " rusun" hanya dilengkapi dengan prasarana dasar, seperti jaringan jalan, drainase, sanitasi, air bersih dan tempat sampah. Utilitas umum atau kelengkapan penunjang pada lingkungan rumah susun antara lain adalah jaringan listrik, jaringan telepon dan jaringan gas. Sementara, pada apartemen dan kondominium tersedia fasilitas yang lebih lengkap, mulai dari lobby layaknya hotel, parkir luas, kolam renang, cafe,  dan sarana kebugaran.

Untuk memiliki bangunan rumah susun tersebut, selain mekanisme pembayaran tunai langsung atau tunai bertahap, dapat juga dilakukan melalui mekanisme pembelian melalui pembiayaan perbankan dengan jaminan unit satuan rumah susun secara kredit melalui fasilitas Kredit Pemilikan Apartemen / Rumah Susun (KPA). 

Adanya jual beli dengan obyek unit satuan rumah susun dapat menimbulkan perjanjian kredit, dimana atas obyek dapat dijadikan obyek Hak Tanggungan yang memiliki nilai kebendaan, dan dapat dieksekusi dengan kekuatan eksekutorial apabila terjadi wanprestasi/gagal bayar oleh pihak peminjam.

Pembangunan rumah susun dengan spesifikasi standar yang ditetapkan pemerintah membutuhkan pendanaan uang berjumlah yang besar untuk keperluan perencanaan pembangunan, pembelian/pembebasan tanah yang menjadi alas bangunan rumah susun, pemasaran, dan pengelolaan dalam masa garansi sebelum serah terima ke badan pengelola.

Apabila hanya mengandalkan pembiayaan atas dasar nilai tanah yang menjadi alas bangunan rumah susun, maka developer pun secara bisnis rugi karena harus mengeluarkan dana investasi yang besar tetapi pengembalian dananya cukup lama karena pembangunan rumah susun tidak secepat pembangunan unit rumah, pembangunannya harus berkesinambungan.

Bagi developer yang membangun rumah di kompleks, jika dia memiliki dana Rp. 10 Milyar, maka dia bisa membangun beberapa rumah dengan kondisi lengkap, bahkan dalam waktu 5 - 6 bulan, rumah tersebut  sudah bisa diserah terimakan ke konsumen. Sedangkan apartemen, dana sebesar itu mungkin baru untuk membangun pondasi, konstruksi dasar, dan persiapan sarana prasarana yang akan menjadi milik bersama, seperti saluran air bersih, pipa pembuangan air limbah rumah tangga, dan sarana prasarana lainnya.

Untuk investor yang digandeng developer, tingkat ketertarikan calon pembeli unit rumah susun pun menjadi pertimbangan utama mereka. Bank sebagai lembaga pembiayaan pun akan menganalisa dari tingkat kemampuan bayar developer, jika rusun yang dibangun "sepi", otomatis tingkat pemasukan dana developer akan kecil sehingga bagi bank pembiaya, adalah sangat beresiko jika menyalurkan kredit dengan jaminan tanah dan bangunan yang beresiko gagal bayar.

Untuk memperoleh pembiayaan langsung dari konsumen, developer dapat melakukan Perjanjian Pengikatan Jual Beli (PPJB) dengan konsumen. PPJB ini dilakukan dalam kondisi bangunan belum seutuhnya jadi, yaitu minimal telah dibangun 20% sebagaimana digariskan dalam Pasal 43 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2011.

Prinsipnya dalam Pasal 42,  pelaku pembangunan dapat melakukan pemasaran sebelum pembangunan rumah susun dilaksanakan dengan sekurang-kurangnya telah memiliki:kepastian peruntukan ruang; kepastian hak atas tanah;kepastian status penguasaan rumah susun; perizinan pembangunan rumah susun; dan jaminan atas pembangunan rumah susun dari lembaga penjamin.

Dalam hal pemasaran dilakukan sebelum pembangunan rumah susun, segala sesuatu yang dijanjikan oleh pelaku pembangunan dan/atau agen pemasaran mengikat sebagai perjanjian pengikatan jual beli (PPJB) bagi para pihak.

Jaminan dalam pasal 42 ayat 2 butir e diatas, menurut penjelasan undang-undangnya: Yang dimaksud dengan "jaminan atas pembangunan
rumah susun" dapat berupa surat dukungan bank atau nonbank. Jadi perihal penjaminan dalam pasal 42 UU Rusun, lembaga pembiayaan telah dilibatkan oleh undang-undang dalam hal penjaminan sebagai penjamin atas pembangunan rumah susun.

Terdapat aturan pembiayaan dan kredit konstruksi dalam UU No. 20 tahun 2012 sebagai dasar perlindungan hukum jaminan kredit pembiayaan pembangunan rumah susun bagi pengembang, karena Pemerintah dan/atau pemerintah daerah memberikan insentif kepada pelaku pembangunan rumah susun umum dan rumah susun khusus serta memberikan bantuan dan kemudahan bagi Masyarakat berpenghasilan rendah ( MBR) pada pasal 88 : 1 UURS.

Insentif yang diberikan kepada pelaku pembangunan salah satunya adalah fasilitas kredit konstruksi dengan suku bunga rendah. Bantuan dan kemudahan yang diberikan kepada MBR berupa: kredit kepemilikan satuan rumah susun dengan suku bunga rendah.

Dalam praktek,  ada beberapa permasalahan yang timbul dalam hubungan "pelaksana pembangunan" dengan "pemilik apartemen/ rusun antara lain 

Ketika pembeli sarusun  melunasi kredit pembelian apartemen / satuan unit rumah susun ( sarusun),  ternyata Sertifikat unit apartemen / belum jadi karena masih terkendala dalam proses splitching ( pemecahan sertifikat induk ke sertifikat unit ataupun tanah bangunan Rusun masih dijadikan agunan di bank pembiaya kredit konstruksi dan terdapat tunggakan, sehingga proses pemecahan belum dapat dilakukan karena agunan tanah induk masih ditahan oleh bank sampai tunggakan dibayar.

 Muncul keterlambatan penyelesaian sarusun atau pun terdapat tunggakan kepada pihak rekanan pelaksana pembangunan, dalam praktik berdampaknya juga pada munculnya gugatan kepailitan terhadap developer / pelaksana pembangunan dengan obyek pailit tanah dan bangunan rusun.

Jika  proses kepailitan berjalan, pemegang akta hak tanggungan  sebagai pemegang jaminan tanah bangunan pertama, biasanya didahulukan hak pembayarannya. Tentu  hal itu berdampak merugikan pemilik unit apartemen /sarusun, karena kenikmatan benda ( unit sarusun untuk tempat tinggal dan nilai investasi) jadi berkurang karena dalam eksekusi  pembayaran utang dalam pengaturan kurator, akan mendahulukan bank pemegang hak tanggungan yang sebenarnya telah menerima pembayaran angsuran  bunga dan pokok hutang.

Permasalahan yang lain bagi pembeli unit rusun dengan cara kredit adalah penurunan nilai jual apartemen /  sarusun yang berdampak kosongnya tingkat hunian rusun karena pihak pengelola rusun tidak cakap mengelola fasos fasum rusun, sehingga rusun menjadi tidak terawat. 

Dampak nyatanya , ketika unit  hendak dijual, nilai bangunan sudah turun dibawah nilai pelunasan ke bank. Karena keberadaan Badan Pengelola rumah susun yang tugas pengelolaannya meliputi kegiatan operasional, pemeliharaan dan perawatan bagian bersama, benda bersama, tanah bersama, dan pengelolaan rumah susun tersebut harus dilaksanakan oleh "pengelola yang berbadan hukum", kecuali rumah susun umum sewa, rumah susun khusus dan rumah susun negara. 

Karena itu, peran pemerintah sebagai regulator dan pengawas sangat diperlukan.  Perlunya adanya  aturan pelaksana dari UU Rumah Susun, seperti dalam hal kejelasan  status sarusun agar tidak disalahgunakan.

Sebagaimana diketahui, developer dapat menjaminkan tanah dan bangunan rusun untuk pembiayaan pembangunan rusun dengan kredit konstruksi. 

Untuk mengikat konsumen, jika batas 20 % pembangunan telah dibangun, maka antara konsumen dan developer dapat dilakukan perjanjian pengikatan jual beli bangunan (PPJB). Dalam praktik, ketika developer membutuhkan dana sedangkan SHM Sarusun telah telah terbit perunit, developer sebagai debitur, melunasi hutangnya ke bank pemberi kredit konstruksi dengan cara take over ke bank lain dengan jaminan SHM Sarusun para konsumennya tersebut secara diam-diam. 

Jadi dana mereka dapatkan, tetapi sertifikat kepemilikan unit konsumennya tetap "tersandera" di bank .

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun