Mohon tunggu...
Abram Bandung
Abram Bandung Mohon Tunggu... -

Selanjutnya

Tutup

Hukum

Problematika Pemilikan Apartemen atau Unit Rumah Susun

28 Juli 2018   19:37 Diperbarui: 29 Juli 2018   14:33 1960
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Jika  proses kepailitan berjalan, pemegang akta hak tanggungan  sebagai pemegang jaminan tanah bangunan pertama, biasanya didahulukan hak pembayarannya. Tentu  hal itu berdampak merugikan pemilik unit apartemen /sarusun, karena kenikmatan benda ( unit sarusun untuk tempat tinggal dan nilai investasi) jadi berkurang karena dalam eksekusi  pembayaran utang dalam pengaturan kurator, akan mendahulukan bank pemegang hak tanggungan yang sebenarnya telah menerima pembayaran angsuran  bunga dan pokok hutang.

Permasalahan yang lain bagi pembeli unit rusun dengan cara kredit adalah penurunan nilai jual apartemen /  sarusun yang berdampak kosongnya tingkat hunian rusun karena pihak pengelola rusun tidak cakap mengelola fasos fasum rusun, sehingga rusun menjadi tidak terawat. 

Dampak nyatanya , ketika unit  hendak dijual, nilai bangunan sudah turun dibawah nilai pelunasan ke bank. Karena keberadaan Badan Pengelola rumah susun yang tugas pengelolaannya meliputi kegiatan operasional, pemeliharaan dan perawatan bagian bersama, benda bersama, tanah bersama, dan pengelolaan rumah susun tersebut harus dilaksanakan oleh "pengelola yang berbadan hukum", kecuali rumah susun umum sewa, rumah susun khusus dan rumah susun negara. 

Karena itu, peran pemerintah sebagai regulator dan pengawas sangat diperlukan.  Perlunya adanya  aturan pelaksana dari UU Rumah Susun, seperti dalam hal kejelasan  status sarusun agar tidak disalahgunakan.

Sebagaimana diketahui, developer dapat menjaminkan tanah dan bangunan rusun untuk pembiayaan pembangunan rusun dengan kredit konstruksi. 

Untuk mengikat konsumen, jika batas 20 % pembangunan telah dibangun, maka antara konsumen dan developer dapat dilakukan perjanjian pengikatan jual beli bangunan (PPJB). Dalam praktik, ketika developer membutuhkan dana sedangkan SHM Sarusun telah telah terbit perunit, developer sebagai debitur, melunasi hutangnya ke bank pemberi kredit konstruksi dengan cara take over ke bank lain dengan jaminan SHM Sarusun para konsumennya tersebut secara diam-diam. 

Jadi dana mereka dapatkan, tetapi sertifikat kepemilikan unit konsumennya tetap "tersandera" di bank .

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun