Mohon tunggu...
abraham raubun
abraham raubun Mohon Tunggu... Ahli Gizi - Ahli gizi
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Olah raga, kuliner

Selanjutnya

Tutup

Healthy Pilihan

Gizi Akrab di Bibir, dalam Tindakan Sering Tersingkir

17 Februari 2024   09:56 Diperbarui: 17 Februari 2024   09:57 89
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kesehatan. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Schantalao

"Mensana in corpore sano", dalam tubuh yang sehat terdapat jiwa yang kuat, demikian kata pepatah. Maksudnya di sini sehat secara jasmani dan rohani. Jika menurut definisi Badan Kesehatan Dunian (WHO) " Health is a state of complete fisical, mental and social wellbeing and not merely diabsance of desseases and afirmity". Ini keadaan sehat jasmani, jiwa dan sosial dan bukan hanya terbebas dari penyakit dan kelemahan. Hali ini yang memungkinkan setiap orang hidup produktif secara sosial dan ekonomi. Berarti kesehatan seseorang tidak hanya diukur dari aspek fisik, mental, dan sosial saja, tapi juga dapat diukur dari aspek produktivitasnya dalam arti mempunyai pekerjaan atau menghasilkan secara ekonomi.

Bagaimana mencapai sehat jasmani, pastinya manusia perlu zat-zat tertentu yang asalnya dari makanan. Jumlah yang dibutuhkkan tertentu pula. Hal ini banyak terkait dengan istilah gizi ataupun ilmu gizi.

Istilah Gizi sudah tidak asing lagi. Banyak orang sudah mendengar dan akrab dengan istilah gizi dan ilmu gizi. Meski sudah akrab, tapi sebagian besar mungkin tidak atau belum pernah mengetahui apa lagi memahami liku-liku perkembangannya, khususnya di Indonesia.  Perlukah zat gizi bagi manusia? Ini pertanyaan yang menggelitik. Mungkin bagi yang sangat awam tahunya bukan zat gizi tapi lebih kenal dengan vitamin atau makanan yang menyehatkan badan.

Konsep awal gizi kini sudah bergeser. Seiring dengan perkembangan zaman, di abad modern konsep gizi yang menyatakan bahwa manusia perlu zat-zat tertentu dari makanan dalam jumlah tertentu ikut bergeser pula. Pasalnya sekarang pergeserannya seperti apa? Kapan Gizi mulai diakui sebagai ilmu pengetahuan (sains)?  

Ternyata ilmu Gizi baru diakui pada abad ke 20, setelah penemuan ilmu-ilmu lain di bidang kimia, faal atau fisiologi serta penemuan-penemuan vitamin, protein dan zat gizi lainnya. Tidak heran kalau Sebagian orang lebih kenal vitamin dari pada zat gizi. Penemuan-penemuan inilah yang menjadi dasar ilmu gizi, kemudian diperkuat dengan perkembangan ilmu teknologi pangan (Food Science and technology).

Ketika makanan yang dikonsumsi memenuhi selera banyak orang dan mereka merasakan manfaatnya, pasti itu ulah komponen tertentu dari makanan tersebut yang tidak lepas dari sentuhan teknologi, teknologi pangan khususnya. Ilmu teknologi pangan ini mempelajari pangan sebagai pembawa komponen tertentu dari makanan untuk dikonsumsi dalam jumlah yang seimbang dan aman serta memenuhi selera.

Manusia berkembang, ilmu gizi dan ilmu teknologi pangan pun ikut berkembang. Perkembangannya mengikuti perkembangan masalah yang dihadapi manusia. Tantangannya muncul dari waktu kewaktu, utamanya tantangan untuk menentukan jenis dan kecukupan gizi yang optimal untuk mendukung kelangsungan hidup manusia yang makin panjang dan produktif.

Ilmu gizi punya peran penting. Sejauh mana peran penting ini? Dari berbagai penelitian, dihasilkan pentingnya peran ilmu gizi dalam ekspresi genetik, peran zat bioaktif  (zat lain bukan zat gizi) dalam makanan yang kemudian dikenal dengan fuctional foods. Aplikasinya banyak untuk memecahkan masalah gizi disamping mendorong perkembangannya dimasa-masa mendatang. Secara umum masyarakat banyak mungkin tidak terlalu menaruh perhatian pada kandungan zat-zat gizi yang ada didalamnya, yang penting bagi mereka makanan ini punya khasiat dan bermanfaat bagi kesehatan mereka.

Dimensi gizi dalam pembangunan nasional penuh dengan pergumulan yang panjang. Di Indonesia, baru sekitar periode 2014-2019, penanggulangan masalah gizi masuk di era pembangunan bersama dengan penanggulangan gizi kurang dan gizi buruk. Gizi buruk merupakan bentuk terparah dari proses terjadinya kekurangan gizi. Berbeda dengan gizi kurang meskipun sebenarnya jumlahnya lebih banyak, kurang mendapat perhatian karena tidak mudah diketahui umum. Padahal kelompok ini adalah kandidat yang akan terpuruk masuk dalam keadaan gizi buruk bila tidak dicegah.

Memang masih banyak orang berpendapat bahwa masalah gizi otomatis akan teratasi jika ekonomi negara meningkat dan membaik. Dasar teori ini adalah hukum Engel. Intinya makin tinggi pendapatan, prosentase pengeluaran atau belanja untuk makan makin turun. Kualitas makanan yang dibeli makin baik nilai gizinya. Statistik nasional juga menunjukkan demikian, makin tinggi pendapatan nasional makin baik susunan gizi makanan penduduknya. Hal tersebut di atas memang sulit atau hampir tak terbantahkan. Tapi, tunggu dulu ada tetapinya juga. Statistik juga menunjukkan bahwa tingkat ekonomi baru mulai nyata pengaruhnya terhadap perbaikan gizi pada tingkat pendapatan kira-kira $600 per kapita per tahun. Tampaknya masalah kurang gizi di negeri tercinta ini masih "tersembunyikan" dibalik hiruk pikuknya pesta demokrasi, transformasi dan otonomi serta pemilihan kepala daerah bahkan sampai kepemilihan Kepala Desa. Upaya mencerahkan pemahaman tentang bahaya generasi yang terpapar dan terdampak masalah gizi memang sudah banyak juga yang dilakukan.

Permasalahan pangan dan gizi berkembang sangat cepat dan kompleks. Pasalnya tidak lepas dari pengaruh berbagai perubahan di tingkat global dan nasional. Betapa tidak dalam lingkup dalam negeri tantangan yang sampai saat ini belum terselesaikan adalah akses terhadap pangan yang cukup, bergizi, bermutu, aman serta dalam harga yang terjangkau. Bagaimana menghadapinya? Untuk menjawab tantangan ini tentu menjadi pekerjaan lintas sektoral. Disamping itu, peran kelembagaan di komunitas untuk menyelesaikan masalah pangan dan gizi ini juga penting.

Jika masalah gizi ini penting seberapa besarkah perhatian yang diberikan? Catatan menunjukkan Bank Dunia baru menaruh perhatian yang lebih serius diseputaran tahun 1990. Sebelumnya, ilmu gizi dan masalah gizi di lingkugan PBB misalnya, hanya berada dalam ranah bahasan oleh badan-badan PBB seperti UNICEF, FAO dan WHO.  Baru di tahun 1990, Bank Dunia dalam laporannya mengulas berbagai program gizi sebagai bagian kegiatan penanggulangan kemiskinan di beberapa negara berkembang. Kemudian pernyataan bahwa peran perbaikan gizi sebagai suatu investasi pembangunan dengan keuntungan jangka pendek dan jangka panjang yang nyata, ditahun-tahun berikutnya lebih ditegaskan lagi. Ujud dari pernyataan tersebut kemudian terlihat dalam bentuk pinjaman untuk upaya perbaikan gizi relative makin besar jumlahnya.

Bagaimana dengan aplikasi ilmu gizi? Perkembangan terakhir menunjukkan aplikasi ilmu gizi mulai menjangkau bidang yang lebih sensitive yaitu hak azasi manusia. Kapan hal sensitive ini mulai mencuat? Bermula dari suatu simposium di Genewa April 1999. "Pendekatan Hak Asasi Manusia dalam Kebijakan dan Program Pangan dan Gizi" begitu judul yang diangkat komisi hak azasi manusia PBB dalam symposium itu. Di dalamnya dibahas deklarasi PBB tahun 1966 tentang hak asasi Ekonomi, Politik, dan Budaya.  

"Setiap orang berhak untuk memperoleh cukup makanan, dan hak asasi untuk bebas dari kelaparan dan kurang gizi."  Berdasarkan ini deklarasi tersebut mewajibkan negara untuk menghormati, melindungi dan memenuhi hak manusia mengenai pangan dan gizi. Gagal memenuhi hal ini dianggap melanggar hak asasi.

Dengan demikian dimensi ilmu gizi tidak lagi hanya meliputi bidang-bidang kesehatan, biomedis dan pertanian, tetapi juga ekonomi, sosial, budaya serta hukum. Karena itu aplikasi ilmu gizi untuk mengatasi masalah gizi di masyarakat memerlukan pemahan terhadap sifatnya yang sangat interdisiplin.

Adalah Alan Berg yang menyorot tentang bagaimana seharusnya melihat masalah gizi di masyarakat dari sudut pandang berbagai disiplin. Ia membuat suatu preposisi. Suatu masalah gizi jelas adalah masalah kesehatan. Tapi penanggulangannya tidak akan efektif kalau pendekatan yang dilakukan  hanya secara medis atau pelayanan kesehatan. Kalau masalah gizi dianggap sebagai masalah kekurangan pangan, lalu cara mengatasinya tentu tidak dengan sendirinya hanya dari segi pertanian atau peningkatan persediaan pangan. 

Di banyak negara berkembang daya beli dan penyediaan pangan pada tingkat rumah tangga lebih banyak menyangkut segi ekonomi. Belum lagi masalah gizi ganda yang dihadapi didekade-dekade terakhir ini yang melanda negara-negara berkembang, termasuk Indonesia. Masalah Gizi mikro kini muncul mendampingi masalah gizi makro. Inilah tren pergeseran masalah gizi ke depan, pendulumnya bergeser terus seiring waktu tanpa melepas masalah masa lalu yang masih tetap melekat. Dari masalah yang terfokus pada kekurangan protein menuju masalah vitamin dan mineral. Akibatnya beban ganda menghadang belum lepas dari masalah gizi kurang kini masalah gizi lebihpun melintang. Ibarat kata pepatah sudah jatuh tertimpa tangga pula. Masalah gizi ganda kini potensial mengguncang qualitas generasi mendatang.

Lalu bagaimana menyikapinya? Mau tidak mau atau suka tidak suka insan gizi perlu dipersiapkan lebih intens lagi, baik jumlah maupun kualitasnya. Upaya-upaya pencegahan lewat kegitan preventive atau pencegahan dan promotive di tigkat keluarga dan masyarakat perlu terus digalakkan. Memang tidak mudah merubah pola makan, seperti kata pepatah kuno Cina lebih mudah merubah suatu dinasti dari pada merubah pola makan banyak orang. Kini harus diakui produk-produk mie instan misalnya yang merupakan bahan makanan sumber energi yangmengandung kalori tinggi bahkan dijadikan laup teman makan nasi yang juga merupakan bahan makanan sumber energi atau tinggi kalori. Sedangkan sumber zat gizi dari buah dan sayuran bahkan protein hewani masih sangat terbatas. Data menunjukkan kekurangan zat gizi mikro seperti vitamin A, zat besi, Iodium, zicnk misalnya sangat kurang dalam menu makanan sehari-hari terutama bagi anak-anak.

Pada tataran kebijakan Political will  Pemeritah dan kesadaran masyarakat harus ditumbuhkan secara gencar, karena masalah gizi bukan hanya masalah nikmat di lidah dan kenyang diperut lalu selesai sampai disitu.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun