Mereka semua membaca buku setiap malam; bukan buku-buku "ringan" yang selayaknya dibaca anak-anak, tetapi buku-buku "berat" seperti buku karangan Noam Chomsky, Jared Diamond, Fyodor Dostoevsky, dan penulis-penulis besar lainnya. Setiap beberapa periode sekali, ayah mereka akan menguji pemahaman mereka atas buku yang mereka baca, layaknya ujian di sekolah.
Setiap diuji, anak-anak Ben tidak diperbolehkan memberi jawaban berupa apa yang mereka hafal atau apa yang tertulis di buku, tetapi harus dengan kata-kata mereka sendiri, sebagai bukti bahwa mereka benar-benar paham apa yang telah mereka pelajari.Â
Bahkan mereka tak boleh menggunakan kata-kata abstrak macam "interesting" (menarik) untuk mendeskripsikan sesuatu. Kata-kata abstrak tersebut mereka anggap ilegal. Mereka harus bisa menjelaskan sesuatu secara spesifik, dengan penjelasan yang rinci.
Metode pembelajaran seperti ini terbukti jauh lebih baik dibanding sistem pendidikan yang dienyam "anak-anak normal" yang pergi ke sekolah.
Ini tampak saat adegan di mana Ben berdebat (baca: cekcok) dengan saudaranya yang suami-istri di dapur tentang pentingnya sekolah bagi anak, di sela-sela kunjungannya ke kota dalam misi menculik jasad istrinya untuk dikremasi sesuai wasiat.
Ben memanggil dua keponakannya yang duduk di bangku SMA dan SMP. Keduanya gagap saat ditanyainya tentang UU HAM. Selanjutnya, dengan maksud memamerkan keampuhan metode didikannya, Ben memanggil Zaja, anaknya yang masih 8 tahun, untuk menjawab pertanyaan serupa, dan segera kedua saudaranya itu terkesima menyimak jawaban Zaja (meski tetap tak mau menerima).
Ketika caranya hidup dan mendidik anak di hutan tetap dianggap konyol, Ben justru balik bertanya: "Apakah mengetahui cara mengobati patah tulang dan luka bakar konyol?Â
Mengetahui arah dengan melihat bintang konyol? Mengetahui tanaman yang bisa dimakan dan membuat pakaian dari kulit hewan, bertahan di hutan hanya dengan pisau, konyol?"
Bagi saya, pertanyaan-pertanyaan Ben itu sungguh menohok, sekaligus mengajak kita untuk merenung, bahwa betapa sistem pendidikan yang kita jalankan selama inilah yang justru konyol.
Jika anak-anak kita perbolehkan jujur, kebanyakan dari mereka justru tak menyenangi sekolah, karena sekolah membuat mereka tertekan.
Kita tertekan dengan keharusan masuk sekolah karena ilusi terstruktur, masif, dan kolektif bahwa dengan bersekolah kita bisa memperoleh pekerjaan. Kritik yang sama bisa kita temui dalam film-film lain, antara lain dalam Joker (2019) dan 3 Idiots (2009).