Mohon tunggu...
Abul Muamar
Abul Muamar Mohon Tunggu... Editor - Editor dan penulis serabutan.

Editor dan penulis serabutan. Suka menyimak gerak-gerik hewan.

Selanjutnya

Tutup

Film Artikel Utama

Hidup di Hutan ala Keluarga "Captain Fantastic"

18 Maret 2020   10:22 Diperbarui: 18 Maret 2020   16:20 722
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber foto: The New Yorker

Captain Fantastic memang telah tayang sejak tahun 2016 dan tak memenangkan penghargaan Academy Awards (Oscar) tapi saya pikir, film yang memuat banyak kritik ini tetap---dan akan selalu---asyik dibicarakan ramai-ramai.

Kritik dalam Captain Fantastic dialamatkan pada banyak aspek, mulai dari pendidikan, kedisiplinan dalam menjaga keseimbangan jiwa dan tubuh, sampai perkara konsep agama.

Film yang ditulis oleh Matt Ross ini berkisah tentang sebuah keluarga yang terdiri dari seorang ayah dengan enam anaknya yang hidup di hutan belantara selama kurang lebih belasan tahun.

Si ayah, Ben Cash (diperankan oleh Viggo Mortensen), bersama istrinya, Leslie Cash, konon menepi dari hiruk-pikuk kehidupan perkotaan di Washington dan memilih tinggal di hutan, membawa serta anak pertama mereka, Bodevan, yang saat itu masih kecil.

Ketidakberterimaan mereka atas kehidupan negara yang fasis-kapitalistis menjadi alasan utama mereka menepi ke hutan. Berbekal barang-barang secukupnya, mereka hendak membangun negeri "Republik Plato" di hutan. Mereka menempa anak-anak mereka menjadi filsuf.

Sayangnya, si istri menderita bipolar sejak melahirkan anak pertama, hingga berujung bunuh diri setelah tak kembali ke hutan selama lebih dari tiga bulan.

Dari awal, film ini mencoba menawarkan apa yang ditempuh Ben Cash dan keluarganya (dengan tinggal di hutan) sebagai pilihan metode hidup alternatif di tengah kehidupan yang makin hari makin kapitalistik.

Keluarga Ben memanfaatkan apa-apa yang ada di hutan untuk makan, membuat pakaian, dan lainnya. Mereka mampu berburu rusa tanpa senapan ataupun panah, tahu tumbuhan yang baik untuk dimakan atau dijadikan obat. Membuat api tanpa korek sudah jadi tugas mudah bagi anaknya yang paling kecil sekalipun.

Ben menerapkan latihan fisik yang ketat kepada semua anaknya, termasuk si bungsu Zaja yang masih berusia 8 tahun, juga kepada dua anak perempuannya. Tidak cuma sekadar berlari dan merunduk dan push-up, tetapi juga latihan panjat tebing. Disiplin itu membuat anak-anaknya memiliki kekuatan fisik setara atlet profesional.

Kritik paling menonjol ditujukan kepada sistem pendidikan yang dianut hampir seluruh negara di dunia. Meski hidup di hutan, tidak berarti anak-anak Ben cuma unggul dalam kekuatan fisik semata.

Mereka (mulai dari Bodevan yang diam-diam mendaftar ke beberapa kampus Ivy League dan diterima banyak kampus, lalu Kielyr, Vespyr, Rellian, Zaja, dan Nai) juga disiplin dalam memberi "nutrisi" otak. Mereka menganggapnya sebagai "home-schooling" meski tentu tanpa akreditasi.

Mereka semua membaca buku setiap malam; bukan buku-buku "ringan" yang selayaknya dibaca anak-anak, tetapi buku-buku "berat" seperti buku karangan Noam Chomsky, Jared Diamond, Fyodor Dostoevsky, dan penulis-penulis besar lainnya. Setiap beberapa periode sekali, ayah mereka akan menguji pemahaman mereka atas buku yang mereka baca, layaknya ujian di sekolah.

Setiap diuji, anak-anak Ben tidak diperbolehkan memberi jawaban berupa apa yang mereka hafal atau apa yang tertulis di buku, tetapi harus dengan kata-kata mereka sendiri, sebagai bukti bahwa mereka benar-benar paham apa yang telah mereka pelajari. 

Bahkan mereka tak boleh menggunakan kata-kata abstrak macam "interesting" (menarik) untuk mendeskripsikan sesuatu. Kata-kata abstrak tersebut mereka anggap ilegal. Mereka harus bisa menjelaskan sesuatu secara spesifik, dengan penjelasan yang rinci.

Metode pembelajaran seperti ini terbukti jauh lebih baik dibanding sistem pendidikan yang dienyam "anak-anak normal" yang pergi ke sekolah.

Ini tampak saat adegan di mana Ben berdebat (baca: cekcok) dengan saudaranya yang suami-istri di dapur tentang pentingnya sekolah bagi anak, di sela-sela kunjungannya ke kota dalam misi menculik jasad istrinya untuk dikremasi sesuai wasiat.

Ben memanggil dua keponakannya yang duduk di bangku SMA dan SMP. Keduanya gagap saat ditanyainya tentang UU HAM. Selanjutnya, dengan maksud memamerkan keampuhan metode didikannya, Ben memanggil Zaja, anaknya yang masih 8 tahun, untuk menjawab pertanyaan serupa, dan segera kedua saudaranya itu terkesima menyimak jawaban Zaja (meski tetap tak mau menerima).

Ketika caranya hidup dan mendidik anak di hutan tetap dianggap konyol, Ben justru balik bertanya: "Apakah mengetahui cara mengobati patah tulang dan luka bakar konyol? 

Mengetahui arah dengan melihat bintang konyol? Mengetahui tanaman yang bisa dimakan dan membuat pakaian dari kulit hewan, bertahan di hutan hanya dengan pisau, konyol?"

Bagi saya, pertanyaan-pertanyaan Ben itu sungguh menohok, sekaligus mengajak kita untuk merenung, bahwa betapa sistem pendidikan yang kita jalankan selama inilah yang justru konyol.

Jika anak-anak kita perbolehkan jujur, kebanyakan dari mereka justru tak menyenangi sekolah, karena sekolah membuat mereka tertekan.

Kita tertekan dengan keharusan masuk sekolah karena ilusi terstruktur, masif, dan kolektif bahwa dengan bersekolah kita bisa memperoleh pekerjaan. Kritik yang sama bisa kita temui dalam film-film lain, antara lain dalam Joker (2019) dan 3 Idiots (2009).

Pada dasarnya, cara hidup Ben bukan sebatas metode, apalagi metode yang dirancang. Cara hidupnya lebih berupa cara pandang; soal pemikiran. Itu tampak, misalnya, ketika ia tidak gelisah atau malu sedikitpun saat dilihati sepasang lansia dalam keadaan telanjang bulat. "Ini hanya penis. Semua laki-laki punya. Kita semua binatang di bumi ini," katanya santai.

Termasuk juga dalam mendidik anaknya. Ia tak menganggap tabu sedikitpun ketika menjelaskan tentang perkosaan dan senggama kepada Zaja yang penasaran. 

Apakah itu berefek membuat anaknya jadi minus moral? Ternyata tidak. Ben juga tak lupa mengajarkan anaknya soal etika. Semisal ketika anaknya mengejek manusia-manusia gendut mirip kuda nil.

Salah satu bagian yang paling menarik sekaligus lucu bagi saya dalam film ini adalah soal kedisiplinan dalam hal menjaga kesehatan tubuh, termasuk makanan. 

Saking sehatnya mereka, anak-anak Ben sampai terheran-heran saat melihat orang-orang gendut, mengira orang-orang itu sakit. Juga ketika mereka singgah di restoran cepat saji karena lapar.

Bagi Ben, semua menu yang tersedia di restoran itu (antara lain hotdog, burger, pancake, keju panggang, milkshake, cola, dan lainnya) bukan makanan, melainkan racun. Saya terkekeh menyimak fragmen ini.

Tentu saja yang tak kalah menohok adalah kritik terhadap agama. Saat menyampaikan pidato kematian istrinya di gereja, Ben berkata, "Pertama-tama, Leslie mempraktikkan Buddhisme, yang baginya merupakan filosofi dan bukan agama yang terorganisir. 

Kenyataannya Leslie benci semua konsep agama. Baginya, semua konsep agama adalah dongeng membahayakan yang pernah ada, yang dibuat untuk menciptakan kepatuhan buta dan memberikan ketakutan bagi hati orang yang tak bersalah...."

Kepada Rellian, anaknya yang merajuk dan menganggap konyol kebiasaan merayakan hari kelahiran Noam Chomsky dan berharap keluarganya merayakan Natal seperti keluarga pada umumnya, Ben bilang, "Kau lebih ingin merayakan peri magis fiktif daripada hidup orang yang telah memperjuangkan HAM?"

Lalu bagaimana laku spiritual dan meditasi keluarga Ben?

Mereka disiplin mempraktikkan Pranayama (semacam latihan pengendalian napas yang mengalir ke dalam asana) dan Samadhi (laku ritual konsentrasi tingkat tinggi yang melampaui kesadaran alam jasmani; terdapat dalam ajaran Hindu, Budha, Jainisme, Sikhisme, dan yoga). 

Laku spiritual itu menjaga hati mereka tetap lembut, tidak mudah menyakiti makhluk lain, bahkan termasuk hewan buruan (ini bisa dilihat saat Vespyr, salah satu anak Ben, batal menembak kambing yang hanya berdiam diri saat mereka kelaparan. Juga saat Bodevan menyembelih rusa di awal film).

Pada akhirnya, tantangan yang harus dihadapi keluarga Ben adalah tanggapan dari "orang-orang normal".

Di mata "orang-orang normal", Ben dan anak-anaknya tak lebih dari orang-orang aneh. Ini adalah konsekuensi yang tidak enteng, malahan bisa lebih berat dibanding harus berhadapan dengan hukum formal. 

Ini cukup dirasakan Bodevan (George Mackay) saat ia jatuh cinta pada seorang gadis bernama Claire (Erin Moriarty). Cintanya ditolak mentah-mentah dengan ejekan merendahkan oleh ibu si gadis.

Jadi bagaimana, apakah kalian tertarik mencoba jalan hidup seperti keluarga Ben? Saya pikir, ketika hidup di tengah masyarakat "normal" sudah demikian tak menyenangkan, tak ada salahnya mencoba. Yuk kita bangun negeri Republik Plato. (*)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Film Selengkapnya
Lihat Film Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun