Mohon tunggu...
Abul Muamar
Abul Muamar Mohon Tunggu... Editor - Editor dan penulis serabutan.

Editor dan penulis serabutan. Suka menyimak gerak-gerik hewan.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Pragmatisme Pedagang Kuliner di Jogja

13 Juli 2018   12:46 Diperbarui: 15 Juli 2018   15:13 2698
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Nasi bungkus di Jogja (foto: Dok. Pribadi)

Hidup di kota dalam banyak aspek memang jauh lebih memudahkan dibanding di desa. Di kota, akses terhadap pendidikan, layanan kesehatan, dan berbagai fasilitas dan kebutuhan lainnya, mulai dari yang primer sampai yang tersier, yang nyata maupun yang semu, jauh lebih mudah dijangkau.

Meski begitu, kota tetap meninggalkan banyak kekurangan, antara lain misalnya keamanan yang rawan, tingkat kriminalitas yang tinggi, sikap masyarakatnya yang cenderung acuh tak acuh, dan lingkungan yang cenderung kurang sehat.

Sampai di sini, kita harus bisa menerimanya dengan hati lapang, karena memang demikian niscayanyalah kekurangan-kekurangan tersebut. Dengan pola kehidupan yang diburu oleh macam-macam kesibukan, dengan perantau dari berbagai asal, manalah mungkin kita bisa mengelak dari kenyataan-kenyataan demikian.

Tapi malangnya, kekurangan-kekurangan itu masih ditambah lagi dengan satu perkara yang agaknya selama ini kurang mendapat perhatian: penyajian kuliner yang banal.

Saya sadar, akan ada banyak dari Anda yang tak bersepakat dengan pendapat saya ini. Siapa bilang makanan di kota tidak enak? Begitu kira-kira, bukan? Saya toh memang tidak ada mengatakan demikian.

Untuk itu, saya perlu menjelaskan di sini, bahwa banal yang saya maksud adalah penyajian yang cenderung asal jadi, tidak berorientasi pada kualitas masakan, dengan bahan mentah yang semurah-murahnya, demi mendapatkan laba yang sebesar-besarnya.

Ini memang sudah jadi watak hampir semua pedagang makanan di kota-kota padat pendatang. Jika di kampung para pedagang makanan berjerih payah membuat makanan yang bermutu demi mengais sedikit untung dari pembeli yang jumlahnya tak banyak; di kota, sebaliknya, para pedagangnya akan berlomba-lomba membuat makanan dengan cara yang sebanal-banalnya, tak peduli masakannya enak atau tidak, karena tahu bahwa bagaimanapun cita rasa yang dihasilkan, tetap akan ada yang membeli.

Contoh paling nyata dan aktual, yang barangkali selamanya ini kurang Anda perhatikan, adalah soal bungkusan makanan. Di kota, betapa ajaib kalau kita bisa menemukan entah itu nasi rames atau nasi goreng atau lotek yang dibungkus dengan daun pisang.

Bahkan, tak jarang, sekadar lapisan dalamnya pun tidak. Luar kertas, dalam pun kertas. Kalau sudah begini namanya Insya Allah healthy inside fresh outside. Dan ini adalah momentum ketika pedagang makanan sudah tak lagi memartabatkan pembelinya.

Celakanya, yang demikian saya temui pula di Jogja, kota yang konon disebut-sebut sebagai kota budaya, kota tradisi. Tentu saya bisa maklum jika hal demikian saya temui di kota-kota besar metropolitan macam Jakarta, Bandung, Surabaya, dan kota asal saya, Medan.

Tapi ini Jogja! Jogja gitu lho! Kota yang selama ini diasumsikan sebagai kota yang menjaga nilai-nilai luhur dan tradisi. Maka betapa berat saya menerima kenyataan bahwa para pedagang di kota yang anyem tentrem ini jarang ada pedagang makanan yang pakai daun pisang untuk membungkusi jualannya.

Tentu tak ada maksud saya menjelek-jelekkan Jogja. Sama sekali tidak ada. Justru, kritik ini mesti saya tuliskan sebagai bentuk kepedulian saya terhadap Jogja, agar ikon pariwisata Indonesia ini tetap kental tradisi ke-Indonesiaan-nya, tetap terjaga nama baiknya. Sebab, sudah cukup sering saya mendengar bisik-bisik kekecewaan pelancong di Jogja, terutama menyangkut kuliner dan cara penyajiannya.

Kalau soal rasa, yang konon cenderung manis dan minim rempah-rempah, barangkali bisa dimaklumi sebagai bentuk relativitas selera lidah. Namun soal penyajian, daun pisang sebagai bungkusan misalnya, kiranya tak ada alasan yang dapat dibenarkan.

Sudah dua tahun saya hidup kota istimewa ini, dan mendapati bahwa makanan dengan bungkusan daun pisang memang alangkah langkanya. Untuk diketahui, saya tinggal di Jalan Kaliurang KM 6,5, kawasan di mana terdapat banyak penjual makanan, mulai dari yang harga mahasiswa sungguhan, sampai dengan yang harga mahasiswa yang direkayasa.

Tadinya saya pikir, barangkali hanya di tempat tinggal saya saja yang seperti ini. Tetapi ternyata tidak. Sudah saya coba berkeliling wilayah Jogja dan Sleman dan Bantul, dan kembali mendapati kenyataan yang sama. Hanya daerah-daerah yang sungguh-sungguh pinggiran, macam Kasihan, Klaten, Wates, yang pedagangnya masih mau memakai daun pisang.

Maka setiap kali saya membeli nasi bungkus, di situ saya selalu ngedumel dalam hati.

Kenapa sih tidak pakai daun pisang? Udah macam beli nasi di Amerika aja! Ini Indonesia, Buk, Pak! Pakailah daun pisang! Seleraku akan bertambah kalau kalian pakai daun pisang. Makanan kalian yang tadinya tak seberapa rasanya di lidahku, akan jadi istimewa kalau minimal dilapis daun pisang. Apa karena kalian sadar kalau yang membeli makanan kalian itu mayoritas anak kos, makanya kalian sepele? 

"Ah, orang cuma anak kos aja kok, ngapainlah pake-pake daun pisang segala. Toh kalau kalian lapar, kalian beli juga!" barangkali begitu dalam benak para pedagang makanan itu, pikir saya di satu kesempatan.

Lain kesempatan, saya mencoba menganalisis secara logis. Setelah mengetahui bahwa harga daun pisang jauh lebih mahal dibanding harga kertas (bisa sampai lima kali lipat), saya jadi sedikit mafhum kenapa mereka tidak mau pakai daun pisang. Sudahlah mahal, ribet pula, harus mengoyak dan mengelapnya segala.

Jengah mendapati kenyataan pahit demikian, dan tak puas hanya menerka-nerka alasannya, serta untuk menghindari anggapan orang-orang bahwa saya hanya sinis dan kurang menjelajahi warung-warung makanan di Jogja, akhirnya saya mengadakan survei kecil-kecilan.

Dengan angket ala-ala mahasiswa semester akhir yang sedang bergelut dengan tugas akhir, saya pun menyusun beberapa pertanyaan untuk mencari tahu kenapa daun pisang sangat jarang digunakan oleh pedagang-pedagang makanan tersebut. Pertanyaannya sebagai berikut:

1. Sudah berapa lama Anda berdagang makanan? (tidak pakai opsi jawaban)

2. Anda warga mana?

a. Asli Jogja

b. Pendatang tapi sudah lama dan menetap di Jogja

c. Pendatang baru


3. Siapa mayoritas pembeli dagangan Anda?

a. Perantau (anak kos dan pekerja)

b. Warga asli Jogja


4. Apakah Anda memakai daun pisang untuk bungkusan dagangan Anda?

a. Ya

b. Tidak


(Pertanyaan berhenti di nomor 4 jika jawabannya 'Ya')

5. Apa alasan Anda tidak pakai daun pisang?

a. Karena mahal

b. Karena repot

c. Dua-duanya benar


6. Sudah berapa lama Anda tidak memakai daun pisang?

a. Sejak awal berdagang

b. Baru-baru ini

c. Sudah beberapa tahun


7. Apakah Anda menyadari bahwa daun pisang adalah bagian dari tradisi penyajian makanan kita?

a. Ya

b. Tidak


8. Ke depan, maukah Anda memakai daun pisang meski harganya lebih mahal dibanding kertas?

a. Ya

b. Tidak


Angket tersebut saya sebar ke 50 pedagang makanan, mulai nasi rames, ayam geprek, warung Lamongan, warung lotek, pedagang lotek, warung burjo (sekarang Warmindo), dan lainnya di wilayah Sleman-Jogja-Bantul.

Selain menjawab angket tersebut, dari hasil jawaban mereka saya juga melakukan wawancara kualitatif barang beberapa menit, mengobrol ringan seraya memastikan mereka tidak sakit hati atas ketidaksopanan survei yang saya lakukan.

Lalu, dari hasil rekapitulasi yang saya kumpulkan, saya mendapati bahwa mayoritas pedagang yang tidak memakai daun pisang, mengakui bahwa mereka tidak memakainya karena harganya yang mahal dan penggunaannya yang repot.

Terhadap pengakuan ini, saya sempatkan mengajukan pertanyaan, "tidakkah kalian ingin melestarikan tradisi kita memakai daun pisang untuk membungkus makanan?" Namun sia-sia, karena mereka hanya menjawab dengan tertawa saja, seakan saya ini orang gila yang kurang kerjaan telah membikin survei begituan.

Dugaan saya di awal tadi ternyata benar, bahwa memang mayoritas pembeli makanan mereka adalah perantau (anak kos atau pekerja). Sebab itulah mereka merasa tidak perlu repot menggunakan daun pisang, karena optimis tidak mungkin pelanggan mereka batal membeli hanya karena bungkusannya kertas.

Yang menarik, terhadap pertanyaan sejak kapan mereka tidak pakai daun pisang, ternyata mayoritas jawabannya adalah sudah beberapa tahun belakangan, rata-rata enam sampai delapan tahun terakhir. Artinya, budaya pragmatisme dalam penyajian makanan di Jogja, sudah berlangsung cukup lama. Saya memprediksi hal ini akan semakin menjadi-jadi di tahun-tahun mendatang.

Pada dasarnya, para pedagang yang saya sambangi itu tahu bahwa memakai daun pisang sungguh lebih baik dibanding kertas. Tetapi apa boleh buat, seperti yang saya katakan di atas, atas nama kepraktisan, juga menekan biaya pengeluaran, demi mendapatkan untung yang lebih banyak, mereka langgeng meniadakan daun pisang dari warung mereka.

Ditanya bagaimana ke depannya, mereka kebanyakan menjawab, "Ya, orang pakai kertas aja banyak yang beli kok."

Kalau sudah begitu, saya mau bilang apa? Lebih baik saya diam, lekas cabut dari warung mereka, sebelum diteriaki, "Orang gila!"

Jika mempertahankan daun pisang sebagai bungkusan makanan saja kita gagal, bagaimana kita bisa melestarikan tradisi-tradisi kita yang lain, semisal unggah-ungguh, tepa salira, gotong-royong, dan lainnya, yang sudah lama jadi kebanggaan bangsa kita?

Sebelum tulisan ini diakhiri, saya yang kurang kerjaan ini ingin membagikan sedikit informasi dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), bahwa kertas coklat yang biasa dipakai untuk membungkus makanan oleh kebanyakan pedagang itu, yang telah menyisihkan daun pisang yang kita rindukan, ternyata tidak baik untuk kesehatan.

Kertas-kertas coklat itu, mengandung bakteri sekitar 1,5 juta koloni per gram. Dengan berat rata-rata 70-100 gram, itu berarti kertas-kertas itu mengandung 150 juta bakteri. Beberapa penyakit yang bisa ditimbulkannya adalah kanker, kerusakan hati dan kelenjar getah bening, mengganggu sistem endokrin, mutasi gen, hingga kerusakan reproduksi (Lipi.go.id). Waduh....

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun