Mohon tunggu...
Abul Muamar
Abul Muamar Mohon Tunggu... Editor - Editor dan penulis serabutan.

Editor dan penulis serabutan. Suka menyimak gerak-gerik hewan.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Pragmatisme Pedagang Kuliner di Jogja

13 Juli 2018   12:46 Diperbarui: 15 Juli 2018   15:13 2698
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Nasi bungkus di Jogja (foto: Dok. Pribadi)

Tentu tak ada maksud saya menjelek-jelekkan Jogja. Sama sekali tidak ada. Justru, kritik ini mesti saya tuliskan sebagai bentuk kepedulian saya terhadap Jogja, agar ikon pariwisata Indonesia ini tetap kental tradisi ke-Indonesiaan-nya, tetap terjaga nama baiknya. Sebab, sudah cukup sering saya mendengar bisik-bisik kekecewaan pelancong di Jogja, terutama menyangkut kuliner dan cara penyajiannya.

Kalau soal rasa, yang konon cenderung manis dan minim rempah-rempah, barangkali bisa dimaklumi sebagai bentuk relativitas selera lidah. Namun soal penyajian, daun pisang sebagai bungkusan misalnya, kiranya tak ada alasan yang dapat dibenarkan.

Sudah dua tahun saya hidup kota istimewa ini, dan mendapati bahwa makanan dengan bungkusan daun pisang memang alangkah langkanya. Untuk diketahui, saya tinggal di Jalan Kaliurang KM 6,5, kawasan di mana terdapat banyak penjual makanan, mulai dari yang harga mahasiswa sungguhan, sampai dengan yang harga mahasiswa yang direkayasa.

Tadinya saya pikir, barangkali hanya di tempat tinggal saya saja yang seperti ini. Tetapi ternyata tidak. Sudah saya coba berkeliling wilayah Jogja dan Sleman dan Bantul, dan kembali mendapati kenyataan yang sama. Hanya daerah-daerah yang sungguh-sungguh pinggiran, macam Kasihan, Klaten, Wates, yang pedagangnya masih mau memakai daun pisang.

Maka setiap kali saya membeli nasi bungkus, di situ saya selalu ngedumel dalam hati.

Kenapa sih tidak pakai daun pisang? Udah macam beli nasi di Amerika aja! Ini Indonesia, Buk, Pak! Pakailah daun pisang! Seleraku akan bertambah kalau kalian pakai daun pisang. Makanan kalian yang tadinya tak seberapa rasanya di lidahku, akan jadi istimewa kalau minimal dilapis daun pisang. Apa karena kalian sadar kalau yang membeli makanan kalian itu mayoritas anak kos, makanya kalian sepele? 

"Ah, orang cuma anak kos aja kok, ngapainlah pake-pake daun pisang segala. Toh kalau kalian lapar, kalian beli juga!" barangkali begitu dalam benak para pedagang makanan itu, pikir saya di satu kesempatan.

Lain kesempatan, saya mencoba menganalisis secara logis. Setelah mengetahui bahwa harga daun pisang jauh lebih mahal dibanding harga kertas (bisa sampai lima kali lipat), saya jadi sedikit mafhum kenapa mereka tidak mau pakai daun pisang. Sudahlah mahal, ribet pula, harus mengoyak dan mengelapnya segala.

Jengah mendapati kenyataan pahit demikian, dan tak puas hanya menerka-nerka alasannya, serta untuk menghindari anggapan orang-orang bahwa saya hanya sinis dan kurang menjelajahi warung-warung makanan di Jogja, akhirnya saya mengadakan survei kecil-kecilan.

Dengan angket ala-ala mahasiswa semester akhir yang sedang bergelut dengan tugas akhir, saya pun menyusun beberapa pertanyaan untuk mencari tahu kenapa daun pisang sangat jarang digunakan oleh pedagang-pedagang makanan tersebut. Pertanyaannya sebagai berikut:

1. Sudah berapa lama Anda berdagang makanan? (tidak pakai opsi jawaban)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun