Mohon tunggu...
Kang Aboe
Kang Aboe Mohon Tunggu... Buruh - Buruh Migran

Mau santai boleh, mau serius juga boleh....

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Langkah Jokowi-Prabowo dan Cerminan Seni Politik sebagai Kemungkinan

22 Oktober 2019   03:14 Diperbarui: 22 Oktober 2019   03:30 187
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pemerintahan. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Ada yang marah ketika Prabowo mendekat Ke Istana.

Ada yang kecewa ketika Jokowi merangkul bekas lawan pilpresnya.

Entah apa pertimbangannya, entah apa keuntungannya. Yang jelas langkah keduanya telah membuat banyak pendukung dan relawannya di pilpres yang lalu marah dan kecewa. Malah ada yang mencap keduanya pengkhianat loh. Ah, yang bener aja? Gile loe ndro...

Siapa menunjuk Siapa?

Prabowo, dimana para pendukungnya  selama ini dicap sebagai kaum nasionalis-kanan, seolah mencoba melepaskan genggaman si "ekstrim kanan".

Jokowi, yang didukung relawan nasionalis-kiri, seolah lari dari jeratan si "ekstrim kiri".

Dua kubu ekstrim pun dibuat melongo oleh langkah pilihannya,

Buzzer dan relawanpun dibuat bingung oleh langkah politik kedua idolanya.

Ah sudahlah, hadapilah kenyataan ini wahai para kampret dan cebong. Kenapa mesti kecewa, politik emang harus bermental "raja tega". Toh yang dicari bagaimana cara berkuasa dan melanggengkan posisinya. Tak ada kawan dan lawan abadi adalah adagiumnya. Kepentingan abadi adalah tujuannya.

Pertanyaannya, apakah politik ideologis sudah tak laku lagi kalau toh para elite politik begitu pragmatisnya?. Bisa jadi ya, begitulah realitanya.

Apakah oposisi sudah tak diperlukan lagi kalau semua mau merapat ke istana? Bisa jadi itulah faktanya.

Akhirnya Kita mesti terbiasa dengan langkah-langkah tak terduga para elit politik kita.

Sepertinya  Para elit sadar, sekarang yang dicari bukan lagi ikatan politik ideologisnya tapi ide dan daya kritisnya.

Yang laku dan di apresiasi rakyat adalah kiprah nyata dan eksekusi idenya, bukan lagi nyinyirannya.

Bersikap kritis jelas beda dengan nyinyir,

Begitupun berkiprah nyata jelas bisa dilakukan siapa saja, entah di dalam atau di luar pemerintahan.

Jadi seharusnya jangan nyinyiri yang kritis dan jangan apriori terhadap yang berkuasa. Yang berdemonstrasi janganlah dicap anti pemerintah, karena mereka hanyalah menyuarakan hati nuraninya.

Yang lagi berkuasa jangan dianggap buta dan tuli nuraninya, bisa jadi malah sedang menunggu ide dan kritikannya.

Lain kali tak usahlah menghakimi dengan ayat ayat agama untuk lawannya, karena siapa tahu yang dihakimi lebih soleh pribadinya.

Begitu juga janganlah yang bersebrangan dianggap sebagai anti Pancasila dan NKRI, karena siapa tahu mereka yang dilabeli lebih cinta NKRI dan mengamalkan Pancasila melebihi lawan politiknya. Pada akhirnya Semua menyadari kalau Imdonesia adalah Rumah Kita Bersama, yang harus dirawat dan dijaga oleh setiap penduduknya.

"Politics is the art of The possible" kata Otto Von Bissmarck. Ketika politik diibaratkan seperti seni, maka politik itu adalah kumpulan dari kemungkinan. Kemungkinan yang didasarkan apa yang terbaik sesuai kepentingan.

Nah Kita tinggal tunggu saja, apakah langkah politik Jokowi dan Prabowo tersebut sebagai langkah politik demi sebuah kepentingan yang lebih luas yaitu kepentingan Rakyat Indonesia atau hanya kepentingan sesaat untuk menyenangkan para elit saja. 

Kritis boleh dong, asal jangan nyinyir ya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun